Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rangkaian gambar tanpa sensor di layar televisi itu datang dari Rotterdam: seribuan demonstran warga Turki di perantauan yang pro-pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan bentrok dengan polisi Belanda. Sebagian dari mereka tampak berusaha menahan pukulan pentungan dan gigitan anjing patroli. Peristiwa pada Ahad pekan lalu ini meletus setelah polisi membubarkan demonstrasi yang telah berlangsung beberapa jam dan peserta protes melawan dengan lemparan batu.
Semua kejadian itu merupakan akibat dari perkembangan cepat sejak sehari sebelumnya. Pemicunya adalah pengusiran Menteri Urusan Keluarga Turki Betul Sayan Kaya dan penolakan pemberian izin mendarat di kota pelabuhan tersebut untuk Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu. Kedua menteri ini dijadwalkan berpidato dalam kegiatan kampanye menjelang referendum Turki pada 16 April nanti.
Perang kata-kata segera pecah. Erdogan menuduh Belanda, yang di masa Perang Dunia II diduduki oleh tentara rezim Hitler, telah ¡±menjadi sisa-sisa Nazi¡±. Menepis tudingan ini, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte berkata, ¡±Itu pernyataan sinting tentu saja. Tapi saya paham mereka marah, meski hal itu keterlaluan.¡±
Belanda sebetulnya tak sendirian dalam mengambil sikap itu. Jerman malah lebih dulu menolak permintaan izin kegiatan kampanye yang akan dihadiri Erdogan dan karenanya dikata-katai telah ¡±menggunakan taktik dari era Nazi¡±. Di Austria dan Denmark, kegiatan serupa malah tak jelas nasibnya: bisa berlangsung atau tidak.
Bagi kebanyakan warga Turki, larangan-larangan itu merupakan bukti dari kecurigaan bahwa negara-negara Eropa memandang rendah mereka dan kaum perantauan. Tapi, apa pun niatnya, di kalangan orang Turki, tindakan yang dianggap sebagai penghinaan itu menggoyahkan perasaan istimewa yang menjadi elemen penting di masa Erdogan.
Keberadaan diaspora warga Turki di Eropa, bagi Erdogan dan pendukung setianya, bagaimanapun merupakan bagian penting untuk mewujudkan tujuan mengubah sistem kenegaraan Turki, dari parlementer ke presidensialdemi hal inilah referendum nanti diselenggarakan. Jumlah warga Turki di negara-negara itu terhitung besar, kurang-lebih 3 juta orang; di Belanda dan di Jerman saja masing-masing terdapat 400 ribu dan 1,4 juta orang.
Menurut Cemal Yazsil, yang menulis di New Statesmen, di antara mereka diam-diam tumbuh sel-sel politik pro-Erdogan. Bisa dipahami bila mereka merupakan sasaran kampanye yang tak boleh diabaikan. Para pendukung Erdogan sudah dijadwalkan berbicara dalam acara pawai di berbagai kota di Eropa sekalipun undang-undang melarang kampanye di luar negeri dan bahwa komisi pemilihan umum telah memastikan, pada Februari lalu, "semua bentuk propaganda" di luar negeri adalah ilegal.
Dalam referendum, pemilih akan dimintai persetujuan atau penolakan terhadap perubahan konstitusi. Di antara pasal-pasal barunya, yang terpenting dari konstitusi yang disetujui parlemen pada 20 Januari lalu ini adalah penghapusan jabatan perdana menteri dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada presiden-atau, dengan kata lain, Erdogan. Para pengkritik di Turki, yang sudah dibungkam melalui serangkaian penahanan terhadap aktivis, wartawan, dan penulis, melihat hal ini sama saja dengan mengesahkan Erdogan sebagai penguasa tunggal, jika bukan diktator.
Dalam tulisannya yang sama, Yazsil mengemukakan negara-negara Eropa sebetulnya punya alasan yang valid melarang kampanye itu: bahwa rezim Erdogan menindas kaum liberal, demokrat, dan pembela hak asasi manusia di dalam negeri. Masalahnya, menurut dia, pesan ini tidak disampaikan secara lantang dan tegas. Di Austria, ada satu rencana kampanye yang dilarang berdasarkan peraturan tentang kebakaran. Di Jerman ada izin kampanye yang dibatalkan, tapi ada pula yang dibolehkan.
Dalam kaitan dengan yang terjadi di Belanda, pertikaian dengan Turki justru dinilai bakal menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Mahir Zeynalov-wartawan Turki yang tinggal di Washington, DC-keuntungan di pihak Belanda bakal dinikmati partai penguasa, yang menghadapi pemilihan umum pada Rabu pekan lalu terancam oleh naiknya popularitas Geert Wilders, politikus ultra-kanan dari Partai untuk Kebebasan yang anti-Islam dan anti-imigran. Larangan kampanye, Zeynalov menulis di The Globe Post, "merupakan tindakan nasionalisme pamungkas" untuk membendung naiknya peluang kemenangan bagi Wilders.
Sentimen yang sama kini sedang dimainkan oleh Erdogan dengan terus mengembuskan "angin" permusuhan.
Purwanto Setiadi (CNN, New Statesmen, The Telegraph, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo