NASIB Kamboja tampaknya tak cuma diputuskan di meja perundingan. Meski sudah ada tanda-tanda penyelesaian dalam pertemuan Sihanouk dan Hun Sen -- tanpa Khmer Merah -- pekan lalu di Jakarta, kenyataan di lapangan tetap sulit ditebak. Taruhlah semua pihak -- Hunsen, Son Sann, dan Sihanouk -- sepakat membentuk sebuah dewan nasional sebagai penyelenggara pemilihan umum guna menentukan pemerintahan selanjutnya setelah tentara Vietnam ditarik total. Toh tetap ada kecemasan terhadap sikap Khmer Merah. Kecurigaan bahwa tentara Pol Pot akan mengkhianati persetujuan, menurut koresponden TEMPO yang meninjau Kamboja dua pekan lalu, sedikit banyak menghinggapi ketiga pihak yang lain. Bahkan pihak Vietnam sendiri, yang sudah 10 tahun bercokol di Negeri Pagoda itu, meramalkan bahwa setelah mereka menarik diri, "Perang di Kamboja masih akan berlangsung," ujar Le Mai, Duta Besar Vietnam di Muangthai. Meski perang itu tak akan sehebat sebelumnya, sebab tak akan ada lagi pihak asing yang ikut campur, kata dia. Juga menurut Duta Besar AS di Bangkok, Daniel O'Donahue, perang akan tetap ada. Ia menyebutnya sebagai "perang sipil" yang dikobarkan oleh rakyat yang kelaparan dan masih menyimpan dendam kesumat atas kematian sanak saudaranya. Analisa kedua duta besar itu rasanya terlalu "ringan". Benarkah tak akan ada campur tangan pihak luar? Sejauh ini masih belum bisa diramalkan sikap RRC terhadap Khmer Merah. Adakah Beijing bisa sepakat secara bulat seandainya Mikhail Gorbachev, yang akan berkunjung ke Negeri Naga itu pertengahan Mei nanti, mendesak agar mereka tak membantu lagi Pol Pot? Seandainya RRC tak lagi berdiri di belakang Khmer Merah, pertikaian antarpihak di Kamboja sendiri masih memungkinkan meletusnya kontak senjata yang tak bisa dianggap ringan. Berdasarkan beberapa keterangan dari sana-sini, diduga peta militer di Kamboja kini tetap menempatkan Khmer Merah sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan dengan hati-hati. Menurut pihak pemerintah Republik (yang kini tanpa Rakyat) Kamboja, tentara Khmer Merah kini tak lebih dari 18.000 orang. Tapi sumber lain menyebutkan, jumlah prajurit Pol Pot masih sekitar 30 ribu orang, dan dipersenjatai dengan baik. Sedangkan Sihanouk dan Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer (di bawah Son Sann) masing-masing punya 20 ribu dan 10 ribu prajurit. Sementara itu, kekuatan tentara Republik Kamboja sendiri tak jelas diketahui juga. Menteri Pertahanan Tea Banh kepada Asia Week menolak memberikan jumlah prajuritnya. "Itu rahasia," kata jenderal berbintang tiga itu. Sebuah sumber menduga, tentara Kamboja berkekuatan 50.000 tentara. Yang jelas terbukti adalah bahwa dengan bantuan Vietnam pun tentara Kamboja sulit menghancurkan Khmer Merah. Kabarnya, perlengkapan tentara kamboja memang menyedihkan. Ini disebabkan ekonomi Kamboja yang parah, hingga tak ada anggaran untuk mengembangkan angkatan bersenjatanya. Bahkan sebuah sumber menyangsikan bahwa kekuatan tentara reguler Kamboja mencapai 50.000 personel. Menurut strategi negeri itu, tulang punggung pertahanannya bukan diletakkan di tangan tentara profesional, tapi pada wajib militernya. Konon, warga negara sipil yang sudah mendapat latihan kemiliteran itu lebih tangguh daripada tentara regulernya bila harus bertempur dengan persenjataan yang kurang memadai. Memang, yang terjadi di Afghanistan bisa juga dilakukan oleh Vietnam. Yakni, meninggalkan persenjataan buat tentara yang ditinggalkan. Ditambah pengalaman masa lalu -- ketika Pol Pot memimpin negeri ini, 1975-1979, dan menjungkirbalikkan seluruh sendi kehidupan -- bisa jadi pihak Republik Kambola dukungan Vietnam punya semangat juang yang tinggi untuk menghalangi berkuasa kembalinya Khmer Merah. Namun, yang dicemaskan Ieng Mouly, salah seorang pembantu dekat Son Sann, bila muncul masalah baru dalam dewan nasional. Yakni pertikaian antara kubu Sihanouk dan Son Sann. Bila itu terjadi, katanya, citra Khmer merah di mata rakyat akan membaik. Ini memberi kesempatan kepada pihak Pol Pot untuk meluaskan pengaruhnya. Meski trauma The Killing Fields masih tetap menghantui, kenyataan yang dihadapi bisa jadi lebih dijadikan pertimbangan terakhir. "Khmer Merah bisa menyebarkan propaganda bahwa mereka bukan komunis, bahwa mereka mencitakan perekonomian yang liberal," kata Ieng kepada TEMPO. "Dengan begitu, mereka bisa mendapat dukungan dan merebut kekuasaan." Pun bagi kubu Sihanouk, sekarang ini mengucilkan Pol Pot malah bakal memancing kemarahan orang Khmer Merah. Bekas raja Kamboja itu punya pengalaman tak enak. Ketika Khmer Merah mencoba merebut kekuasaan, awal 1970-an, dengan bantuan senjata dari RRC, anak buah Pol Pot sanggup mengebomi wilayah perkotaan selama bertahun-tahun. Itulah, untuk memilih yang terbaik dari kemungkinan yang buruk-buruk itu, ketiga pihak berkeras agar Khmer Merah diajak berkoalisi dalam pemerintahan sementara Kamboja, sampai pemilu berakhir. "Jika tidak, mereka akan bertahan di hutan dan perang dan perang dan perang," ujar Ieng Mouly. Hun Sen, yang semula ngotot bahwa Khmer Merah harus dihancurkan, akhirnya bersedia menarik kelompok ini masuk dalam dewan nasional. Meski ia sampai pekan lalu tetap tak setuju bila pasukan Pol Pot diikutsertakan dalam tentara koalisi nanti. Sebenarnya, tentara Khmer Merah diikutsertakan atau tidak dalam tentara koalisi, seperti sudah disebutkan, bukan perkara sulit bagi mereka untuk mengkhianati kesepakatan. Taruhlah mereka bersedia memenuhi syarat pemerintahan koalisi, misalnya dengan hanya memiliki 10.000 tentara, sementara sisanya harus dibubarkan. Tapi siapa bakal mengontrol sisa tentara yang dibubarkan itu? Mereka bisa saja tetap berada di hutan-hutan, dan pada waktunya dipanggil kembali oleh pasukan induknya untuk berkhianat. Menghancurkan Khmer Merah memang tak gampang. Basis-basis kekuatannya menempati posisi strategis di kawasan barat daya dan timur laut. Plus sebuah wilayah di tengah Kamboja. Di barat daya, kekuasaannya membentang di Pegunungan Kardamon, yang sejajar dengan pantai yang langsung menuju Phnom Penh. Di timur laut sepanjang dataran rendah Sungai Mekong dekat perbatasan Laos. Kabarnya, Pol Pot memiliki satu kamp di wilayah yang dinamakan Nern Po. Di situ, di balik sawah-sawah dan pepohonan yang rimbun, tersembunyi sebuah kompleks seluas 30-an hektar. Kompleks ini dipagari kawat berduri, sementara susunan rumah-rumah di dalamnya sungguh kompleks -- sulit dimasuki oleh bukan penghuninya. Dan konon, tak terjangkau oleh artileri tentara Kamboja. Mereka konon hampir tak pernah berhubungan dengan penduduk sekitar. Tak diketahui cara mereka mendatangkan makan, karena tak pernah berjual-beli dengan petani setempat. Cuma tiap hari kendaraan tertutup rapat sering keluar-masuk kompleks itu. Kompleks ini mulai tercium adanya sejak tiga tahun lalu. Ada kekhawatiran yang disampaikan oleh diplomat Kamboja dan Barat di Muangthai. Mereka menduga Khmer Merah kini mulai membangun gudang-gudang senjata di tengah belantara. Karena itu, Amerika Serikat kini menyiapkan langkah tandingan. Presiden George Bush sudah mengusulkan kepada Kongres untuk menambah bantuan kepada Sihanouk dan Son Sann. Bulan lalu malah terbetik kabar, Prancis sudah mengirim 9 ton senjata kepada kedua kelompok nonkomunis itu. Bahayanya, tentu saja, tindakan Amerika itu membuat RRC dan Vietnam ikut mengambil langkah serupa: membantu persenjataan kelompok yang mereka dukung. Dan bila memang perang meletus, sulit menebak pemenangnya, tanpa adanya campur tangan dari luar. Yang pasti, perang akan berjalan lama dan menyengsarakan Kamboja. Lain halnya bila perdamaian tercapai. Dalam hal ini, pemilu yang diselenggarakan oleh dewan nasional tampaknya akan dimenangkan oleh Norodom Sihanouk. Bekas raja itu kabarnya masih disanjung oleh rakyat Kamboja. Mungkin itu sebabnya bila salah satu alternatif yang diajukan Hun Sen pekan lalu adalah mengundang Sihanouk untuk duduk sebagai kepala negara. Dan jangan lupa, meski hanya dijadikan kepala negara boneka, ia pernah bekerja sama dengan Pol Pot. Praginanto (Jakarta) & Richard S. Ehrlich (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini