HARI itu Philip Al Qummus Basilius, seperti biasanya, sibuk di pabrik farmasi tempat dia bekerja. Sore hari, menjelang jam kerja usai, serentetan tembakan terdengar. Basilius roboh. Tewas. Pihak keamanan Mesir menduga, penembakan di kota kecil Dayrut Al Sharif, 280 km selatan Kairo, Kamis sore pekan lalu itu dilakukan oleh kelompok Islam militan. Basilius, beberapa hari sebelumnya, muncul di pengadilan yang mengadili tertuduh pelaku teror belakangan ini, anggota Islam militan, sebagai saksi. Bisa jadi lelaki berusia 36 tahun itu dihabisi agar ia tidak muncul menjadi saksi di pengadilan terhadap 53 anggota Islam militan di Kairo, Senin pekan ini. Mesir sejak Maret tahun lalu memang diusik kembali oleh teror Islam militan. Sudah 170-an korban tewas. Sudah 21 tertuduh digantung, sekitar 240 orang masih berada di tahanan, menunggu pengadilan (menurut Amnesty International sekitar 7.000 orang yang ditahan). Tapi teror terus bergerilya. Dan bukan hanya berwujud kekerasan. Ada juga kasus asisten guru besar di Fakultas Sastra Universitas Kairo, yang batal memperoleh doktor karena disertasinya dikatakan mengandung ''diskusi yang mirip diskusi ateisme''. Konon, ketua dewan penguji pendukung Islam militan. Dan sejak Maret lalu, setelah promosi doktornya tertumbuk masalah yang bukan akademis itu, ada saja yang mengganggu Abu Zeid. Antara lain, seorang ahli hukum mengajukan permohonan agar menceraikan Abu Zeid dan istrinya (lihat Teror yang Lain). Di negeri tempat lahir Ikhwanul Muslimin ini, kini sedikitnya tiga sempalan kerasnya muncul ke permukaan. Jamaah Islamiyah yang dipimpin oleh Abud Zamur. Kelompok ini bermula hidup di kampus-kampus, baru kemudian menjalar ke masyrakat. Kelompok inilah yang ada di belakang pembunuhan Pesiden Anwar Sadat. Lalu, Jamaah Takfir Wal Hijrah, dipimpin oleh Ir. Soukri Mustafa. Aktivitas kelompok ini mengendur setelah Mustafa digantung karena terlibat penculikan Menteri Wakaf Dr. Hussein Dzahabi. Berikutnya, kelompok Tandzim Al Jihad, yang dipimpin oleh Syeikh Abdul Rahman, berdiri awal tahun 1980-an. Ulama buta ini kerap keluar masuk tahanan, dan terakhir setelah bebas, ''melarikan diri'' ke pengasingan di AS, lewat Sudan. Ia tetap mengendalikan gerakan ini dari New Jersey, AS. Ia kini ditahan FBI, dituduh memalsukan dokumen imigrasi. Sebenarnya, Pemerintah AS ingin menyeret Syeikh Rahman terlibat rencana teror, tapi tak ditemukan bukti-bukti. Belakangan berdatangan veteran sukarelawan perang Afghanistan, yang disebut El Aidun Minal Afghan (orang-orang yang kembali dari Afghanistan). Tak diketahui siapa pemimpinnya, tetapi polanya diduga meniru kelompok militan Aljazair, yaitu tiap anggota siap menggantikan posisi ketua yang ditangkap. Diduga kelompok inilah yang menyulut penembakan pada turis Barat di Mesir. Selain itu, ada kelompok di luar sempalan Ikhwanul Muslimin, Talaai'ul Islam, yang sering mengklaim diri pelaku peledakan bom belakangan ini. Tak jelas berapa jumlah pendukung gerakan-gerakan itu. Yang bisa diduga, mereka mendapat dukungan luas di kalangan lapisan bawah. Misalnya, kalangan yang bermukim di kawasan Ein Shams di bagian selatan Kairo, yang kerap dirazia oleh pemerintah kalau ada kerusuhan atau aksi teror. Perkampungannya kumuh dan padat penduduk, kebanyakan bekerja sebagai buruh murah, atau penganggur. Tapi ada pula sejumlah guru. Di kalangan seperti itulah rekaman gelap khotbah Syeikh Abdul Rahman amat digemari. Kalangan yang terkena perkembangan ekonomi yang seret. Dan itu akibat ledakan penduduk dua kali lipat selama 40 tahun menjadi 56 juta jiwa kini. Pengangguran di Mesir tercatat sekitar 20%. Harga kebutuhan pokok naik dua kali lipat dalam tempo tiga tahun ini. Tak heran kalau gerakan Islam militan mudah mendapatkan simpati karena sering memberikan bantuan makanan, mendirikan pusat kesehatan dan pendidikan bagi kalangan tak mampu. Jangan lupa pada saat gempa di Mesir beberapa waktu lalu, kelompok militan lebih cepat dan lebih terorganisasi melakukan pertolongan kepada korban daripada pemerintah. Tentu tak semua orang Mesir bersimpati pada Islam militan. Dalam pawai pemakaman warga sipil dan polisi yang terbunuh, pertengahan Juli lalu, ribuan orang dan pemuda mengacungkan poster, ''No to terrorism. Yes to social peace''. Lalu mereka berteriak, ''Terorisme musuh Allah.'' Bagi para ulama yang pro pemerintah, ''Mereka kuffar, bukan Islam, cuma menggunakan embel-embel Islam,'' kata Syekh Omar Mahmud Sayyid, 42 tahun, imam Mesjid El Rahmah yang dibiayai pemerintah. Syekh yang berasal dari daerah miskin di bagian selatan Kairo dan mengenal kelompok teror ini. ''Mereka penganggur yang cari makan dari bayaran melakukan teror,'' katanya. Presiden Mubarak kerap menuduh Iran dan Sudan, dua negara Islam, sebagai penyokong utama gerakan Islam militan di Mesir. Iran dituduh melatih, mengongkosi, dan mempersenjatai mereka dengan senapan dan bom. Sudan dituduh menyelundupkan senjata ke Mesir. Iran dan Sudan tentu membantah. ''Kebangkitan Islam adalah gejala sejarah,'' kata Hasan Turabi, tokoh politik dari Sudan. Ada juga yang menuduh Israel berada di belakang gerakan Islam militan Mesir belakangan ini. Misalnya, surat kabar dua mingguan El Sha'ab. Indikasinya, beredarnya heroin dan uang dolar ratusan palsu, yang diselundupkan dari Israel. Tak jelas kaitan dua hal itu dengan gerakan Islam militan. Upaya mengikis gerakan militan sejauh ini kurang berhasil. Hukuman mati tak memperlemah para aktivisnya. Dan ternyata pemerintah Kairo hanya mampu mengontrol sekitar seperlima dari 125.000 mesjid di seluruh Mesir. Maka, kelompok-kelompok yang konon bergerak dengan luwes itu bisa saja mengelakkan hantaman. Pemuda Mesjid El Salam, di kawasan Ein-Shams yang termasuk basis Islam militan, misalnya, tak segan mencukur jenggot dan berpakaian seperti Barat agar tak dibuntuti intel. Ada yang bilang, Pemerintah Mesir rupanya memandang remeh gerakan ini, baik dari jumlah pengikutnya maupun seriusnya tujuan mereka. ''Tujuan gerakan ini agar Mesir tidak stabil bukan mendirikan negara Islam,'' kata seorang sumber di Kementerian Dalam Negeri Mesir kepada TEMPO. Alasannya, tambah sumber tadi, jumlah mereka ratusan saja, dengan 5.000 pendukung amat kecil dari total 56 juta penduduk Mesir. Tapi jumlah bisa mengembang atau mengempis. Dan bila benar gerakan ini subur di kalangan bawah yang menderita, dan di kalangan orang-orang yang prihatin terhadap penderitaan itu, selama Mesir tak bisa mengatasi kesulitan ekonominya, ruang bagi mereka berkembang tetap terbuka. Indrawan (Jakarta) dan Dja'far Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini