Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERLU waktu dua hari bagi Park Geun-hye hingga akhirnya hengkang. Ahad dua pekan lalu itu, Park meninggalkan Istana Biru-kantor kepresidenan Korea Selatan. Ia pergi sebagai rakyat jelata, tak lagi diaku presiden. Meski tidak secara langsung, perempuan 65 tahun itu melontarkan kata-kata maaf kepada rakyat Korea Selatan yang telah dibuatnya kecewa.
"Saya menyesal karena gagal mengemban mandat sebagai presiden," ujar Min Kyung-wook, anggota parlemen dari partai penyokong Park, Partai Kebebasan Korea, membacakan pernyataan tertulis Park. "Ini akan memakan waktu, tapi saya yakin kebenaran akan terungkap," Min, yang pernah menjadi juru bicara Park, melanjutkan.
Park angkat kaki selepas keluar putusan Mahkamah Konstitusi, yang melengserkannya atas skandal penyalahgunaan wewenang, Jumat dua pekan lalu. Dikawal ketat pasukan keamanan, ia keluar dari Istana Biru dalam iring-iringan mobil hitam. Park menuju kediaman pribadinya di Samseong, Distrik Gangnam, Seoul. Kedatangan Park disambut ratusan pendukung dan pembenci yang campur baur membanjiri sekitar rumahnya.
Park terbukti melanggar konstitusi dan hukum Korea Selatan karena membiarkan teman dekatnya, Choi Soon-sil, ikut campur dalam urusan negara. Park juga terancam masuk bui setelah namanya terseret dalam skandal korupsi Choi. Choi diadili lantaran menjajakan kedekatannya dengan Park untuk memeras sejumlah perusahaan raksasa negeri itu. Total hampir US$ 70 juta (nyaris Rp 1 triliun) duit masuk ke rekening yayasan nirlaba milik Choi.
Nyaris empat tahun silam, rakyat Korea Selatan mengelu-elukan Park. Ia tak hanya sukses mewarisi takhta ayahnya, Park Chung-hee, yang pernah memimpin Negeri Ginseng selama 18 tahun sejak 1960-an. Sejarah juga mencatat Park sebagai presiden perempuan pertama di negeri itu. Ia merebut kemenangan lewat pemilihan umum yang demokratis.
Kini sang Putri Daegu-julukan untuk Park-tak lagi berkarisma. Bahkan di Daegu, kota kelahiran dan benteng kekuatan politik Park, sambutan warga berubah dingin. Padahal Park pernah mendulang banyak suara di kota berpenduduk 2,5 juta jiwa di tenggara Seoul itu.
"Sebagian besar dari kami membencinya," kata Park Kyung-sook, 41 tahun, pemilik kios pangsit, mengomentari kunjungan Park Geun-hye ke Daegu akhir tahun lalu.
Di alun-alun Gwanghwamun, ruang publik terbesar di jantung Seoul, puluhan ribu orang merayakan kepergian Park, Sabtu dan Ahad dua pekan lalu. Mereka menggelar unjuk rasa pamungkas, yang mengakhiri rangkaian protes akbar tiap akhir pekan sejak skandal Park mencuat pada Oktober tahun lalu. Letusan kembang api malam itu menerangi langit Seoul. "Di sini sejarah dibuat," ujar seorang warga Seoul, Jeon Soo-jung.
SELEPAS Park Geun-hye lengser, ingar-bingar beralih meletup di gedung parlemen. Kosongnya kursi presiden membikin para legislator sibuk. Ada 60 hari tersisa hingga pemilihan presiden kembali digelar. Posisi Park sementara waktu diisi oleh Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn, yang didapuk sebagai penjabat presiden sejak 9 Desember 2016.
Di parlemen, empat partai terbesar terbelah kubu. Para pentolan Partai Kebebasan Korea, Partai Rakyat, dan Partai Bareun bermufakat tentang usul referendum dasar negara. "Kami memutuskan untuk mendorong revisi konstitusi," ucap Kim Dong-cheol, politikus dari Partai Rakyat, yang menduduki Ketua Komite Reformasi Konstitusi di parlemen.
Kim menilai konstitusi Korea Selatan, yang berumur 30 tahun, telah usang. Konstitusi perlu dirombak untuk mengurangi kekuasaan presiden yang terlampau digdaya. Skandal Park membuktikan bahwa wewenang besar presiden justru rawan disalahgunakan. "Kekuasaan harus dibagi. Presiden hanya menangani urusan luar negeri dan keamanan nasional," ujar Kim. "Sedangkan urusan domestik di tangan perdana menteri, yang dipilih oleh parlemen."
Di kubu seberang, Partai Demokrat sendiri menantang manuver tiga partai tersebut. Tidak ada perwakilan Demokrat ikut dalam persamuhan pada Rabu pekan lalu itu. Ketua fraksi Partai Demokrat di parlemen, Woo Sang-ho, menyatakan partainya menolak rencana amendemen konstitusi dalam waktu dekat. "Rencana itu sangat tidak masuk akal," katanya.
Menurut Woo, isu penting seperti revisi konstitusi bakal memerlukan partisipasi dari partai mayoritas. Di parlemen, Partai Demokrat, yang meraih 121 kursi, kini menjadi partai paling perkasa. Demokrat menggeser posisi Partai Saenuri, partai konservatif penyokong Park, yang telah pecah kongsi. Sebanyak 30 dari 126 anggota Saenuri memilih hengkang dan membentuk partai baru, Partai Bareun. "Mereka menjauhkan diri dari mantan presiden," begitu menurut Korea Herald. Anggota Partai Saenuri yang tersisa di parlemen lantas mengubah nama partai menjadi Partai Kebebasan Korea untuk mendongkrak citra partai.
Di parlemen, usul amendemen konstitusi hanya dapat diajukan oleh minimal 150 legislator. Usul itu pun bisa lolos jika dua pertiga anggota dewan, yaitu 200 legislator, menyetujuinya. Kini Partai Rakyat, yang memelopori rencana amendemen, baru mengantongi dukungan dari 165 legislator. Namun Kim Dong-cheol tidak khawatir. "Ada beberapa anggota Partai Demokrat yang bersama kami," ucapnya.
Wajar bila Partai Demokrat kebakaran jenggot. Lengsernya Park Geun-hye membuat partai oposisi utama berhaluan liberal itu sebagai kekuatan politik terpopuler. Dalam jajak pendapat Korea Research Center, yang digelar selepas Mahkamah Konstitusi memecat Park, misalnya, Partai Demokrat meraup 46,4 persen dukungan responden, naik 3,4 poin dari bulan lalu. Sedangkan Partai Rakyat hanya mendapat 10,7 persen, disusul Partai Kebebasan Korea (9,6 persen) dan Partai Bareun (5,6 persen).
Partai Demokrat juga berpeluang besar mendorong kadernya, Moon Jae-in, sebagai pengganti Park Geun-hye. Moon kandidat terkuat untuk mengisi kursi Istana Biru. Dalam berbagai survei, popularitas pria 64 tahun itu meroket di posisi puncak dengan 30 persen suara. Moon, yang pernah kalah tipis dari Park pada pemilihan 2012, kali ini percaya diri. "Kami akan menulis sejarah baru melalui reformasi menyeluruh," kata Moon dalam pidatonya.
Moon menuding usul revisi konstitusi hanya akal-akalan kubu lawan, Partai Rakyat, yang berkongkalikong dengan partai bekas penguasa, Partai Kebebasan Korea. Apalagi Partai Rakyat, Partai Kebebasan Korea, dan Partai Bareun mengusulkan agar referendum konstitusi digelar serentak dengan pemilihan presiden pada 9 Mei. "Pembahasan hal itu bentuk penolakan kedaulatan negara," tutur bekas Ketua Partai Demokrat tersebut.
Partai Demokrat tak ingin kehilangan momentum berharga. Terlebih Partai Rakyat, partai oposisi kedua, saat ini tak punya cukup amunisi. Partai yang baru terbentuk pada awal 2016 itu menggodok Ahn Cheol-soo, Chun Jung-bae, dan Sohn Hak-kyu sebagai kandidat presiden. Dari tiga legislator itu, Ahn, pendiri dan bekas pemimpin Partai Rakyat, paling unggul. "Tapi dia hanya meraup 11,3 persen dukungan," begitu hasil polling Realmeter.
Nasib kubu konservatif, yang diwakili Partai Kebebasan Korea dan Partai Bareun, lebih apes lagi. Mereka tak punya kandidat yang menjanjikan. Hwang Kyo-ahn, yang selama ini digadang-gadang sebagai penantang Moon Jae-in, justru mundur dari pencalonan demi mempersiapkan pemilihan presiden. "Saya ingin berfokus pada tanggung jawab yang besar sebagai penjabat presiden," ujarnya dalam rapat kabinet, Rabu pekan lalu.
Tanpa penantang kuat dari kalangan konservatif, laju Moon Jae-in diprediksi mulus. Namun Moon tak ingin gegabah. Sebab, Partai Demokrat tengah menimbang kandidat liberal lain, Gubernur South Chungcheong, An Hee-jung, sebagai alternatif. An adalah calon presiden terpopuler kedua setelah Moon. Dalam debat kandidat dengan Moon, An berjanji merangkul blok konservatif, termasuk para loyalis Park, dalam pemerintahan koalisi.
Hiruk-pikuk di kalangan politikus tidak membuat Kim Sung-eun bingung. Kim, 22 tahun, pernah ikut dalam sejumlah unjuk rasa anti-Park Geun-hye. Untuk pertama kalinya, mahasiswi sebuah kampus di Seoul ini akan menggunakan hak pilihnya. "Saya sempat tidak percaya lagi kepada pemerintah," kata Kim antusias. "Tapi, jika presiden baru mau mendengar suara rakyat dan membuat perubahan, kepercayaan itu dapat dipulihkan."
Mahardika Satria Hadi (YONHAP, KOREA JOONGANG DAILY, THE ATLANTIC, KOREA HERALD, AL JAZEERA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo