SABRA dan Shatila berdarah lagi. Sejak dua pekan berselang, kedua daerah permukiman orang Palestina di Beirut Barat itu berderak-derak digempur roket dan senapan mesin. Pertempuran terjadi antara laskar Amal Syiah dan milisi Suni yang dikenal dengan nama Gerakan 6 Februari. Perlawanan Suni akhirnya bisa dipatahkan, walaupun mereka sudah dibantu geriIyawan PLO yang belakangan banyak menyusup ke wilayah Libanon. Khalil al Wazir, pembantu terdekat Yasser Arafat, menyatakan pekan silam, penyusupan itu telah melipatgandakan potensi PLO di sana satu hal yang tampaknya bisa ditolerir Presiden Amin Gemayel tapi pasti tidak disukai Presiden Syria Hafez Assad. Tidak heran kalau Amal Syiah - yang bersekutu dengan Syria - yang berhasil membereskan milisi Suni, kemudian mengalihkan sasarannya kepada PLO dan setengah juta penduduk Palestina di kamp pengungsi Sabra, Shatila, dan Bourj al-Brajneh. "Pertempuran ini benarbenar berat. Kami tidak sedikit pun dapat memicingkan mata sepanjang malam," ujar seorang penduduk. Diperkirakan selama dua pekan terakhir, sudah 68 orang tewas dan 350 luka-luka. Banyak yang terperangkap dalam gedung pertokoan yang terbakar, sementara rumah yatim piatu tidak luput dari siraman roket. Sejak tembak-menembak terjadi, tidak terlihat adanya usaha mencari perdamaian. Selim Hossdan PM Rashid Karami - keduanya tokoh masyarakat Suni Libanon - berseru pada Presiden Hafez Assad agar menghentikan pertempuran. Damaskus cuma membungkam, sedangkan imbauan serupa yang dikumandangkan Arafat dari Tunis juga tidak membawa hasil. Pemimpin PLO itu akhirnya berkata bahwa "pembantaian baru" telah terjadi lagi di Sabra dan Shatila. Mengapa? Karena laskar Amal Syiah, yang dibantu tentara pendudukan Syria di Libanon, tampaknya dengan sengaja menggempur pengungsi Palestina, walaupun mereka umumnya tidak bersenjata. Empat tahun lalu, pembantaian Palestina dilakukan orang-orang Kristen Libanon, yang melancarkan perbuatan amat tidak terjadi itu di bawah lindungan tentara Israel. Kini Amal Syiah cenderung mengulangi perbuatan yang sama, dan seperti dulu juga, penduduk Palestina terpaksa menghadapi malapetaka itu tanpa bantuan siapa-siapa. Karena tekanan roket Syiah, 1.000 orang mencari perlindungan dalam masjid dan sekolah, sedang 4.000 lagi berusaha melarikan diri ke luar daerah bencana. Dalam keadaan yang kian gawat ini, Arafat masih ditonjok sekali lagi oleh pembangkangan Abu Zaim, yang dilakukan di Amman, ibu kota Yordania. Zaim, yang sudah dipecat Arafat dari jabatan kepala intel PLO itu, April lalu, mengangkat dirinya sebagai penjabat panglima tertinggi Al-Assifa, sayap militer Al-Fatah. Zaim, yang kabarnya memperoleh dukungan 409 orang, merencanakan untuk menyelenggarakan kongres Al-Fatah serta mengancam akan membekukan keanggotaan Arafat serta wakilnya, Khalil al-Wazir. Al-Fatah adalah cikal bakal sekaligus merupakan organisasi gerilyawan Palestina terbesar dalam tubuh PLO. Ketika Abu Musa membangkang pada Arafat, 1983, lalu berpihak ke Syria, banyak yang menduga pemimpin PLO itu hampir tamat riwayatnya. Apalagi klik Arafat waktu itu dituduh korup terbiasa memborong kekuasaan, dan tidak suka bermusyawarah. Ternyata, Arafat masih bertahan sampai sekarang, meski dengan organisasi yang kurang kompak. Apakah ulah Zaim bisa membuat Arafat terancam? Tampaknya, tidak. Seorang tokoh PLO di Amman menyatakan, mayoritas perwira pembangkang itu bukan anggota Dewan Militer Umum Al-Fatah yang beranggotakan 600-700 orang itu. Pengikut Zaim adalah gerilyawan dari kamp Karameh, yang dibangun Al-Fatah di Yordania pada tahun 1984, untuk menampung pelarian dari Libanon. Tapi Zaim sendiri sudah dibebastugaskan oleh Arafat dan keputusan ini diberitahukan resmi pada Raja Yordania, Hussein, lengkap dengan pesan agar "mengambil tindakan sepantasnya" terhadap Zaim. Yang ternyata terjadi justru sebaliknya. Sejak hubungan Hussein - Arafat memburuk Februari lalu, Zaim seakan diberi angin segar. Ia secara mencolok dilindungi empat orang bersenjatakan Kalashnikov, satu hal yang tidak lazim bagi seorang warga Palestina yang bermukim di Yordania. Bisa dimaklumi jika ulah Zaim dikomentari Arafat sebagai "tindakan teatral yang dipertunjukkan dinas rahasia Yordania." Lebih dari itu, PLO berkesimpulan bahwa Raja Hussein sudah memusuhi gerilyawan Palestina. Ini semua bermula dari gagalnya rencana perdamaian Hussein, yang ditolak Arafat karena tidak bisa menerima status "negara" Palestina di bawah kedaulatan Yordania. Sejak itu upaya perdamaian Timur Tengah buntu, tapi Hussein tetap merintis jalan sendiri. Ia kini berusaha mendamaikan Syria dan Irak, di samping membuka perundingan baru dengan Presiden AS Ronald Reagan. Arafat sebaliknya, tidak berbuat banyak untuk "perdamaian". Dari luar ia tampak pasif, tapi sejauh yang menyangkut front Libanon, PLO masih bisa mengandalkan kerja sama dengan mayoritas Suni, minoritas Druze yang cukup alot, bahkan juga dengan Amin Gemayel. Tokoh Kristen yang dipojokkan oleh rencana perdamaian Damaskus ini, belum lama berselang berunding dengan Arafat di Tunis, dalam upaya menyusun langkah-langkah baru menghadapi Syria. Sementara itu, tentara dan polisi Libanon sudah dikerahkan untuk menertibkan kecamuk di jalan-jalan, tapi ini bukan jaminan bahwa pertempuran sudah akan berakhir. Libanon tampaknya malah kian semrawut dan ini berarti PLO tetap punya peluang untuk bermain di sana. Begitu pula Israel dan Syria. Isma Sawitri, Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini