Dua tulisan pada Komentar TEMPO, 26 dan 31 Juli, tentang keberadaan NKK/BKK, membuat hati saya terpanggil untuk ikut urun rembuk. Sebetulnya kedua tulisan yang pro dan kontra itu wajar-wajar saja. Sebab, masalah NKK/BKK, sejak pertama dikeluarkan pada tahun 1978, memang telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan, baik di media massa maupun dalam diskusi- diskusi khusus oleh mahasiswa. Dalam konteks kekinian memang masih merupakan perdebatan yang akan tetap aktual. Namun, yang jadi keprihatinan dan ganjalan bagi saya dari kedua polemik itu adalah pengungkapannya yang kurang bijak dan kurang proporsional. Dengan kata lain, terlalu emosional. Setujunya Ubi pada konsep NKK/BKK karena konsep itu dianggapnya sebagai upaya terobosan untuk meng-counter ''politik praktis'' di kampus yang, menurut Ubi, menjadi kendala dalam meningkatkan sumber daya manusia yang harus disingkirkan. Dengan adanya program NKK/BKK itu pula, mahasiswa tidak mudah dipolitisasi. Dari alasan inilah, Ubi kemudian harus mengatakan bahwa tak semestinya harus menciptakan mahasiswa-mahasiswi berwatak robot dan tidak punya kepedulian sosial. Pernyataan Ubi itulah yang menggugah Syafruddin untuk menanggapinya. Dengan gemas, Syafruddin berkelit tidak rela jika gerakan mahasiswa selalu diinterpretasikan sebagai gerakan politik. Gerakan mahasiswa adalah gerakan pemikiran. Seraya ia mengungkapkan tilikannya terhadap program NKK/BKK yang dianggapnya telah membuat ruang gerak mahasiswa menjadi sempit, jadwal kuliah padat, tugas akademik bertumpuk, dan masa studi dibatasi dengan program SKS (satuan kredit semester), hingga membuat mahasiswa berpikir hanya pada materialisme. Bahkan sistem pendidikan semacam ini membuat sarjana bersifat mekanistis dan menciptakan masyarakat teknostruktur. Realitas ini jelas bertolak belakang dengan pribadi mahasiswa sebagai intelektual, jiwa muda, dan idealisme. Di pihak lain, Saudara Syafruddin mengumandangkan, NKK/BKK adalah konsep politik yang terselubung dalam konsep pendidikan yang tidak lain untuk mematikan kekuatan moral dan membungkam mahasiswa sebagai agen perubahan sosial. Gerakan mahasiswa menjadi terkotak-kotak dalam satu profesi keilmuan, kreativitas mahasiswa berkurang, kader pimpinan bangsa berkurang, dan sebagainya. Pernyataan Ubi memang ada benarnya. Adanya NKK/BKK itu janganlah membuat mahasiswa menjadi robot dan tidak punya kepedulian sosial. Sebagai orang terdidik yang melibatkan diri pada pembangunan dan masyarakat, mahasiswa tidak boleh ''cengeng'' dengan konsep NKK/BKK yang sudah menjadi kenyataan sejarah. Bukankah NKK/BKK adalah tidak lebih hanya sekadar kumpulan konsep-konsep sebagai ''barang mati'' yang peran dan fungsinya bisa dimainkan dan disiasati? Inilah tentunya yang harus disadari dan dipahami secara bijak oleh mahasiswa. Mengidentikkan gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik tentu tidak dibenarkan, terlalu emosional, dan kurang proporsional. Sementara itu, pernyataan Syafruddin sangat terlalu antipati pada konsep NKK/BKK, yang dinilainya sangat memberatkan dan merugikan mahasiswa. Ungkapan-ungkapan serupa itu dari dulu memang selalu menghiasi polemik-polemik yang tidak lain mengecam konsep NKK/BKK. Misalnya, NKK/BKK membuat mahasiswa bersikap pasif, tidak tanggap atau peduli, kesatuan sesama mahasiswa renggang, tidak memiliki rasa kreativitas, dan sebagainya. Inilah kemudian, seperti dimuat TEMPO, yang membuat Menteri Wardiman Djojonegoro berang dan menantang minta bukti bahwa NKK/BKK itu telah membuat kisruh dan kekacauan. Di sini Syafruddin kurang jeli dengan realitas yang berkembang. Bagi saya, NKK/BKK ini tidak terlalu berpengaruh dan bukan merupakan hambatan untuk berkiprah dan beraktivitas di organisasi intra, ekstra, LSM, kedaerahan, kursus-kursus, dan menulis di media massa. Jelasnya, NKK/BKK ini adalah barang mati yang berupa konsep- konsep. Semuanya itu terpulang pada kemauan dan kesadaran mahasiswa itu sendiri. Sebab, sekalipun kita menggugat, mengecam habis-habisan agar NKK/BKK ditinjau kembali tapi mahasiswanya sendiri tidak mau aktif, itu kan namanya kurang etis. Fenomena dan kondisi semacam itulah sebetulnya yang harus dibenahi dan perlu dipikirkan. Saya yakin, tanpa adanya NKK/BKK pun, karena mentalitasnya sudah tidak punya ''rasa peduli'', keadaan akan tetap statis. Jika NKK/BKK ini memang dirasa sebagai penghalang, untuk meng-counter-nya dan agar kegiatan kemahasiswaan tetap berjalan, ada tiga alternatif kegiatan yang bisa dijalankan. Pertama, tetap menempatkan kampus sebagai pusat kegiatan mahasiswa dengan berbagai perubahan organisasi maupun orientasi kegiatan. Kedua, mahasiswalah yang aktif berusaha mencari bidang kegiatan baru di luar kampus sebagai lanjutan dari berbagai hal yang pernah diperjuangkan dalam gerakan mahasiswa. Ketiga, back to extra, mahasiswa menyalurkan kegiatannya dalam organisasi universitas, baik yang bersifat lokal maupun politik. Kalau kita menghayati, memahami, dan melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan kebijakan, tentu kita akan menjadi sarjana ideal seperti yang diuraikan Prof. Dr. Naito dari Osaka University itu. Yakni, yang memiliki lima karakteristik dasar: keunggulan individual, kaya kreativitas, memahami ilmu-ilmu dasar, memahami realita sosial, dan punya kepekaan lintas budaya. UCI SANUSIE S.R. Mahasiswa IAIN Jakarta Jalan Pesanggrahan 28 Ciputat 15412, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini