PENYELESAIAN masalah Kamboja tampaknya sudah mencapai ujung terowongan, kata Norodom Sihanouk usai bertemu Presiden Soeharto Senin pekan lalu. Terowongan itulah perjalanan upaya penyelesaian masalah Kamboja, negeri yang dilanda kemelut lebih dari satu dasawarsa. Dan perjalanan ini mulai menemui arah dengan berlangsungnya Pertemuan Informal Jakarta (Jakarta Informal Meeting, JIM) di Bogor, tahun lalu. Itulah saat pertama kalinya keempat pihak di Kamboja yang bertikai duduk bersama untuk berunding. Dalam pertemuan itu memang tak banyak hal yang disepakati. Tapi, seperti dikatakan oleh ketua JIM, Menlu Indonesia Ali Alatas, "Mereka mulai mengetahui secara tegas perbedaan pandangan di antara mereka." Dan perbedaan ini tidaklah kecil. Terbukti pertemuan JIM 2 di Jakarta, Februari lalu, tak menghasilkan titik temu. Pangeran Sihanouk, pimpinan koalisi perlawanan tiga faksi, malahan memboikot upaya ini. Akibatnya perundingan kedua itu pun ditunda penutupannya selama empat bulan. Bahkan untuk melancarkan perundingan, Sihanouk diundang ke Jakarta secara pribadi oleh Presiden Soeharto. Sang Pangeran memenuhi undangan itu mulai Ahad pekan lalu. Sehari kemudian, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mendarat di Jakarta untuk mencoba berdialog dengan Sihanouk. Ia datang dengan sejumlah tawaran baru. Antara lain, nama negara yang baru, konstitusi baru, bendera baru, dan kesediaan untuk mengubah kembali semua itu jika diperlukan. Sihanouk pun tak datang dengan tangan kosong. Ia berjanji akan memperlunak sikapnya dalam dua hal: tuntutan pembubaran pemerintah Hun Sen sebelum pemilihan umum, dan keberadaan pasukan internasional pengamanan pelaksanaan hasil perundingan. Ini jelas sebuah langkah majuan dibandingkan JIM 2 yang macet karena masingmasing bersikeras mempertahankan pendapatnya. Di pihak Hun Sen (dan Vietnam) menginginkan penyelesaian masalah Kamboja dibedakan atas dua faktor, eksternal dan internal. Sedangkan plhak koalisi (Coalition Government of Democratic Kampuchea, CGDK) menganggap kedua faktor ini saling berkaitan dan tak dapat dipisahkan. Secara prinsip, tujuan Hun Sen dan CGDK sebenarnya mirip. Yakni menegakkan Kamboja yang bebas, damai, dan nonblok, yang pemerintahannya dihasilkan oleh sebuah pemilu yang diikuti oleh semua pihak yang berseteru. Bahkan sudah ada kesepakatan bahwa Sihanouk akan menjadi ketua lembaga interim yang beranggotakan masing-masing faksi yang mengawasi jalannya pemilu. Tapi dalam cara mencapai tujuan ini terdapat segudang perbedaan. Yang pokok adalah tuntutan CGDK bahwa pemerintahan Hun Sen harus dibubarkan dahulu sebelum pemilu, dan engamanan pemilu dilakukan oleh pasukan pengawas internasional. Bagi Hun Sen pembubaran pemerintahnya ini sulit diterima. Sebab kekuatan utamanya adalah kehadiran de facto pemerintahannya. Meski pemerintahannya sebenarnya hampir tak mendapat pengakuan internasional. Sebaliknya CGDK secara defacto sangat lemah karena hanya menguasai sedikit wilayah perbatasan Kamboja dan Muangthai. Tetapi secara de jure sangat kuat. Kursi Kamboja di PBB selalu diduduki CGDK. Hanya saja CGDK juga memiliki kelemahan di mata dunia internasional. Yakni termasuknya Khmer Merah, yang dikenal sebagai pembantai jutaan rakyat Kamboja itu, di dalamnya. Sialnya, secara militer Khmer Merah ini paling kuat dan satu- satunya yang mampu menandingi tentara Vietnam. Sedangkan kelompok CGDK yang lain, pihak Son Sann dan pihak Sihanouk, boleh dikata secara militer kurang memadai. Yang menambah rumit persoalan adalah kenyataan bahwa semua faksi mempunyai kekuatan luar sebagai pendukungnya. Khmer Merah mengandalkan RRC, Hun Sen mengandalkan Vietnam dan Rusia, sedangkan Son Sann mengandalkan blok barat. Hingga pertikaian di Kamboja boleh dibilang perpanjangan permusuhan para pendukung. Untunglah pertarungan di luar Kamboja itu sekarang sedang mereda. Terutama karena kesulitan ekonomi membuat kebanyakan negara komunis harus mengadakan perbaikan. Rusia melakukannya dengan perestroika, RRC dengan liberalisasi ala Deng Xiaoping, dan Vietnam dengan Doi Moi. Semua itu sebenarnya sama saja. Yakni upaya melepaskan sumber daya yang selama ini dipakai untuk kekuatan militer menjadi kekuatan ekonomi. Dan ini hanya dapat dilakukan jika kebutuhan memiliki kekuatan militer dapat dikurangi. Maka Vietnam pun merasa perlu menarik pasukannya dari Kamboja. RRC mempertimbangkan kembali untung rugi membantu Khmer Merah. Dan suasana ini pun menular ke Kamboja. Bahkan dengan konstitusi barunya, sistem ekonomi Kamboja mengarah ke ekonomi liberal. Agama Budha diakui sebagai agama negara, warna merah pada dasar bendera diubah menjadi merah biru. Dan hukuman mati dihapuskan. Dan upaya Hun Sen itu tak sia-sia. Sihanouk, yang semula bersikap kurang ramah, semakin bersikap seolah menjadi juru damai. Ia, misalnya, tampak asyik merundingkan bendera dengan Hun Sen. Hanya Son Sann, yang datang ke Jakarta sebagai perdana menteri, CGDK tampaknya lebih hati-hati. Maklum, tokoh ini sangat antikomunis. Kendati demikian, pihak CGDK dan Republik (direncanakan tanpa Rakyat lagi) Kamboja, atau the State of Cambodia seperti dikehendaki Sihanouk, agaknya cukup saling percaya untuk mengusulkan pertemuan lanjutan. Bahkan tempatnya sudah disepakati: akan bergantian antara Jakarta dan Prancis. Memang ujung terowongan mungkin sudah dekat, tapi sulit mengharapkan penyelesaian sebelum pertemuan puncak di Beijing, 15 Mei nanti. Sikap RRC terhadap Khmer Merah akan jelas dalam pertemuan itu. Maklum, senang atau tidak, pengaruh negara besar sulit dikesampingkan.Bambang Harymurti & Sidharta Pratidina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini