BILA perang tak meletus pekan ini, siapa tahu di pekan-pekan berikut dentam peluru dan sapuan senjata kimia merupakan akhir krisis Irak-Kuwait. Ini bukan karena nujum si Nostradamus, peramal Prancis yang hidup di abad ke-16, yang ditafsirkan menyatakan bahwa Perang Dunia III meletus dari sebuah negeri kecil di Timur Tengah. Melainkan karena potensi berkobarnya peran-g memang tersedia. Krisis Irak-Kuwait awal pekan ini memasuki hari ke-12. Dan praktis Irak terkepung sudah. Lebih dari 30 kapal perang ditambah beberapa kapal induk, lebih dari seratus pesawat tempur dari jenis yang canggih, dan lima pesaw-at pengintai AWACS, serta ribuan tentara Amerika siap menerjang Irak bila mencoba menembus blokade, atau menyusup ke negeri tetangga. Kekuatan itu masih ditambah dengan beberapa kapal dan puluhan pesawat andalan Inggris, Jaguar dan Tornado, serta kapal-kapal perang Prancis. Dan tak hanya itu. Sidang darurat Liga Arab di Kairo Jumat pekan lalu, dengan 12 suara menyatakan persetujuannya, memutuskan pengiriman pasukan negara Arab untuk membantu Arab Saudi yang terancam. Sebagaimana diketahui, setelah Irak menguasai Kuwait lewat serangan dini hari Kamis dua pekan lalu, tentara Saddam Hussein lalu menggelar pasukan sepanjang perbatasan Arab Saudi-Kuwait, dan di beberapa tempat di perbatasan Irak-Arab Saudi. Banyak yang menafsirkan Irak pasang kuda-kuda untuk meloncat ke wilayah Raja Fahd. Pekan ini, Mesir, Syria, dan Maroko melaksanakan keputusan sidang darurat itu, mengirimkan pasukannya ke Saudi. Celakanya, jepitan buat Presiden Saddam Hussein itu, yang diharapkan oleh Presiden George Bush bisa membuat Irak menarik diri dari Kuwait, kemungkinan besar malah berakibat sebaliknya. Pekan lalu Saddam, yang gemar mengenakan pakaian militer itu, menegaskan, "Kami lebih suka mati daripada mengalami penghinaan. Siapa pun yang berani menyerang negara Arab akan kami cungkil matanya." (Tentunya itu ancaman buat orang lain. Dikuasainya Kuwait oleh Irak, bagi Saddam, tidaklah tergolong "menyerang negeri Arab".) Dan setelah itu, Saddam pun menyatakan disatukannya Kuwait ke dalam Irak. Satu langkah yang membuat Saddam sulit untuk keluar dari krisis ini tanpa kehilangan muka. Dan sesungguhnya, menurut koresponden TEMPO yang meliput langsung jalannya sidang darurat Liga Arab di siang hari, pertemuan yang dihadiri 20 negara anggota itu (Tunisia tidak hadir, karena menentang upaya ini) sudah mirip awal pertempuran. Dari dalam ruang sidang terdengar suara-suara seperti gelas dibanting, kaca pecah, dan suara gebrakan lainnya. Ternyata, kemudian diketahui, telah terjadi "perang piring terbang" antara delegasi Kuwait dan Irak, sewaktu acara makan siang. Dalam acara itu tiba-tiba saja pecah perang mulut antara kedua delegasi. Tak cukup dengan suara, masing-masing lalu melemparkan piring untuk makan siang ke arah lawan. Acara selingan ini dimenangkan oleh delegasi Irak -- siapa tahu mereka sudah berlatih. Korbannya, Syeikh Sabah Al Ahmad, wakil perdana menteri dan menteri luar negeri Kuwait, terkena piring kepalanya dan hampir pingsan. Untung, dokter pribadi Husni Mubarak berada di situ, dan segera memberikan pertolongan. Dalam sidang kelanjutannya, Presiden Mesir, sebagai tuan rumah, membuka sidang seolah menyindir. "Kita bangga pada saudara-saudara kita di Irak yang memiliki pasukan terlatih rapi, tapi serangan Irak ke Kuwait melanggar anggaran dasar Dewan Liga Arab," katanya. Maka, sidang kelanjutan di sore harinya memutuskan, antara lain seperti yang telah disebutkan: mengirimkan pasukan negara Arab, dan mengimbau penarikan tentara Irak dari Kuwait. Dalam sidang sore ini dikabarkan menteri luar negeri Kuwait benar-benar pingsan ketika hendak keluar dari ruangan. Jauh di Amerika Serikat, hasil sidang darurat di Kairo membuat gembira George Bush. Pasalnya, ia kemudian menganggap akhirnya yang berhadapan di Timur bukan hanya Irak di satu pihak dan Amerika Serikat (plus Prancis dan Inggris) di pihak lain, tapi ditambah mayoritas negara Arab yang berada di pihaknya. Tapi anggapan itu dibantah oleh Letjen. Taleet Musallam, ketua Pusat Studi Politik dan Strategi Al Ahram, Kairo, dalam wawancaranya dengan TE-MPO. Kata Taleet, hadirnya pasukan Amerika dan Liga Arab "dengan sendirinya merupakan upaya melindungi Saudi dari serangan Irak. Dan ini bukan merupakan tindak strategi guna memihak Amerika meski secara tidak langsung sekalipun." Bagi jenderal berbintang tiga itu, pasukan Liga Arab mendapat mandat untuk melindungi anggotanya yang bernama Arab Saudi. Adapun bila AS kebetulan di situ, adalah dengan sebab yang berbeda. "Amerika punya kepentingan minyak," kata Taleet Musallam. Bila saja George Bush bersabar sedikit, mungkin ia akan mengurangi kegembiraannya. Lebih cepat 10 menit daripada penutupan sidang darurat, dari Baghdad terdengar Saddam Hussein di televisi. Ia menyerukan jihad melawan para amir penguasa yang bersekongkol dengan kekuatan asing menguasai tempat-tempat suci orang Islam. Imbauan yang esoknya, Sabtu pekan lalu, bergaung kembali di Yordania, Yaman, Jalur Gaza dan Tepi Barat, dan di Beirut. Di situ muncul demonstrasi yang mendukung Saddam Hussein. Suatu perang yang lain tampaknya sudah meledak. Yakni perang membentuk opini dunia internasional. Sampai Jumat pekan lalu boleh dibilang sebagian besar dunia cenderung berpihak pada Kuwait, Amerika, dan sekutunya, tapi mulai awal pekan ini posisi agak bergeser. Presiden berkumis tebal dan berusia 53 tahun itu, yang dicap menjalankan pemerintahan dengan menindas, mulai mendapatkan angin. Itu bermula dengan pidato Saddam di hari Ahad kemarin. Tiba-tiba saja ia mengurangi suara lantangnya. Irak bersedia menarik pasukannya dari Kuwait, katanya, asalkan Israel mundur terlebih dahulu dari wilayah pendudukan. Tak hanya itu, Saddam pun menuntut Syria menarik pasukannya dari Libanon. Dan sudah tentu Amerika Serikat dan Prancis dan Inggris menarik pasukan beserta perangkat perangnya dan kawasan Timur Tengah. Ditambah buntutnya, sanksi ekonomi oleh Dewan Keamanan PBB terhadap Irak dicabut. Inilah taktik lihai untuk mengalihkan titik api persoalan dari dijarahnya Kuwait oleh Irak ke soal lain. Saddam mengingatkan kembali, terutama pada negara-negara Arab, bahwa sebuah wilayah di Timur Tengah yang diakui merupakan tanah air orang Palestina sudah bertahun-tahun bernama negara Israel. Dan orang diajak melihat kehadiran Amerika dan sekutunya dari sudut lain, bahwa sebenarnya mereka tak berhak berada di situ. Bahkan pihak Raja Fahd pun tak pernah meminta kehadiran Amerika. Menteri Pertahanan AS Dick Cheneylah yang datang ke Riyadh dan mengajukan permintaan. Seorang ahli politik Timur Tengah terkemuka di Jepang, Profesor Abdul Qader Yoshiaki Sasaki, 42 tahun, merumuskan tawaran Saddam Hussein dengan tepat. "Presiden Saddam (dengan tawarannya itu) menegaskan bahwa bersatunya Arab untuk melawan zionisme dan imperialisme AS sangat penting," kata alumnus Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Libya ini. Dan seruan itu memang bersambut. Hari itu pula di Yaman, negeri yang abstain ketika pemungutan suara di sidang darurat Liga Arab, muncul demonstrasi anti-Amerika. Di Jalur Gaza, enam bayi lelaki yang lahir di hari itu semuanya saja dinamakan Saddam Hussein. Seruan Saddam tak hanya bergema di Timur Tengah. Di dalam sidang tertutup Dewan Keamanan PBB Senin pekan ini, sejumlah anggota menanyakan keabsahan tindakan Amerika Serikat mengadakan blokade terhadap Irak. Tak cuma bertanya, beberapa anggota langsung mengkritik. Yakni, seruan Dewan Keamanan tentang dijatuhkannya sanksi ekonomi dan embargo senjata pada Irak tak bisa begitu saja diterjemahkan oleh hanya Amerika Serikat dengan blokade. Bahkan Sekjen PBB sendiri, Javier Perez de Cuellar, mengatakan, tak ada kaitan antara sanksi PBB dan blokade Amerika. Sejumlah sumber yang dikutip Reuters menyatakan telah terjadi kesalahpahaman. "Kami mengira bahwa Amerika mengemban tugas," kata sebuah sumber tentang gerakan blokade itu. Yakni gerakan Amerika (dan Inggris) memerintahkan agar kapal-kapal perang menahan atau menghalangi usaha-usaha pelanggaran terhadap sanksi ekonomi Dewan Keamanan PBB atas Irak dari pihak manapun. Kata wakil dari Prancis, Kanada, Malaysia, dan Uni Soviet, penjabaran sanksi menjadi tindakan nyata seperti umpamanya blokade militer, itu sama sekali tergantung kuputusan Dewan Keamanan, dan bukannya inisiatif hanya satu anggota Dewan. Tapi memang ada ketentuan dalam anggaran dasar Dewan Keamanan Pasal 51, bahwa sebuah negara berhak mempertahankan diri dan berhak meminta bantuan negara lain. Dan Amerika mengingatkan, memang ada surat dari Kuwait kepada Dewan yang meminta agar PBB menjatuhan sanksi ekonomi pada Irak. Surat itu memang ada, tapi bertanggal 12 Agustus -- sementara blokade AS dan sekutunya sudah dilancarkan sejak 8 Agustus. Kata Sekjen Javier Perez de Cuellar: "Hanya PBB, lewat resolusi Dewan Keamanannya, yang bisa memutuskan diberlakukannya blokade terhadap suatu negara." Tampaknya, perdebatan di sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa bisa begitu formalistis. Sementara itu, peristiwa nyata bergerak cepat. Mungkinkah menghentikan Saddam Hussein, penguasa yang seperti tak peduli pada segala aturan itu, dengan hanya imbauan? Yang bisa seenaknya mengerahkan pasukan ke negeri tetangga yang secara militer jauh lebih lemah? Siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab bila seorang diktator lahir? Amerika tentu bisa mengatakan kehadirannya di kawasan Teluk sebenarnya lebih untuk mencegah perang daripada menyulutnya. Tapi seorang korban telah jatuh. Seorang Inggris mencoba lari dari Kuwait ke Saudi. Tentara Irak menembaknya. Senin malam pekan ini, pihak pemerintah Inggris menyatakan seorang warganya itu tewas. Kasus ini memang bukan tanggung jawab Amerika. Masalahnya adalah seumpama bukan cuma seorang Inggris, dan beberapa serdadu Irak, melainkan sejumlah pasukan Amerika, lalu satu pasukan Irak, dan bentrok, sebuah perang terbuka memang lalu menyala, dan itu sebuah perang dahsyat. Bukan hanya karena senjata kimia yang mencekik kerongkongan karena mengandung racun sianida, atau gas mustar yang membakar kulit. Tapi mesin perang yang dipasang di kawasan Timur Tengah itu memang dari jenis yang unggul. Lihat F-15 yang didatangkan oleh Amerika, dan juga dimiliki oleh Saudi. Inilah pesawat tempur yang bisa membawa berbagai senjata tempur darat ke udara. Inilah mesin terbang yang mampu menjelajah sejauh lebih dari 4.000 km, dan punya gerak tempur dalam radius lebih dari 1.200 km. Yang berbahaya, F-15 mampu terbang rendah maupun tinggi, mampu mencari sasaran kecil di tempat jauh, dan secara otomatis bisa menemukan sasaran dalam jarak pendek. Lawan F-15 di udara mungkin pesawat Mirage buatan Prancis yang dimiliki Irak. Pesawat ini dilengkapi rudal Exocet. Konon, Irak memiliki tak kurang dari 200 pesawat jenis ini. Sialnya, menurut informasi pihak Amerika, hanya 50 pilot Irak yang bisa diandalkan. Kata bekas menteri pertahanan AS, Harold Brown, "Saya kira Amerika bisa memenangkan perang udara dalam satu atau dua hari." Soalnya, pesawat-pesawat yang memiliki peralatan elektronik untuk membutakan radar lawan akan membuat peralatan elektronik pesawat dan persenjataan Irak lumpuh. Para pilot dan penembak artileri harus mencari sasaran dengan mata telanjang. Mereka tentu mudah sekali dirontokkan atau dihancurkan oleh F-15 yang meluncurkan rudal Sidewinder atau Sparrow. Belum lagi F-16 yang bisa terbang siang atau malam dalam segala cuaca. Taruhlah Irak menyerbu Saudi dengan barisan tanknya. Karena ini di tempat terbuka, sungguh mudah pengebom F-111 menjatuhkan bom-bom yang dituntun sinar laser untuk mengenai sasaran. F-111 inilah dahulu yang mengebom Libya. Seandainya Irak menyerang tiba-tiba dan Amerika kecolongan, balasan segera bisa dilakukan. Kabarnya, kini Amerika sudah memiliki 70 sasaran penting di Irak, yang bisa dibom dengan pesawat atau ditembak dari jarak jauh dengan rudal. Memang, serangan balik Amerika mesti dilakukan sangat cermat. Dari 70 sasaran itu empat di antaranya adalah instalasi nuklir. Meledakkan instalasi yang antara lain diduga memproduksi senjata kimia itu, selain bisa menyebarkan petaka, buat negeri tetangga Irak, juga buat tentara Amerika sendiri, opini di dunia bisa segera berbalik mengecam Amerika. Diduga bila ini harus dilakukan AS, pesawat pengebom B-52 yang pernah digunakan di Vietnam akan efektif. Selain tiap pesawat bisa membawa 20 rudal, dengan peralatan yang dimilikinya B-52 bisa meluncurkan rudalnya dari jarak 1.600 km dan tepat pada sasaran. Artinya, ini bisa dilakukan dari luar wilayah Irak, negeri seluas 17.600 km2 ini. Dan jangan lupa kehadiran lima AWACS yang bisa digunakan memantau sasaran bergerak maupun diam. Bahkan sasaran yang berada di balik cakrawala bisa diamati tepat oleh AWACS. Memang, paling merepotkan Amerika bila pasukan darat Irak bisa menguasai medan terlebih dahulu dan langsung menggunakan senjata kimia. Tak mudah bagi pasukan Jenderal Powell meski sudah dilengkapi dengan pakaian pelindung senjata kimia. Masalahnya, pakaian itu begitu rapat hingga dilokasi gurun yang panasnya lebih dari 40 derajat Celsius bisa membuat serdadu yang memakainya kehabisan keringat. Tak jelas adakah Amerika sudah mempunyai pemecahan untuk sebuah perang kimia di gurun pasir ini. Yang pasti memang ada niat pihak Amerika menghancurkan semua pabrik senjata kimia dan nuklir yang dikabarkan dimiliki oleh Irak. Dan bila memang pecah perang, bisa jadi dugaan bekas menteri pertahanan AS Harold Brown, benar: ini perang terbuka yang singkat. Tapi, kemungkinan besar dengan kerusakan mahahebat dan jumlah korban mahabesar. Tapi mungkin yang terjadi adalah pengepungan yang tak kunjung usai. Selain Irak, sebagai salah satu pihak pelaku, beberapa negara juga akan ikut dirugikan. Jelas, negara konsumen minyak akan terpaksa menaikkan anggaran belanja minyaknya. Meski perang belum meletus, blokade akan menurunkan produksi minyak dunia, karena setidaknya dua negara tak melempar minyak ke pasar (Irak dan Kuwait bersama-sama menyumbang lebih dari 7% produksi minyak dunia). Dan hukum ekonomi dasar berlaku dengan mulus: sedikit persediaan dan permintaan tetap harga naik. Juga negeri pengekspor ke Irak dan Kuwait sementara tak akan bisa mengirimkan ekspornya. Australia pekan lalu sudah mengeluh. Menurut Radio Australia, ekspor gandum Negeri Kanguru ini ke Irak cukup besar. Juga ekspor domba. Pekan lalu dua kapal domba yang sudah kadung berlayar terpaksa dibelokkan, untuk mencari pasar buat domba-domba itu di negeri lain. Sementara itu, Irak sendiri akan menderita kerugian cukup besar. Dalam sebulan kerugian tanpa penjualan minyak lebih dari US$ 1 milyar. Memang Irak pun mengancam, sebagai balasan blokade negara ini tak akan mau membayar utang-utangnya yang berjumlah sekitar US$ 60 milyar. Tapi sebarapa besar cadangan pangannya? Menurut sumber-sumber di Kairo, Irak beberapa waktu lalu memang sudah memborong gandum, jagung, gula, dan minyak. Diperhitungkan persediaan itu cukup untuk sekitar empat bulan. Sesudah itu, dengan penghematan dan, mungkin, bantuan dari Yordania, diperkirakan Irak masih bisa bertahan setidaknya dua bulan. Sesudah itu adakah Irak akan menyerah karena lapar? Menurut perhitungan Profesor Yoshiaki Sasaki dari Jepang itu, kemungkinan itu tipis. Bukan karena Irak memilih bunuh diri. Atau karena ada upaya kudeta di Irak (hal yang dikatakan oleh Yoshiaki Sasaki sulit, karena justru dalam suasana seperti itu penguasa jadi waspada, dan pemberontakan terbuka akan cepat pula ditindak sebelum berkembang). Tapi, sebelum "hari kelaparan" itu tiba, Irak akan memancing perang. Walhasil, persoalan yang dimulai oleh Saddam Hussein ini memang muskil penyelesaiannya. Yakni setelah AS campur tangan, campur tangan yang juga menimbulkan pertanyaan: misalkan bukan Irak menyerbu Kuwait, akankah Paman Sam ikut campur? Dan yang sudah bisa ditebak terlebih dahulu dalam benang ruwet di Teluk Persia ini adalah nasib dinasti Al Sabah. Sampai kapan Syeikh Jabar Al Sabah bertahan, mengingat uangnya yang ternyata bisa dikendalikan dari Riyadh besar jumlahnya? Kuwait, akankah mengalami nasib serupa Kamboja -- yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dicarikan jalan keluarnya, yang belum juga ketemu itu? Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini