Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perang Suku di Papua Nugini Tewaskan 64 Orang, Mayat-mayat Tergeletak di Jalanan

Papua Nugini dilanda perang suku terbesar dalam sejarah. PM Australia ikut resah.

19 Februari 2024 | 12.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Human interest - Peserta perang antar suku di Festival Lembah Baliem, Wamena, Papua. Tempo/Rully Kesumaru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Setidaknya 64 orang tewas dalam perang suku di dataran tinggi utara Papua Nugini. Seorang petugas polisi menggambarkan perang tersebut sebagai yang terbesar dalam sejarah di negara Pasifik tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat kabar Post-Courier, mengutip polisi setempat, mengatakan pembunuhan dimulai saat fajar pada hari Minggu, 18 Februari 2024 di Distrik Wapenamanda di Provinsi Enga. Mereka melibatkan suku Ambulin dan Sikin serta sekutunya, katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi mengatakan kepada Post-Courier bahwa mereka mengevakuasi sekitar 64 mayat dari pinggir jalan, padang rumput, dan perbukitan Wapenamanda pada Senin pagi. Suku-suku yang berperang menggunakan senjata berkekuatan tinggi, seperti senapan AK47 dan M4 dalam pertempuran tersebut. Jumlah korban tewas diperkirakan akan meningkat.

Australian Broadcasting Corporation (ABC) mengatakan kekerasan tersebut melibatkan suku yang sama yang bertanggung jawab atas bentrokan yang menewaskan 60 orang di Provinsi Enga tahun lalu.

“Ini adalah (pembunuhan) terbesar yang pernah saya lihat di Enga, mungkin juga di seluruh Dataran Tinggi, di Papua Nugini,” kata George Kakas, seorang perwira senior di kepolisian negara tersebut.

“Kami semua hancur, kami semua mengalami tekanan mental,” kata Kakas kepada ABC. “Sangat sulit untuk dipahami.”

Polisi menerima video dan foto dari lokasi kejadian, yang menunjukkan mayat-mayat yang ditelanjangi. Mayat-mayat yang berlumuran darah tergeletak di pinggir jalan dan ditumpuk di belakang truk bak terbuka.

Badan tersebut mengatakan militer telah mengerahkan sekitar 100 tentara ke wilayah tersebut namun dampaknya terbatas, karena pasukan keamanan masih kalah jumlah dan persenjataan.

Di ibu kota Port Moresby, pihak oposisi meminta agar pemerintahan Perdana Menteri James Mara bergerak cepat. Di antaranya adalah mengerahkan pasukan tambahan ke daerah tersebut.

“Kami menyerukan kepada pemerintah untuk segera mengetahui dari mana senjata dan peluru itu berasal untuk memicu kekerasan yang tidak masuk akal ini,” tambah mereka dalam sebuah pernyataan, menurut Post-Courier.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese juga menyatakan keprihatinannya. “Itu sangat meresahkan berita yang keluar dari Papua Nugini,” katanya dalam wawancara radio pada hari Senin.

“Kami memberikan banyak dukungan, khususnya untuk pelatihan petugas polisi dan keamanan di Papua Nugini.”

Pada Januari lalu, ibu kota Papua Nugini Port Moresby juga diguncang kerusuhan. Sebanyak 15 orang tewas dalam kerusuhan ketika massa menjarah dan membakar toko-toko.

Perdana Menteri James Marape pada hari Kamis mengumumkan bahwa lebih dari 1.000 tentara bersiaga untuk turun tangan jika diperlukan. Pemerintah menetapakan masa darurat selama 14 hari.

Kekerasan meletus di Port Moresby pada Rabu malam setelah sekelompok tentara, petugas polisi dan penjaga penjara melancarkan protes atas pemotongan gaji mereka yang tidak dapat dijelaskan. Dalam beberapa jam kerusuhan menyebar ke kota Lae, sekitar 300 km (186 mil) di utara ibu kota.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus