TUHAN barangkali tak pernah merestui peta bumi. Dari waktu ke waktu manusia mengubahnya, sering setelah membunuh dan menginjak-injak. Sering dengan memberontak dan membuat proklamasi -- seperti yang kita lakukan 45 tahun yang lalu. Lalu tapal batas pun didirikan. Bendera dikerek. Petugas berseragam imigrasi dipasang di pintu. Seorang cucu Adam dari wilayah sini harus punya izin khusus buat menemui cucu Adam dari wilayah sana -- meskipun jaraknya sering tak sampai satu kilometer. Dan kita selalu punya tentara bersenjata yang disiagakan, untuk menjaga agar batas itu tak diterjang. Dan di ibukota, orang pun mencetak peta, dengan garis merah bertitik-titik, atau warna wilayah yang berbeda-beda -- seakan-akan hendak mengabadikan apa yang tengah berlaku. Tapi kita tahu kemarin Jerrnan Timur dan Jerman Barat merupakan dua negeri kini mereka akan jadi satu, seperti dulu. Kemarin Lithuania bagian dari Uni Soviet esok ia akan mengibarkan bendera sendiri. Siapa tahu Kuwait kelak akan jadi bagian dari Irak, seperti Timor Timur jadi bagian dari Indonesia .... Seandainya Tuhan merestui peta bumi, perubahan semacam itu -- yang berkali-kali berlangsung sepanjang sejarah -- tak akan mungkin bisa terjadi. Yang menakjubkan ialah bahwa di satu pihak kita bisa mengacak-acak peta yang ada, tapi di lain pihak kita bersedia menciumnya seperti benda sakti. Memang, batas itu bukan sesuatu yang sakral, bahkan bukan sesuatu yang alami. Tapi ia telah jadi salah satu unsur dalam kesadaran manusia, yang didekati dengan takzim dan sekaligus intim. "Tanah air", "negeri": kata itu bagaimanapun telah jadi semacam wujud ajaib yang memanggil getaran dan gelora hati, bahkan -- seperti dewa-dewa dalam dongeng terkadang meminta pengorbanan. Di Indonesia kita biasa menyanyi, dengan mata basah dan bulu tubuh berdiri, "Padamu negeri, jiwa raga kami." Pada saat yang sama, batas itu juga telah ikut merumuskan sesuatu yang paling intim dalam hidup: identitas kita. "Saya orang Indonesia", atau "Saya orang Singapura". Dengan mengatakan itu kita sebetulnya telah memilih satu pola untuk bereaksi atau bersikap dalam suatu situasi, termasuk dalam hal merasa tersinggung atau bangga, dalam hal mati atau menahan hati. Tapi siapa yang sebenarnya telah menentukan batas itu? Siapa yang sebenarnya berhak membuat peta itu? Kebanyakan kita telah lupa. Kebanyakan kita tak lagi mempertanyakannya. Di zaman yang telah jauh lewat, perbatasan itu agaknya hanya suatu perpanjangan dari jiwa raga seorang raja yang berkuasa. "Anakku," kata Philip dari Macedonia ketika melihat anaknya, Aleksander, berhasil menjinakkan kuda Bucephalus, "negeri Macedonia terlampau kecil untukmu." Kemudian Aleksander pun berangkat, membentangkan wilayahnya dengan ribuan serdadu. Sampai ke Hindustan. Raja-raja yang kemudian juga datang menentukan tapal batas mereka sendiri dan menentukan orang lain -- terutama kawula-kawulanya -- agar mengikuti tapal batas itu. Setelah zaman itu lewat, datang tuan tanah, atau pemilik modal, atau jenderal-jenderal marah, atau sastrawan-sastrawan yang bersemangat, atau priayi-priayi kecil, atau budak-budak yang berkulit cokelat semua ikut, seperti halnya raja-raja yang sudah copot ataupun yang belum, menentukan gerakan-gerakan besar yang mengubah peta bumi. Lalu hadir PBB dan sejumlah konperensi dan negosiasi. Kemudian: untaian nyanyian dan pidato para patriot. Dan batas serta peta sebuah negeri pun pelan-pelan masuk dan bersemayam ke dalam ingatan dan mitos bersama. Tak berarti dengan segera jadi jelas, dan sudah baku, tentang siapa yang berhak menentukan peta sebuah negeri. Tak dengan sendirinya ada kepastian hukum yang dipatuhi tentang hal itu, di dunia yang masih anarkis ini, yang kekuatan moncong bedilnya sering sama dengan kebenaran. Maka, tak mengherankan bila pabrik-pabrik senjata, termasuk yang paling mengerikan, belum ditutup, dan sekolah-sekolah militer, termasuk yang paling buas, tetap belum dibubarkan. Demi sebuah peta, demi segaris batas. Hanya sejumlah orang kesepian yang duduk sebagai hakim di Mahkamah Internasional di Den Haag. Akan terus beginikah? Di atas langit, lapisan ozon berlubang dengan menakutkan. Kita tak bisa mengatakan, itu "ozon orang Amerika", atau "ozon orang Irak". Tapi batas-batas di peta bumi masih menggendoli kita untuk mencegah perusakan bersama itu. Batas-batas itu pula yang menyebabkan orang yang miskin dari Afrika dicegah masuk ke Eropa, pengungsi Vietnam dihambat masuk ke Jepang, dan pekerja Indonesia dikejar-kejar polisi Australia sementara orang tahu bahwa dulu, seperti mungkin pula kini, sejarah manusia adalah sesuatu yang dibangun oleh gerak perpindahan bangsa-bangsa. Sejarah satu umat, di hanya satu bumi. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini