Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prabowo Subianto dan Xi Jinping membahas pengembangan wilayah-wilayah yang tumpang-tindih di Laut Cina Selatan.
Diskusi itu membuka negosiasi perbatasan di Laut Natuna Utara yang diklaim Cina.
Posisi Indonesia di Indo-Pasifik terancam karena mencuatkan isu kedaulatan.
KUNJUNGAN kenegaraan pertama Presiden Prabowo Subianto bukan ke negara tetangga terdekat, melainkan terbang jauh ke Beijing, Cina, pada Sabtu, 9 November 2024. Saat bertemu dengan Perdana Menteri Republik Rakyat Cina Li Qiang di sana, Prabowo secara eksplisit menjelaskan pilihannya ini. “Ini kunjungan pertama saya ke luar Indonesia kurang dari sebulan setelah pelantikan saya. Saya pikir ini adalah pesan bahwa saya berkomitmen untuk memperkuat persahabatan dan kerja sama antara Cina dan Indonesia,” katanya dalam pertemuan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo juga menggarisbawahi pentingnya penguatan kerja sama ekonomi kedua negara dalam pertemuan bilateral tersebut. “Saya berterima kasih kepada Anda atas pernyataan bahwa kita perlu mengambil langkah-langkah praktis dan saya kira kita akan bergerak sangat cepat dengan langkah-langkah praktis itu. Investasi Cina ke ekonomi Indonesia sangat besar, bahkan besok sore Kamar Dagang dan Industri Indonesia akan menggelar acara penandatanganan kontrak antara perusahaan Cina dan perusahaan Indonesia yang nilainya mencapai lebih dari US$ 10 miliar,” ujar Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makin condongnya pemerintahan Prabowo ke Cina terlihat jelas dalam pernyataan bersama Prabowo dengan Presiden Cina Xi Jinping. Di situ Prabowo menyatakan bahwa masalah kaum muslim Uighur di Xinjiang dan Tibet (Xizang) sebagai urusan dalam negeri Cina dan “dengan tegas mendukung upaya Cina menjaga pembangunan dan stabilitas” di dua wilayah itu. Padahal Cina dikritik komunitas internasional karena melakukan pelanggaran hak asasi manusia di dua daerah itu.
Butir 9 pernyataan itu bahkan menyebutkan kedua negara bersepakat menjalin pengembangan bersama (joint development) di wilayah-wilayah yang tumpang-tindih (areas of overlapping claims) dan membentuk Komisi Pengarah Bersama Antar-Pemerintah untuk penerapannya. Pada paragraf lain di butir itu disebutkan pula soal komitmen kedua negara terhadap implementasi penuh dan efektif Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan (DOC) dan penyelesaian awal kode perilaku (COC) berdasarkan “konsensus yang dibangun”.
Butir 9 inilah yang mengundang polemik karena membuka peluang bagi Cina untuk menguatkan klaimnya atas “sembilan garis putus-putus” di perairan Laut Cina Selatan (LCS). Klaim itu didasari peta yang mereka terbitkan pada 1947 yang menggambarkan perluasan wilayah laut Cina hingga ke LCS. Garis putus-putus itu disusun Cina berdasarkan wilayah tangkap tradisional nelayannya. Tak ada dasar hukum Cina atas klaimnya. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), kerangka hukum kemaritiman internasional, juga tidak mengakui klaim semacam itu.
Masalahnya, klaim Cina itu tumpang-tindih dengan wilayah laut Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Indonesia dan lima negara tersebut juga tidak mengakui klaim Cina dan berpegang pada aturan dalam UNCLOS, yang sebenarnya juga telah diadopsi Cina. Filipina sempat membawa sengketa wilayah ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional dan menang. Mahkamah menyatakan klaim Cina itu tidak memiliki dasar hukum internasional, tapi Cina tidak mengakui putusan Mahkamah.
Tiga hari kemudian, tepatnya pada Selasa, 12 November 2024, dalam lawatan ke Negeri Abang Sam, Prabowo bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Dalam pernyataan bersama seusai pertemuan, kedua pemimpin itu menyatakan bahwa mereka menghormati kedaulatan dan yurisdiksi negara-negara pantai atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) masing-masing sesuai dengan hukum laut internasional sebagaimana tecermin dalam UNCLOS. Paragraf ke-25 pernyataan itu menyatakan kedua negara mendorong penerapan penuh dan efektif DOC dan COC di LCS. Biden dan Prabowo juga menggarisbawahi putusan Mahkamah Arbitrase Internasional dalam sengketa Cina-Filipina.
Joe Biden (kanan) bertemu dengan Prabowo Subianto di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat, 12 November 2024. Reuters/Kevin Lamarque
Kementerian Luar Negeri RI buru-buru mengklarifikasi isi pernyataan bersama Prabowo dan Xi Jinping itu. “Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim `9-Dash-Lines´. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara,” kata Kementerian dalam keterangan pers tertulis pada Senin, 11 November 2024.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, menyoroti kontradiksi yang terjadi dalam kedua pernyataan bersama itu. Dalam pernyataan Indonesia-Cina, wilayah tumpang-tindih di LCS dapat diatasi melalui “pengembangan bersama”. Di sini, menurut Hikmahanto, ada tendensi bagi Indonesia untuk mengakui sembilan garis putus-putus Cina. Sebaliknya, dalam pernyataan Indonesia-Amerika, Indonesia kembali berpegang pada UNCLOS, yang berarti Indonesia tidak memiliki wilayah yang tumpang-tindih dengan Cina.
Hikmahanto menyebutkan posisi Indonesia saat ini tidak jelas dan sangat membingungkan. Padahal, kata dia, kebijakan pemerintah Indonesia sebelumnya secara tegas menolak klaim Cina soal garis putus-putus itu. “Saya lihat pernyataan bersama di Amerika berbeda karena seolah-olah memperbaiki pernyataan bersama dengan Cina,” ucap Hikmahanto kepada Tempo pada Jumat, 15 November 2024.
Hikmahanto menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh bermain dua kaki dalam persoalan LCS. Dia menilai Indonesia harus memiliki prinsip dan tidak berpihak kepada Cina ataupun Amerika. Apabila kedaulatan dan hak berdaulat dipermainkan, Hikmahanto menambahkan, akan muncul kemarahan rakyat Indonesia.
Hikmahanto berpendapat ada keteledoran dalam penulisan pernyataan bersama Indonesia-Cina. Dia menduga ada pihak yang mengusulkan kepada Prabowo soal ide “pengembangan bersama” dalam mengatasi wilayah yang tumpang-tindih. Menurut dia, pengusul ide itu tidak berasal dari Kementerian Luar Negeri RI karena para birokrat lebih konsisten mempertahankan posisi Indonesia dalam menolak klaim Cina. “Pasti ada orang yang punya kekuatan lebih tinggi yang mungkin bisa memasukkan ini ke Pak Prabowo,” ujar Hikmahanto, yang mengaku tidak tahu persis siapa orang yang dimaksud.
Hikmahanto mendesak pengusul pernyataan bersama Indonesia-Cina mengundurkan diri dari jabatannya. Dia juga meminta Kementerian Luar Negeri mengakui kekeliruan itu dan membuat klarifikasi tertulis berbahasa Inggris untuk menegaskan kembali sikap Indonesia yang menolak klaim Cina agar dapat dibaca oleh negara-negara lain. Dia khawatir Cina mengeksploitasi pernyataan bersama itu untuk mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia berpihak kepada perspektif Cina mengenai LCS dengan mengakui sembilan garis putus-putus.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lin Jian, menegaskan bahwa hak dan kedaulatan Cina di LCS itu terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang dan konsisten dengan hukum dan praktik internasional. “Dokumen kerja sama yang ditandatangani oleh Cina dan Indonesia tentang pembangunan bersama maritim terutama menetapkan konsensus politik dan arah kerja sama kedua negara tentang pembangunan bersama di bidang-bidang klaim yang tumpang-tindih. Kedua belah pihak akan lebih jauh mengeksplorasi hal-hal spesifik, seperti isi dan cara kerja sama,” katanya dalam konferensi pers di Beijing pada Senin, 11 November 2024.
Aristyo Rizka Darmawan, dosen hukum internasional di Universitas Indonesia, menilai, jika ada pengakuan Indonesia atas klaim tumpang-tindih Cina, itu sama artinya dengan membagi hak berdaulat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi perikanan dan minyak bumi. Indonesia kemudian juga wajib merundingkan batas maritim dengan Cina, padahal Cina terletak jauh di luar zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen Indonesia. Dia menyebut langkah ini sebagai kerugian besar bagi kemampuan Indonesia untuk mengelola sumber daya alam. “Pernyataan bersama antara Indonesia dan Cina telah mengkhianati kepentingan nasional Indonesia dan tampaknya menjadi kemenangan besar bagi Beijing,” tulisnya di laman Lowy Institute.
David M. Andrews, Penasihat Kebijakan Senior National Security College The Australian National University, menyebutkan pernyataan bersama Indonesia-Cina itu berpeluang mengorbankan prinsip dasar hukum internasional, melemahkan keamanan regional, dan membuka jalan bagi kampanye pemaksaan maritim dari Cina terhadap Laut Cina Selatan. Dia menuturkan, saat ini Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei mempertahankan solidaritas untuk tidak mengakui klaim maritim Cina di LCS. Jika Indonesia mengekor Cina, kata dia, hal itu akan menjadi preseden yang sangat merugikan, terutama mengingat klaim Cina tidak memiliki dasar hukum internasional.
Penjaga Pantai Filipina bersiaga saat kapal Penjaga Pantai Cina menghalangi jalan mereka untuk mengisi ulang pasokan di Second Thomas Shoal di Laut Cina Selatan, 5 Maret 2024. Reuters/Adrian Portugal
Ketua Center for Chinese Studies-Indonesia Rene L. Pattiradjawane memberikan pendapat lain. Dia menilai pernyataan bersama Indonesia-Cina dan Indonesia-Amerika merupakan dua hal yang berbeda. Menurut dia, belum tentu ada kekeliruan dalam pernyataan bersama Indonesia-Cina. Dia mengatakan “wilayah tumpang-tindih” dalam pernyataan bersama itu tak secara tegas menyebut teritorial yang disengketakan di Laut Cina Selatan. “Wilayahnya sebelah mana, kita enggak tahu. Belum diumumkan,” tutur Associate Fellow The Habibie Center itu pada Sabtu, 16 November 2024.
Merujuk pada keterangan pers Kementerian Luar Negeri RI pada Senin, 11 November 2024, Rene menyatakan Indonesia konsisten tidak mengakui sembilan garis putus-putus. Menurut dia, jika ada ahli yang menyebut pernyataan bersama Indonesia-Cina tersebut membuka peluang pengakuan klaim Cina, itu hanyalah interpretasi. Dia juga menyatakan kesepakatan itu tidak serta-merta mengikat para pihak.
Duta Besar RI untuk Cina, Djauhari Oratmangun, tak memberikan komentar. “Untuk membahas soal pertemuan kedua presiden, khususnya mengenai Laut Cina Selatan, dapat dilakukan dengan Kementerian Luar Negeri di Pejambon,” kata Djauhari dalam pesan pendek pada Sabtu, 16 November 2024.
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Abdul Kadir Jailani menegaskan, kerja sama yang tertuang dalam pernyataan bersama Indonesia-Cina akan didasarkan pada prinsip saling menghormati dan sesuai dengan peraturan perundangan nasional. Dia juga menyatakan kerja sama itu tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan Indonesia atas klaim Cina di LCS dan Indonesia tetap mengedepankan UNCLOS.
Jailani menyebutkan pernyataan bersama tersebut sama sekali tidak mempengaruhi kedaulatan, hak berdaulat, ataupun yurisdiksi Indonesia. Dia mempersilakan jika ada ahli hukum internasional yang memiliki penafsiran lain soal pernyataan itu, tapi menegaskan bahwa pernyataan tersebut harus dipertimbangkan secara tekstual. “Kita seharusnya tidak memberi makna lebih jauh daripada apa yang tertulis dalam joint statement,” ujarnya.
Jailani juga menegaskan bahwa Indonesia tidak akan berpihak kepada siapa pun di Indo-Pasifik, terutama di tengah persaingan Cina dengan Amerika. “Indonesia tetap konsisten dengan prinsip bebas-aktif, di mana Indonesia ingin menjalin hubungan persahabatan dengan semua negara,” kata diplomat karier lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, itu.
Doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif selama ini membuat Indonesia tak condong ke kubu mana pun, termasuk dalam tarik-menarik Amerika dan Cina di kawasan Indo-Pasifik, khususnya masalah Laut Cina Selatan. Perubahan sikap Indonesia yang condong ke Cina akan mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara mitranya.
Direktur Riset Perth USAsia Centre Kate O’Shaughnessy menduga pernyataan Prabowo Subianto-Xi Jinping itu keluar karena Cina merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Tapi dia menyoroti pesan Indonesia yang tidak konsisten dalam dua pernyataan bersama itu yang akan mempengaruhi pemangku kepentingan lain dalam sengketa LCS. “Saya pikir Filipina, Vietnam, dan Malaysia akan tetap khawatir dengan pernyataan Prabowo-Xi, termasuk karena mereka mungkin khawatir bahwa mereka juga bisa mendapat tekanan dari Cina untuk mengeluarkan pernyataan serupa,” ucapnya pada Senin, 18 November 2024.
O’Shaughnessy menjelaskan, Cina dan Amerika merupakan mitra yang sangat penting tidak hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi banyak negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Australia. Dia mengatakan siapa pun Presiden Indonesia harus membangun hubungan dengan Cina dan Amerika. Dia juga menyinggung kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas-aktif yang sudah berlangsung lama. Menurut dia, meskipun ketegangan antara Amerika dan Cina terus meningkat, Indonesia selama ini cenderung tidak memihak. “Sebaliknya, Indonesia akan terus mencari cara untuk menjaga hubungan baik dengan keduanya,” ujarnya seraya menambahkan bahwa Indonesia membutuhkan kawasan yang stabil dan bebas dari konflik agar pertumbuhan ekonomi dapat terus berlanjut.
Pia Dannhauer, Peneliti Asia Tenggara Perth USAsia Centre, melihat Prabowo ingin menjadi tokoh yang aktif di panggung internasional dan mengambil pendekatan yang lebih “langsung” daripada pendahulunya. Menurut dia, peran aktif Indonesia dapat berdampak bagi stabilitas Indo-Pasifik, meskipun ASEAN tidak menjadi prioritas utama dalam agenda kebijakan luar negeri Prabowo. “Namun, mengingat latar belakangnya dalam pertahanan dan ambisi untuk menjadikan Indonesia pemain global yang penting, ia mungkin akan mengambil beberapa inisiatif dalam isu-isu tertentu, seperti krisis Myanmar,” tutur Dannhauer.
David M. Andrews berharap Indonesia terus mempertahankan statusnya yang independen dan tidak memihak, terutama dalam persaingan Cina dengan Amerika. Indonesia, kata dia, memiliki peluang terbaik di antara negara lain di Asia Tenggara untuk menjadi sumber pengaruh di seluruh Indo-Pasifik di tengah era persaingan strategis ini. “Untuk menjadi negara yang lebih berpengaruh, Indonesia harus memperkuat upaya membangun kemitraan di seluruh kawasan Indo-Pasifik,” ujarnya.
Andrews berpendapat bahwa Indonesia tidak menaruh minat memposisikan diri secara lebih terbuka di satu kubu atau kubu yang lain, tapi negara-negara pada umumnya mengisyaratkan kepentingan mereka tanpa secara resmi berpihak kepada salah satu kubu. “Sebagian besar dari negara-negara ini akan bergantung pada tindakan apa yang mungkin dipilih Cina atau Amerika di tahun-tahun mendatang dan bagaimana tindakan tersebut bersinggungan dengan kepentingan Indonesia.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo