Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada salah pengertian masyarakat Indonesia dalam memakai kata hoax yang akhir-akhir ini populer di media sosial. Kata ini disematkan untuk semua pengertian tentang "kabar bohong", "berita palsu", "berita rekayasa", dan "fitnah". Padahal hoax diciptakan dalam bahasa Inggris dengan pengertian yang tak serumit itu.
Menurut filolog Robert Nares (1753-1829), kata hoax (dibaca hoks) mulai dipakai di Inggris pada abad ke-18. Dalam buku A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names and Allusions to Customs, yang terbit pada 1822 di London, Nares menulis bahwa hoax berasal dari hocus, sebuah kata Latin yang merujuk pada hocus pocus. Pada lema kata hocus, Nares membubuhkan arti "to cheat" atau "menipu".
Hocus pocus, menurut Nares, mengacu pada mantra para penyihir yang kemudian dipakai para pesulap ketika memulai trik. Pengertian "menipu" di sana adalah mengacaukan orang lain untuk hiburan. Orang yang ditipu tak merasa dirugikan dan paham ia sedang dikacaukan. Hocus pocus diambil dari nama penyihir Italia yang terkenal, yakni Ochus Bochus. Dalam buku itu, Nares menyebut mantra tersebut sebagai konfirmasi kuat asal kata hoax.
Thomas Ady, fisikawan Inggris abad ke-17, menjadi sumber yang lebih tua tentang asal frasa hocus pocus. Menurut dia dalam telaahnya pada 1656, hocus pocus adalah mantra para penyihir yang tak berarti apa-apa. Ia mendengar bahwa kata itu diucapkan Raja James ketika memulai pidato. Kalimat lengkapnya adalah "hocus pocus, tontus talontus, vade celeriter jubeo".
Dalam seluruh pengertian hoax sejak Robert Nares itu, kata ini merujuk pada "kabar bohong yang dibuat untuk melucu" atau sengaja membingungkan penerima informasi dengan maksud bercanda. Ada pengertian kelakar di sana. Nares, misalnya, merujuk hoax seperti pada lelucon April Mop atau legenda-legenda perkotaan yang tak bisa dibuktikan. Kita tahu cerita-cerita tersebut bohong dan menerimanya sebagai hiburan.
Jadi hoax tak mengandung pengertian "berita bohong yang dibuat secara sengaja untuk memfitnah" seperti yang kita kenal dan kita pakai hari-hari ini. Sebab, di media sosial, pelbagai mimikri atau poster dibuat berdasarkan berita-berita yang faktanya ada. Misalnya, penangkapan pekerja ilegal asal Cina muncul dengan keterangan "serbuan pekerja Cina".
Penangkapan pekerja ilegal itu fakta, tapi membubuhinya dengan keterangan "serbuan pekerja ilegal Cina hingga 10 juta orang" masih dipertanyakan. Ketika menerima informasinya, kita tidak tahu apakah informasi tersebut fakta atau fiksi. Kita mengetahui informasi tersebut pelintiran setelah pemerintah mengklarifikasi dan memberikan bantahan.
Di Amerika Serikat, berita pelintiran ini disebut fake news, bukan hoax. Dalam bahasa Indonesia, fake news yang memelintir (spin) fakta itu bisa dipadankan dengan "berita rekayasa". Bagaimana dengan berita yang seolah-olah ada padahal faktanya tak ada?
Secara sederhana ini bisa dikategorikan hoax. Masalahnya, ada "berita tipuan" yang dibuat secara sengaja untuk memfitnah, tidak sekadar untuk canda. Saat pemilihan presiden 2014, ada informasi bahwa Joko Widodo beragama Kristen dan keturunan anggota Partai Komunis Indonesia. Dalam perang wacana itu, informasi ini dibuat dengan tujuan menurunkan simpati umat Islam sehingga mereka tak memilihnya. Kita tahu Jokowi beragama Islam karena ingatan publik akan berita sebelumnya adalah ia telah naik haji.
Maka hoax dan fake news jelas sekali perbedaannya. Pada hoax, kita tahu informasi tersebut bohong dan memahami penyebarannya untuk kelakar. Sedangkan pada fake news atau berita rekayasa, kita tahu informasinya palsu dan mengerti latar belakang penyebarannya untuk memfitnah dan mencelakakan orang lain.
Kolom Borowitz Report yang ditulis kolumnis Andy Borowitz untuk majalah The New Yorker adalah kolom satiris yang dianggap hoax rutin tapi selalu dinanti pembaca. Isinya ejekan terhadap penguasa (kali ini tentu saja Presiden Amerika Serikat Donald Trump). Salah satu yang diperhatikan pembaca Indonesia adalah saat Trump mengumumkan bahwa ObamaCare tidak jelek-jelek amat. Andy Borowitz menyambut pernyataan itu dengan kolom satire yang mengatakan bahwa Trump pasti baru meriset dengan Google karena baru sadar ObamaCare itu berguna. Inilah sebuah hoax. Tulisan lucu dan yang membaca harus paham bahwa itu bukan fakta.
Adapun berita yang belum jelas kebenarannya, selain disebut "gosip", kita memiliki istilah lokal yang tepat, yakni "kabar burung". Ini istilah yang dibuat Oey Kim Tiang, penulis cerita silat tahun 1950-an yang bermukim di Tangerang. Burung di sana tak merujuk pada unggas, tapi mengacu pada bahasa Sunda yang berarti "tak jadi tumbuh", "busuk", "gila", "sumir".
Kita belum yakin akan kebenaran sebuah informasi sampai menemukan fakta yang mendukung atau membantahnya. Dalam perkara ini, sebagai pembaca yang bertanggung jawab, kita perlu mengecek dan mengecek ulang dengan mencari sebanyak mungkin informasi tentang hal tersebut.
Dengan pengertian dan sejarah kata hoax itu, ia bukan padanan yang tepat untuk apa pun "berita yang dipelintir" atau "informasi yang belum jelas kebenarannya". Berita yang direkayasa-karena kita tahu faktanya-lebih tepat disebut "kabar palsu". Barangkali sudah saatnya kamus bahasa Indonesia menyerap kata hoax untuk pengertian "kabar kelakar". l
Bagja Hidayat
Wartawan Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo