BUKAN sekali ini saja kredibilitas dan reputasi Kurt Waldheim digugat. Tapi sikap pemerintah AS sungguh memojokkan nama presiden terpilih Austria itu di mata dunia. Berdasarkan keputusan yang ditandatangani Jaksa Agung Edwin Meese III, terhitung pekan ini, Waldheim tidak diizinkan bertandang ke Amerika sebagai warga negara biasa. Soalnya, nama Kurt Waldheim tercantum dalam daftar "Cekal" (cegah-tangkal) dinas imigrasi - daftar yang memuat sekitar 40 ribu nama yang dilarang masuk karena bermacam alasan. Dalam keterangannya kepada pers di Brussels, pekan lalu, eese menegaskan bahwa nama Waldheim termasuk dalam kategori penjahat perang. "Kuat dueaan ia terlibat dalam penyiksaan ribuan manusia karena alasan ras dan agama semasa rezim Nazi berkuasa," kata Meese lebih lanjut. Apa pun alasan pemerintah Paman Sam, keputusan tersebut tampak bagai sebuah tamparan telak bagi Waldheim. Apalagi tidak lama setelah itu, Kanada dan Israel, kendati dalam kadar yang berbeda, juga mengikuti jejak AS. Kini foto Waldheimkabarnya tidak lagi terpampang di Markas Besar PBB, New York. Reputasinya merosot tajam, sejajar dengan tokoh Westerling, komandan pasukan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dituduh membantai 40 ribu jiwa penduduk sipil di Sulawesi Selatan semasa perang kemerdekaan. Tetapi benarkah Waldheim bekas Nazi ? Mengapa hal itu baru terungkap setelah lewat tiga dasawarsa? Bukankah selama waktu itu ia bebas meniti kariernya sebagai Sekjen PBB. Isu keterlibatan Waldheim memang sudah terdengar dari tahun lalu. Adalah Kongres Yahudi Sedunia, awal Maret silam, yang pertama kali melontarkan tuduhan bahwa Waldheim sebenarnya perwira Nazi. Dalam waktu hampir bersamaan, sebuah majalah berita di Austria memuat gambarnya, lengkap dengan tanda anggota militer dan lambang Nazi. Pada artikel yang mendampingi pemuatan foto tersebut dikatakan bahwa Letnan Waldheim tercatat sebagai perwira AD Jerman, yang bertugas di Balkan, 1942-1945. Padahal, dalam memoirnya Waldheim mengaku waktu itu ia belajar di Wina. Menurut berkas departemen kehakiman AS, dosa Waldheim mencakup beberapa hal, misalnya pemindahan para tahanan sipil ke kamp-kamp SS (Shultz-Staffel) untuk dijadikan budak pasukan elite Jerman yang terkenal kekejamannya itu. Konon, Waldheim membantu menyerahkan tawanan Sekutu pada Nazi. Ia juga dianggap terlibat dalam propaganda anti-Semit, termasuk pemusnahan orang Yahudi. Tetapi serangan gencar ini tidak merusakkan popularitas Waldheim di dalam negeri. Ia justru menang dalam pemilu Juni tahun silam, merebut lebih dari 50 persen suara yang kemudian melambungkannya ke kursi kepresidenan Austria. Namun, seiring dengan melajunya waktu daftar dosa Waldheim bertambah panjang. Dalam wawancara yang dilansir harian Jerusalem Post edisi bahasa Inggris, Ahad lalu, Robert Rhodes-James, bekas sekretaris pribadi Waldheim di PBB, menuduh bagaimana bosnya selama Perang Yom Kippur, "memberi angin kepada Soviet dan sekutu-sekutu Arab" terutama dalam rangka "menjatuhkan Israel". Dari Vancouver, wartawan TEMPO Toeti Kakiailatu melaporkan seorang pejabat penting Kedubes Austria di Kanada balas menuduh Jerusalem Post menjadi salah satu penyebab makin ruwetnya perkara Kurt Waldheim. Beberapa bulan berselang, koran ini memuat kutipan surat Menlu Austria Alois Mock yang ditujukan kepada PM Inggris Margaret Thatcher. Dalam surat itu Mock menulis "Sebaiknya Waldheim berhenti saja sebagai presiden karena telah menjadi duri dan beban bagi kebijaksanaan luar negeri Austria." Mock menyangkal adanya surat tersebut. Belakangan ia menyatakan surat itu palsu. Jerusalem Post terpaksa minta maaf kepada pemerintah Austria. Tapi, anehnya, hingga kini tak pernah terungkap siapa yang memalsukan surat tersebut. Tuduhan antek Nazi memang cukup merepotkan Waldheim. Sejak pelantikannya sebagai presiden, berbagai usaha dilakukan untuk merancang kunjungan ke berbagai negara sahabat. Ternyata, banyak negara yang menampiknya dengan halus. Tetapi Menlu Mock memastikan Jumat pekan lalu bahwa Presiden Waldheim akan berkunjung ke Yordania awal Juli, dan dari sana ke Mesir. Tampaknya Waldheim bertekad tidak akan mundur. James R. Lapian, Laporan Teoti Kakiailatu (Vancouver)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini