Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa di antara kalian yang bernama Malala?” seorang pria berjanggut dengan sorban menutupi wajah menghardik tiga anak di dalam bus sekolah yang tengah mengantar mereka pulang di Kota Mingora, Distrik Swat, Provinsi Khyber-Pakhtunkhwa, Pakistan. ”Cepat bicara. Jika tidak, saya tembak kalian semua,” ancaman itu kembali dilontarkan, Selasa dua pekan lalu.
Dibentak sambil ditodong senjata, ketiga gadis itu mengkerut. Sembari ketakutan, salah seorang menunjuk seorang gadis yang duduk di bagian tengah bus. Dialah Malala Yousufzai. Begitu melihat Malala, pria tersebut langsung melepaskan tembakan dari senapan otomotis ke arahnya. Peluru muntah dari mulut senapan. Malala dan dua pelajar lainnya bersimbah darah. Peluru melesak ke leher dan kepala gadis berusia 14 tahun itu. ”Mereka menghentikan bus dan berteriak-teriak. Kami ketakutan setengah mati,” kata Kainat Ahmad, teman Malala yang tertembak di bagian tangan kanannya, mengenang tragedi itu.
Sehari kemudian, kelompok Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP) mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Juru bicara TTP, Ehsanullah Ehsan, mengatakan Malala menjadi sasaran karena menyuarakan pikiran sekuler yang ditentang Taliban. Ada pula yang menyebutkan bahwa perintah membunuh Malala datang dari komandan milisi Taliban yang paling ditakuti, Maulana Fazlullah.
Malala menyita perhatian dunia ketika mengkritik perlakuan Taliban yang menguasai desanya selama kurun 2007-2009. Dalam setiap tulisannya, ia menceritakan lingkungan hidupnya yang berada di tengah perang, tentang perlakuan Taliban yang tidak memperbolehkan perempuan bersekolah. Ia menuliskan harapannya dalam blog situs Inggris, BBC, berbahasa Urdu. Untuk menjaga keamanan Malala, dalam setiap tulisannya dicantumkan nama ”Gul Makai”, yang berarti bunga jagung dalam bahasa Urdu.
Identitas aslinya dikenal dunia ketika namanya dinominasikan dalam penghargaan International Children's Peace Prize oleh Uskup Desmond Tutu, aktivis asal Afrika Selatan. Ia kemudian mendapat penghargaan Pakistan's National Youth Peace Prize dari Perdana Menteri Yousaf Raza Gilani pada 19 Desember 2011.
Taliban, yang berarti ”pelajar” dalam bahasa Pashto, bahasa yang banyak digunakan penduduk Afganistan dan Pakistan, tak suka pada pandangan Malala. Kecaman Malala yang masih kanak-kanak itu dibalas Ehsanullah. ”Siapa pun yang pernah memimpin sebuah kampanye melawan Islam dan Syariah diperintahkan untuk dibunuh oleh Syariah,” katanya lantang.
Sepanjang bulan ini, jumlah serangan Taliban meningkat. Tercatat 15 orang tewas dan 17 lainnya luka-luka ketika sebuah bom meledak di sebuah pasar di Darra Adam Khel, barat laut Pakistan, Sabtu dua pekan lalu. Sehari berselang, giliran konvoi pejabat Afganistan yang tengah melintas di Tangi Lali, Provinsi Parwan, disergap. Tembak-menembak selama 30 menit menewaskan delapan tentara dan melukai beberapa lainnya.
Namun insiden penyerangan terhadap Malala itulah yang membuat berang dunia. Presiden Pakistan Asif Ali Zardari angkat bicara. Ia menyebut penembakan Malala merupakan serangan atas semua anak perempuan di negeri itu. Ia tak akan membiarkan aksi penembakan itu menghentikan upaya pemerintah Pakistan terus mendidik anak perempuan. ”Pekerjaan yang dia pelopori lebih tinggi di depan Tuhan daripada yang dilakukan para teroris atas nama agama. Kami akan terus melanjutkan perjuangannya,” ujar Zardari dalam KTT Ekonomi di Baku, Azerbaijan, Selasa pekan lalu.
Menteri Luar Negeri Pakistan Hina Rabbani Khar, perempuan pertama yang menjabat posisi ini, menyebut usaha pembunuhan Malala seperti lonceng peringatan. Adapun Presiden Afganistan Hamid Karzai menulis surat kepada para politikus papan atas dan pemimpin keagamaan di Pakistan. Surat Karzai dikirim ke belasan pemimpin politik dan agama di Pakistan, termasuk kepada Presiden Asif Ali Zardari, Perdana Menteri Raja Pervaiz Ashraf, dan Nawaz Sharif, pemimpin Partai Liga Muslim Pakistan.
Ia menyebutkan serangan ini menjadi momen untuk melenyapkan Taliban selama-lamanya di kedua negara. ”Serangan terhadap Yousufzai itu menunjukkan Afganistan dan Pakistan perlu mengambil langkah terkoordinasi dan serius untuk memerangi terorisme dan ekstremisme,” tulis Karzai.
Afganistan dan Pakistan adalah dua negara yang telah lama tersandera masalah kelompok bersenjata. Tehrik-i-Taliban bukanlah Taliban yang diperangi Amerika Serikat dan sekutunya di Afganistan. Mereka mengadopsi nama Taliban karena memang dekat dengan kelompok yang menguasai Afganistan selama 1996-2001 itu. Tehrik bermarkas di Waziristan Selatan, daerah yang masuk wilayah semi-otonomi yang dikuasai suku-suku lokal di sepanjang perbatasan Pakistan dan Afganistan.
Raza Rumi, Direktur Kebijakan dan Program di Jinnah Institute, sebuah organisasi penelitian Pakistan, mengatakan TTP memang menggunakan taktik seperti Taliban, tapi tujuannya berbeda. ”Target utama mereka adalah Pakistan. Mereka membenci kedekatan hubungan Pakistan dengan Barat,” katanya.
Analis lain menyebut kedekatan kedua kelompok ini menjadi perekat. ”Taliban Pakistan membangun kekuatan bersama Taliban. Seperti sebuah jaringan,” kata Matthew Henman dari IHS Jane's Terrorism and Insurgency Centre. Ketika Taliban berperang dengan Soviet pada Desember 1979-Februari 1989, banyak anggota Taliban Pakistan yang ikut berperang. Mereka tetap menjaga hubungan ketika kembali pulang.
Perang terhadap kelompok garis keras di wilayah semi-otonomi tersebut, yang memiliki tujuh distrik suku dengan luas total 227.220 kilometer persegi, sudah dilakukan Pakistan sejak 2002. Namun upaya itu tak banyak membuahkan hasil. Dewan Hubungan Luar Negeri Pakistan mengatakan kelompok-kelompok ini bersatu pada 2007, dipimpin Baitullah Mehsud, yang kemudian terbunuh dalam sebuah operasi Amerika dua tahun kemudian. Ketika Baitullah Mehsud tewas, faksi-faksi bersaing untuk memimpin Tehrik-i-Taliban. Meski memiliki wilayah masing-masing dan tujuannya berbeda, banyak yang percaya komando kelompok ini dipegang Hakimullah Mehsud.
Perang ”menghabisi” Taliban bukan perkara mudah. Jangankan Pakistan, Amerika dengan sokongan sekutu harus menjalani perang panjang. Pasukan Amerika pada 7 Oktober 2001 menyerbu Afganistan untuk menggulingkan pemerintahan Taliban, yang dituding melindungi Usamah bin Ladin dan Al-Qaidah, kelompok yang dianggap Washington sebagai dalang tragedi 11 September 2001. Tentara NATO yang tergabung dalam International Security Assistance Force tak benar-benar bisa memberantas Taliban.
NATO mengumumkan akan menarik pasukan pada 2014. Inggris bahkan lebih cepat, yakni tahun depan. Kesempatan ini digunakan Taliban untuk mengolok-olok negara adidaya tersebut dengan mengatakan bahwa pasukan Amerika dan sekutunya, NATO, melarikan diri dari Afganistan dalam keadaan malu dan terhina. ”Para pejuang Afganistan yang pemberani di bawah kepemimpinan jihad Emirat Islam mengalahkan kekuatan militer dan segudang strategi Amerika dan sekutu NATO,” kata Taliban dalam pernyataannya yang dikutip Saudi Gazette. ”Setelah sebelas tahun melakukan teror, tirani, kejahatan, dan kebiadaban tanpa henti, mereka melarikan diri dari Afganistan dengan perasaan malu dan terhina, dan mereka berusaha keras mencari alasan.”
Data iCasualties.org mencatat, 3.199 tentara NATO tewas dan lebih dari 2.000 di antaranya tentara Amerika Serikat. Sebagian besar tewas dalam lima tahun terakhir, pada saat serangan Taliban terus meningkat.
Penembakan Malala bisa menjadi era baru perlawanan terhadap Taliban, baik di Pakistan maupun Afganistan. Gadis yang tengah ditangani 17 dokter spesialis di Rumah Sakit Queen Elizabeth, Birmingham, Inggris, itu menjadi ikon perlawanan internasional atas kesewenang-wenangan. ”Malala, Anda adalah cahaya di ujung terowongan,” tulis Ankahi Baatein dalam surat pembaca di harian berbahasa Inggris, Dawn. ”Saya berdoa Anda kembali dan menjadi lebih kuat.”
Raju Febrian (CNN, Gulftime, MSNBC, Christian Science Monitor, Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo