Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Islam militan yang timbul-tenggelam

Di afrika utara gerakan islam militan tumbuh subur. tapi tak pernah meraih kemenangan hingga berkuasa. ada beberapa faktor yang menyebabkan hidup mereka timbul tenggelam.

14 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUGAAN itu ternyata meleset. Dulu, pada pertengahan abad ke-20, pernah muncul analisa, bersama surutnya kolonialisme dan bangkitnya modernisasi di negara-negara Magribi dan Afrika bagian utara, gerakan Islam radikal di negara-negara itu pun akan menjadi lebih moderat. Itulah gerakan-gerakan yang bersumber di Mesir, yang disebut Ikhwanul Muslimin, yang didirikan oleh tokoh ternamanya bernama Hasan Al Banna di tahun 1928. Gerakan yang kemudian menyebar ke negara-negara sekitarnya dengan nama yang berbeda-beda. Yang agaknya tak mendapat perhatian serius, rupanya, di negara-negara itu Islam bukan sekadar agama, tapi juga identitas politis. Ini terutama, menurut Lisa Anderson, direktur Institut Timur Tengah di Columbia University, AS, terjadi di Aljazair. Dalam sebuah artikel yang diterjemahkan di jurnal Ulumul Qur'an, Anderson berpendapat akhirnya orang Aljazair bisa membedakan diri dengan penjajah Perancis karena Islam. Ini juga yang terjadi di Tunisia. Bila kemudian dikatakan di masa kemerdekaan negara-negara itu Islam seperti mengalami kemunduran, sebenarnya pandangan ini kurang akurat. Islam memang tak naik kuasa, tapi terus berkembang di bawah dan sangat potensial menjadi kelompok oposisi. Dimensi religius itu membuat mereka mampu bertahan dalam keadaan yang paling sulit pun. Inilah landasan kuat untuk sewaktu-waktu meledak kembali. Dan memang kemudian sejumlah faktor menggencet Islam yang memojokkannya untuk meledak. Yang pertama adalah berdirinya Republik Islam Iran setelah revolusi Ayatullah Khomeini berhasil menendang Syah Iran dari tahtanya. Lalu runtuhnya ideologi komunisme membuat alternatif ideologi makin menyempit, dan salah satunya adalah Islam. Lebih-lebih lagi, dalam keruntuhan ini pejuang muslim punya andil, yakni mujahidin Afghanistan yang merebut Kabul, dan meruntuhkan rezim komunis. Kemudian, perkembangan ekonomi yang terbagi tak merata menjadikan mereka menafsirkan pembangunan ala Barat hanya menghasilkan korupsi dan ketamakan. Ini bagi mereka makin meyakinkan bahwa pilihan pada Islam adalah pilihan yang tepat. Sebuah kenyataan yang membuat rasa percaya diri umat Islam militan menjadi semakin kukuh adalah kemenangan FIS, Front Islam Penyelamat, partai Islam radikal di Aljazair, dalam pemilu lokal pada tahun 1989, dan kemudian pemilu nasional putaran pertama akhir 1991. Tapi kemenangan ini berhenti di tengah jalan. Pemerintah, yang tak ingin Aljazair menjadi negara Islam, tak melanjutkan pemilu putaran kedua, sampai sekarang. Kasus FIS di Aljazair merupakan contoh bagaimana kebijaksanaan pemerintah yang menerapkan sistem sosialis secara tak disengaja justru memberikan kekuatan pada gerakan Islam militan. Lihat, antara tahun 1970 dan 1980, pendapatan Aljazair dari minyak naik dari US$ 272 miliar menjadi US$ 10,5 triliun per tahun kenaikan sekitar 4.000%. Tapi anehnya, pengangguran justru meningkat, menurut majalah Middle East, edisi Februari 1993, menjadi 75% untuk usia di bawah 30 tahun. Selain itu, perumahan begitu payah. Penjelasan rasionalnya, sungguh mudah dan sangat tak memuaskan rakyat banyak: pertumbuhan ekonomi yang besar itu ternyata masih kalah dibandingkan pertambahan penduduk. Yang benar, utang luar negeri Aljazair tahun-tahun sebelumnya telah menyedot sebagian besar pemasukan dari penjualan minyak, dan memang ada pemberian fasilitas khusus pada kelompok tertentu, yakni tentara. Ketika itulah FIS, yang masih merupakan partai terlarang dan bergerak di bawah tanah, menjanjikan penyelesaian yang praktis dan singkat. Beruntung karena waktu itu jaringan mesjid masih dikuasainya, sehingga tawaran yang gampang dikunyah ini pun menyebar luas. Sebenarnya, dikuasainya mesjid oleh Islam radikal adalah akibat kebijaksanaan pemerintah. Tujuannya adalah meredam keradikalan kelompok ini. Tapi ternyata dampak sebaliknya justru yang terjadi: gerakan ini makin mendapat dukungan luas. Apa itu konsep FIS? Sebenarnya, tak jelas. Yang kemudian diomongkan orang di semua sudut Aljazair adalah penguasa melakukan korupsi, dan kelompok demokrat sedang mencoba merangkul kekuatan asing, yang sudah tentu ini Barat, untuk meminjam sistem mereka. Sebenarnya, waktu itu FIS tak sendirian. Kelompok demokrat berpihak pada FIS karena kelompok ini pun bercita-cita menggulingkan pemerintahan yang dikuasai oleh tentara itu, dan ketika itu masih melihat gerakan ''orang-orang berjanggut'' itu pantas dibantu. Karena konsep bernegara yang tak meyakinkan, dan dikhawatirkan toleransi mereka rendah, akhirnya dukungan itu pun dicabut. Dan seperti sudah disinggung, kesempatan yang membuat Islam militan tampil dan punya prospek meraih kemenangan oleh pemerintah dipotong di tengah jalan. Dan kembalilah gerakan Islam radikal di Aljazair ke tahun-tahun sesudah kemerdekaan Aljazair, sesudah tahun 1962: sebagai gerakan di bawah tanah. Tampaknya, Islam militan, di mana pun, lahir karena terjadinya krisis. Yakni ketika tradisi kehidupan sosial sehari-hari goyah oleh tuntutan perkembangan ekonomi dan kemajuan zaman, sementara pihak penguasa tidak bisa memberikan alternatif, kecuali bersikap defensif dan memukul para pengritiknya. Celakanya, sebelum itu terjadi, biasanya, untuk mencegah gerakan radikal itu berkembang, justru gerakan itu dibantu dengan berbagai fasilitas. Tujuannya, itu tadi, agar keradikalannya agak melunak. Misalnya, itu tadi, bantuan ke mesjid-mesjid di Aljazair sebelum FIS muncul dengan wajah kekerasan. Kebijaksanaan itu rupanya diterapkan tanpa menyadari sejarah. Islam di Magribi dan Afrika bagian utara bukan semata agama, tapi juga menjadi identitas politis. Huru-hara yang terjadi di Tunisia dan Maroko tahun 1984, misalnya, tak ada kaitannya dengan agama, tapi hanya karena kenaikan harga roti setelah pemerintah mencabut subsidi. Di Mesir, tumbuhnya keresahan karena kondisi perumahan rakyat yang buruk, kemiskinan, dan kepadatan penduduk yang tak pernah bisa diatasi dengan baik oleh pemerintah. Kondisi yang tidak membahagiakan rakyat tersebut telah dijadikan legitimasi tambahan dari kelompok-kelompok militan setelah menggunakan Islam sebagai bendera sebagai dasar untuk mengambil posisi oposisi. Satu contoh menarik adalah yang dilakukan Syekh Abdul Rahman, ulama buta yang kini ditahan oleh polisi federal AS, FBI, di New York. Di zaman Mesir masih dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser, Abdul Rahman muda diserahi kelompoknya berdakwah di Desa Fidimin, 110 km barat daya Kairo. Desa ini miskin, sepertiga warganya pemeluk Kristen Koptik. Beberapa lama kemudian Fidimin dikenal sebagai salah satu pusat gerakan Islam militan. Salah satu resep Abdul Rahman dalam dakwahnya selalu menyebut pemimpin Mesir sebagai ''Firaun'', yang oleh baik umat Islam maupun Kristen dikenal baik sebagai tokoh jahat. Karena ''Firaun'' itu, katanya, kesengsaraan diderita oleh mereka. Tentu, masalah di latar belakangnya taklah sesederhana hanya karena penguasa bagaikan ''Firaun''. Menurut sejumlah pengamat, dasar konflik antara ulama militan dan pemerintah Kairo bermula dari perbedaan pendekatan dalam menerapkan Islam untuk mengurus negara. Beleid sosial dan ekonomi Nasser didasari oleh sosialisme gaya Arab, sebuah campuran antara Islam, Marxisme, dan etatisme. Para ulama yang dirangkulnya kemudian menjadi bagian penting birokrasi, sesuai dengan garis politik Nasser. Sementara itu, para ulama militan, antara lain para pendukung Ikhwanul Muslimin yang menghendaki teokrasi, negara berdasarkan agama tidak mendapatkan peran. Konflik menajam karena setiap gerakan perlawanan dihadapi dengan keras, terutama setelah terjadi usaha pembunuhan Nasser pada tahun 1954. Puncak kemarahan pemerintah Mesir terhadap Islam militan adalah ditembaknya Presiden Anwar sadat tahun 1981. Inilah korban terpenting Islam militan dalam sejarah Mesir. Pemerintah Mesir lalu mengadakan tekanan besar-besar pada kelompok ini. Sebentar-sebentar ada razia di kawasan kumuh di Kairo bagian selatan, yang dikenal sebagai pesemaian Islam militan. Itulah sebabnya, setelah itu Islam militan seperti tak terdengar geraknya di Mesir. Muncul kembalinya aktivitas Islam militan di Mesir belakangan ini, yang menembaki para turis Barat, tak begitu jelas sebabnya. Ada yang bilang, ini karena komando Syekh Rahman dari AS, yang kabarnya antara dia dan kelompoknya di Mesir, masih terus berlangsung komunikasi. Teori lain mengatakan, kembalinya orang Mesir yang bergabung dengan mujahidin Afghanistan di pertengahan 1992, setelah Kabul jatuh tahun 1990, yang membawa senjata-senjata modern, menyebabkan kelompok militan ini merasa segar kembali. Tapi apa pun sebabnya, dasarnya masih sama. Kehidupan yang timpang, dan sumber ini semua adalah rezim yang dianggap tidak adil atau pro Barat. Dan, adalah cita-cita yang tampaknya tak mati-mati, mendirikan negara Islam. Maka, bisa saja kelompok militan ini terlihat bisa bekerja sama dengan pemerintah, misalnya di Maroko. Tapi, begitu Perang Teluk pecah, awal 1991, meledaklah demonstrasi besar mendukung Saddam dan mengutuk AS dan sekutunya. Di Libya, hanya dengan kekerasan Muammar Qadhafi Islam militan bisa ditekan. ''Penggal lehernya, lemparkan ke jalanan,'' perintah Qadhafi tahun 1990. ''Mereka itu murtad, menganggap hanya pendukung Ikhwanul Muslimin saja yang Islam.'' Tapi gerakan ini, seperti terbukti di Aljazair, Mesir, dan Maroko, tak pernah mati. Seperti juga hengkangnya kolonialis dan datang zaman modern tak melarutkan Islam militan. Tapi mengapa mereka tak juga bisa naik kuasa? Jika Aljazair bisa dijadikan contoh, tampaknya selama Islam militan tak punya konsep bernegara yang bisa diterima semua lapisan masyarakat, mereka tetap akan dalam posisi oposisi. Paling, seperti di Mesir, begitu ada suntikan kekuatan baru (bisa berarti dana, senjata, tokoh, pemikiran), mereka akan bergerak. Lalu pemerintah turun tangan dengan keras. Kelompok itu pun kembali tenggelam. Tampaknya, begitu sejarah akan mencatat mereka, selama tak ada konsep yang bisa diterima semua lapisan. Mohamad Cholid & BB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus