LAGI, kemenangan diplomatik untuk Yasser Arafat -- pemimpin PLO yang sejak beberapa waktu lalu diangkat menjabat presiden Negara Palestina. Selasa pekan lalu ia tiba di Paris atas undangan Francois Mitterand. Inilah pertama kali Blok Barat mengundang Arafat sebagai kepala negara secara resmi. Undangan itu menjadi lebih penting lagi karena Prancis adalah anggota Dewan Keamanan PBB. Tentu saja dalam kunjungan dua hari itu ia dijaga ketat. Sekitar 2.000 polisi, termasuk sejumlah ahli bom dan penembak tepat, dikerahkan melindungi tamu negara ini. Lalu lintas sekitar Istana Elysee dialihkan. Toh protes terhadap kunjungan ini muncul juga dari masyarakat Yahudi. Di distrik permukiman Yahudi di Paris, toko-toko membunyikan sirene menandai kedatangan Arafat. Tapi sejumlah intelektuil Yahudi mendukung Mitterand, dan berharap undangan kepada Arafat ini bisa mengawali perdamaian di Timur Tengah. Sementara itu, Arafat sendiri memberikan kado kejutan. Ia menyatakan bahwa Piagam PLO -- yang menyebutkan bahwa Israel harus dimusnahkan -- dihapus. Meski hal ini pernah ia nyatakan, dekat setelah diumumkannya Negara Palestina, menurut seorang pejabat tinggi Prancis, "Inilah pertama kalinya Arafat menyatakan secara jelas piagam itu tak lagi diakui." Tapi tetap saja Tel Aviv mencemooh Arafat. "Selama bukan PNC (Parlemen PLO dalam pengasingan) yang memutuskan, piagam itu masih tetap berlaku," kata seorang pembantu dekat PM Israel Yitzhak Shamir. Belakangan ini Shamir semakin "keteteran" menghadapi langkah Arafat. Awal April silam ia dibuat puyeng oleh kesediaan Arafat menerima konsep pemilihan umum di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diusulkan Shamir. Padahal warga Palestina di kedua wilayah pendudukan sendiri menolak keras usul itu. Mereka menganggap bahwa pemilu hanyalah upaya Shamir untuk menghentikan intifada yang tak pernah bisa dipadamkan dengan kekerasan itu. Tapi memang Arafat bukannya menyetujui pemilu tanpa mengajukan syarat. Syarat itu: Israel harus terlebih dahulu menarik mundur pasukannya dari wilayah pendudukan sebelum pemilu diadakan. Dan sepekan sebelum ia berkunjung ke Prancis, sekali lagi, pemimpin berkafiyeh itu bikin kejutan. Ia mengendurkan persyaratannya. Tak usah seluruh pasukan Israel ditarik, melainkan cukup sebagian saja. Jelas, sikap ini di luar dugaan Shamir yang sebenarnya terpaksa mengusulkan pemilu karena desakan kuat dari Washington. Di hari pertama di Paris, menjawab permintaan Mitterand agar ia menyetujui pemilu usulan Shamir, Arafat tetap bertahan agar sebagian tentara Israel ditarik terlebih dahulu. "Mungkinkah menyelenggarakan pemilu di bawah pengawasan tentara pendudukan?" kata Arafat. Tapi konon ia menjanjikan akan mengumumkan sesuatu yang penting berkenaan dengan pemilu. Sementara "sesuatu yang penting" itu belum jelas benar, menurut sebuah sumber Palestina kepada The Sunday Times, kini Arafat hanya menuntut agar Israel menarik pulang tentaranya hanya dari kota-kota utama di Gaza dan Tepi Barat. Tampaknya tawar-menawar gaya Arafat ini bukan tanpa maksud. Menurut pengamat Barat, ia sengaja membuat runcing silang pendapat di antara para pemimpin Israel. Seperti diketahui, selama ini Partai Buruh dan sebagian intelektuil Israel bersikap "lebih lunak". Berlawanan dengan sikap Shamir, mereka mendukung usul Arafat agar tentara Israel ditarik mundur dari Gaza dan Tepi Barat. Selain itu pun Arafat sangat lihai melibatkan negeri yang disegani Israel, yakni Amerika. Misalnya, selain PBB -- yang mestinya menjadi pengamat pemilu di wilayah pndudukan -- Arafat juga minta Amerika pun ikut mengawasi peristiwa penting itu. Diplomasi damai yang mengalahkan panasnya mesiu Israel.Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini