BENARKAH Islam akan menjadi musuh Barat yang baru, setelah komunis tumbang? Seandainya pendapat Profesor Huntington dari Harvard itu benar, itu bukan hanya tanggung jawab Islam. Tapi juga Barat. Lihat saja yang terjadi di negeri-negeri Magribi dan Mesir. Munculnya Islam militan di situ boleh dikatakan seiring dengan penindasan yang dilakukan kolonialisme Barat. Dan yang kemudian ditemukan oleh para pendukung gerakan Islam militan, mereka melihat Islam yang membuat mereka kuat melawan kolonial. Islam yang membuat mereka berbeda dengan si penjajah. Ketika Farhat Abbas, tokoh pejuang penting dalam sejarah perang kemerdekaan Aljazair, kaget bahwa ia tak melihat perbedaan antara bangsanya dan bangsa penjajah, para ulama Aljazair mencoba menjawabnya. Akhirnya ketua perhimpunan ulamanya mengatakan, melihat ke belakang ia menemukan bahwa muslim Aljazair memang ada. Hal yang diceritakan oleh Lisa Anderson dalam sebuah artikelnya itu membuat direktur Institut Timur Tengah di Columbia University, Amerika itu, menyimpulkan, ''Islamlah yang memungkinkan orang Aljazair dapat membedakan diri mereka dari penjajah, yang memberi identitas positif, yang memberikan wawasan sebagai bangsa merdeka.'' Singkat kata, Islam bukan hanya dihayati sebagai agama, tapi juga sebagai identitas politis. Maka, apa pun yang bertentangan atau dianggap bertentangan dengan Islam adalah ''orang lain''. Inilah, tampaknya, dasar dari yang kemudian berkembang menjadi Islam militan, atau yang disebut-sebut sebagai Islam fundamentalis. Dari situlah bisa dipahami mengapa gerakan Islam militan begitu ulet. Dengan keyakinan seperti itu, para pendukung FIS di Aljazair, misalnya, tak takut-takut untuk menanggalkan untuk sementara waktu ''identitas Islam'' mereka guna tujuan yang lebih mereka anggap penting: terwujudnya identitas politis Islam. Itulah mengapa, setelah diredam, ditindas, masih juga gerakan militan ini lahir. Bahkan belakangan ini, di Mesir dan Aljazair, aksi mereka yang disebut sebagai Islam militan itu muncul ke permukaan dengan wajah kekerasan. Dan terutama di Aljazair (pembunuhan intelektual), dan di Mesir (penembakan turis), aksi mereka tampaknya ''kreatif.'' Pertimbangan itulah yang membuat Islam militan di kawasan itu kami anggap layak dijadikan Laporan Utama pekan ini. Meski liputan melingkupi negara-negara Magribi dan Mesir, tak ada cerita tentang Libya dan Tunisia. Kami memilih yang belakangan ini menjadi berita, dan yang terkait dekat dengan berita itu. Itu sebabnya ada juga tulisan tentang Sudan, meski ini bukan negeri Magribi. Negeri Islam ini dituduh menjadi pemasok dana bagi Islam militan di Mesir. Bagian pertama, mencoba menjawab mengapa bila gerakan itu begitu militan, sulit dihabiskan, bahkan hampir berkuasa di Aljazair, tak juga kunjung bisa menumbangkan pemerintah setempat. Bagian selanjutnya adalah laporan peristiwa yang belakangan ini terjadi di Mesir, Aljazair, Maroko, dan Sudan sehubungan dengan gerakan Islam militan. Dan sebuah boks tentang teror Islam militan dalam bentuk lain, yang menimpa seorang asisten guru besar di Universitas Kairo. Ia dituduh murtad, karena menganjurkan agar umat Islam tak begitu saja mengambil ayat Quran atau hadis Nabi sebagai dasar pemecahan masalah zaman kini. Dja'far Bushiri, koresponden TEMPO di Kairo, mewawancarainya. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini