Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Upaya membuat belajar menyenangkan

Departemen p dan k dan bp7 membentuk tim untuk mengurangi beban kurikulum, khususnya untuk pmp, pspb, dan p-4 yang dianggap tumpang tindih. sejumlah mata pelajaran lainpun sedang diteliti. (pdk)

14 Juni 1986 | 00.00 WIB

Upaya membuat belajar menyenangkan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ADA pertemuan penting di Jakarta dua pekan lalu, antara Sarwo Edhie, Harsja Bachtiar, dan Hasan Walinono. Yang pertama adalah Kepala BP7, yang kedua Kepala BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) Departemen P & K. Yang terakhir, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Ada apa? Pokok pangkalnya adalah mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Mata pelajaran yang diberikan sejak SD sampai SMTA itu kini disebut-sebut sebagai tumpang tindih, dan sedikit banyak menambah beban bagi siswa. Apalagi kini sudah diberikan pula P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di sekolah-sekolah. Banyak guru yang menilai, kedua mata pelajaran itu pada hakikatnya sama saja. "Barangnya satu, tapi diajarkan menjadi tiga macam," seperti komentar R. Sarwoko, 54. Dia ini Kepala SD Negeri Teladan Ungaran I, Yogyakarta, dan pengisi acara "Kami bantu Anda dalam bidang studi matematika" di TVRI Yogyakarta. Harsja tampaknya setuju dengan anggapan tersebut. Kini, katanya, tim dari Departemen P dan K bersama BP7 sedang menggodok masalah ini. Apakah, misalnya, mata pelajaran itu bisa digabung. Atau, inti-intinya saja diselipkan dalam beberapa mata pelajaran, misalnya, Ilmu Pengetahuan Sosial. Dan kemungkinan ketiga, mata pelajaran itu tetap berdiri sendiri, tetap dua, dengan penyempurnaan di sana-sini. Semua tentu sependapat bahwa PMP dan PSPB baik adanya. PMP, kata Harsja, dulunya dimasukkan ke Kurikulum 1975 oleh mereka yang mendalami hukum dan filsafat. Sedangkan PSPB, yang masuk mulai Kurikulum 1984 disponsori para sejarawan. Yang menjadi soal, "Para sponsor pelajaran-pelajaran itu tidak saling berhubungan atau saling konsultasi," tutur Harsja kepada TEMPO. Jadi, ada kesan, masing-masing memandang dengan kaca matanya sendiri. Sementara itu, pihak Departemen P dan K tak berani menolak. "Kalau menyinggung pembangunan atau Pancasila, orang 'kan cenderung takut dan menerima saja," kata Harsja. Namun, setelah beberapa tahun berjalan, orang toh mulai berani melakukan penilaian. Terutama oleh para guru, yang tahu persis suasana di dalam kelas. Pak Guru Sarwoko yang tadi, misalnya, yakin, dua mata pelajaran plus satu penataran, materinya memang persis sama. Yang berbeda hanyalah dalam soal penekanannya. Menyinggung sejarah Panglima Besar Jenderal Sudirman, PMP menekankan nilai penghayatan terhadap perjuangannya. Sedangkan dalam PSPB, yang dibahas ialah soal nilai sikap patriot sang jenderal. Kepala sebuah SD Negeri di Bandung, yang enggan disebut namanya, juga menilai mata pelajaran itu sama saja. "Semuanya mengandung unsur sejarah kebangsaan, dan agak sulit membedakan ketiga mata pelajaran itu satu sama lain," katanya. Ia mengemukakan contoh tentang sejarah pembentukan Pancasila, yang baik dalam pelajaran PMP maupun PSPB sama-sama harus dibahas. Dia malah melihat hal lain yang lebih jauh. Yaitu, bahwa materi pelajaran itu terkadang kurang disesuaikan dengan kemampuan dan daya tangkap para siswa. Dalam pelajaran PSPB, ada soal yang kira-kira berbunyi: Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 merupakan tindakan memaksakan kehendak secara tidak semena-mena yang menodai perjuangan bangsa. Sebagai jawabannya, ada empat pilihan: setuju, sangat setuju, tidak setuju, atau sangat tidak setuju. Bagi Pak Kepala SD ini soal tadi masih kelewat "tinggi" untuk bisa dicerna anak-anak setingkat SD. "Saya pikir, soal itu belum waktunya dilontarkan untuk murid SD, sebab untuk menjawabnya diperlukan pemikiran yang betul-betul matang," katanya. Yoyo Sunarya, 48, guru SMP Negeri II Bandung, ikut memberi contoh. Dalam PSPB, katanya, disebutkan bahwa salah satu kekuatan bangsa dalam mempertahankan negara adalah adanya kesatuan. Soal kesatuan ini pun kembali dibahas dalam pelajaran PSPB. Sedangkan, dalam penataran P4, masalah persatuan jelas dibicarakan pula sebab berkaitan dengan sila ketiga dari Pancasila. Itu sebabnya Yoyo mengusulkan agar semuanya digabungkan saja, "Supaya lebih terarah." Pada rapat kerja dengan DPR tahun lalu, Menteri P dan K, Fuad Hassan sebenarnya juga telah mengakui adanya tumpang tindih tadi. Fuad, ketika itu menyebut ada dua macam tumpang tindih. Yang vertikal dan horisontal. Maksud tumpang tindih horisontal, tak lain, karena bahan-bahan yang sama diberikan di sejumlah mata pelajaran. Dikatakan tumpang tindih vertikal, bila bahan yang sama diulang-ulang lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Yang terakhir itu dirasakan, antara lain oleh Prasetya Sigit dan Aldiana Halim, siswa SMP Negeri II, Bandung. Sampai-sampai, kata mereka, "Suka timbul perasaan jenuh dalam menghadapi pelajaran tadi." Wahyu Adi Prasetyo, kelas VI SD Ignatius Loyola, Jakarta, merasa jenuh terutama karena dalam PSPB hanya disuruh menghafal sejumlah tanggal kejadian, yang berhubungan dengan seorang tokoh atau peristiwa bersejarah. Akibatnya, "Pelajaran ini tidak seasyik IPA, matematika, atau IPS." Harsja, doktor sosiologi, itu berharap pada saatnya nanti segala ketidakserasian bisa teratasi. Kini, katanya, bahan-bahan sedang dipelajari. Dan diperkirakan, dalam waktu dua tahun, hasil yang diharapkan sudah bisa dikeluarkan. Dan, katanya, bukan cuma PMP dan PSPB yang bisa diringkas. Tapi sejumlah mata pelajaran kini sedang diteliti seberapa jauh ketumpangtindihannya. PMP dan PSPB baru sebuah contoh. Surasono, Laporan Indrayati (Biro Jakarta), Syahril Chili (Biro Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus