Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Krisis iklim memicu cuaca ekstrem akibat perusakan lingkungan yang masif.
Indonesia menghadapi ancaman megathrust di sepanjang pantai barat Sumatera dan selatan Jawa serta Nusa Tenggara.
Perjanjian Paris 2015 untuk menekan kenaikan suhu bumi dipastikan tak tercapai.
CUACA ekstrem menyergap sebagian besar wilayah Indonesia. Hujan lebat, puting beliung, banjir, dan tanah longsor terjadi di berbagai daerah. Situs web kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 12 peristiwa bencana akibat cuaca ekstrem, dari Cilacap, Jawa Tengah, sampai Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati menyatakan curah hujan di Indonesia sebenarnya relatif normal. Meski demikian, ada wilayah-wilayah yang mengalami kenaikan curah hujan. Rita—sapaan mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu—menyebutkan bencana yang belakangan muncul merupakan imbas kerusakan lingkungan di sekitar kita. "Lingkungan rusak, hutan sudah terbuka, dan lahan resapan kurang," ujarnya pada Selasa, 19 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rita yakin faktor lingkungan menjadi salah satu penyebab krisis iklim saat ini. Deforestasi yang masif membuat vegetasi kewalahan menyerap karbon dioksida. Meningkatnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain di atmosfer berpotensi menaikkan suhu bumi. "Padahal kawasan hijau punya tugas menyerap gas rumah kaca," kata Rita.
Di sisi lain, krisis iklim bukan satu-satunya ancaman bagi masyarakat Indonesia. Pada akhir September 2024, Badan Meteorologi juga mengingatkan adanya ancaman megathrust di pantai barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa sampai Nusa Tenggara. Rita pernah dilaporkan ke polisi karena dianggap menyebarkan kabar kibul. Padahal tim BMKG menyampaikan kajian ilmiah dan pola pelepasan energi di jalur megathrust yang pernah menimbulkan gempa bumi dan tsunami di Aceh pada Desember 2004.
Dalam wawancara selama 1 jam 30 menit, Rita menjelaskan langkah mitigasi jika megathrust terjadi dan catatan kritisnya terhadap upaya mitigasi iklim yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan. "Perjanjian Paris nyaris tak akan tercapai," ujarnya kepada wartawan Tempo, Raymundus Rikang, Sunudyantoro, dan Yosea Arga Pramudita. Salah satu isi Perjanjian Paris adalah menekan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius pada akhir abad ini.
Cuaca ekstrem terjadi pada akhir tahun ini. Ada fenomena apa?
Saat ini wilayah Indonesia memasuki musim hujan sejak akhir Oktober dan awal November 2024. Dari hasil analisis iklim, curah hujan di Indonesia dalam kategori normal dan wajar. Meski demikian, ada 15 persen wilayah yang kondisi cuacanya di atas normal dan 1 persen di bawah normal. Jadi rata-rata sama dengan intensitas hujan dalam 30 tahun terakhir.
Apa pemicunya?
Curah hujan normal di Indonesia dalam setahun bisa mencapai 2.500-5.000 milimeter. Meski normal, tetap ada hujan dengan intensitas lebat, ekstrem, sedang, dan ringan. Kita tetap harus mewaspadai potensi hujan lebat hingga cuaca ekstrem, dengan curah hujan dalam satu bulan bisa mencapai 300 milimeter, bahkan 500 milimeter. Karena itu, kita harus mewaspadai potensi bencana hidrometeorologi basah, yaitu potensi banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, puting beliung, serta hujan yang disertai kilat dan petir.
Bukankah bencana seperti banjir dan tanah longsor sebenarnya bukan dampak langsung cuaca ekstrem itu?
Lingkungan rusak, hutan sudah terbuka, dan lahan resapan kurang. Kami punya data yang menunjukkan curah hujan tidak lebat, tapi terjadi banjir. Itu karena faktor lingkungan. Karena itu, kami mengimbau semua pihak, dari pemerintah pusat dan daerah, pihak-pihak terkait, hingga seluruh masyarakat, lebih siap serta antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya bencana hidrometeorologi basah.
Di daerah mana bencana itu berpotensi terjadi?
Bencana ini terutama akan terjadi di wilayah-wilayah yang musim hujannya di atas normal. Misalnya Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian Sumatera, sebagian besar Kalimantan, sebagian Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Apalagi ini diperparah oleh La Niña. Meski lemah, La Niña diprediksi dapat meningkatkan curah hujan lebih dari 20 persen dari kondisi normal.
Bagaimana dampak La Niña terhadap lingkungan yang sudah rusak?
Meski tidak hujan lebat, kalau lingkungannya sudah rusak, bisa terjadi banjir, bahkan banjir bandang. Inilah yang membuat kami mengingatkan semua pihak. Meski La Niña lemah dan musim hujannya normal, cek lingkungannya. Hujannya tidak lebat, tapi saluran air mampet, sedimen sungai tidak dikeruk, tampungan-tampungan air berubah menjadi bangunan, dan kawasan resapan air tertutup aspal. Tidak perlu ada La Niña dan hujan lebat pun, kalau lingkungannya seperti itu, tetap bisa banjir.
Bagaimana mengaitkan cuaca ekstrem belakangan ini dengan krisis iklim?
Kami punya data kejadian El Niño dan La Niña sejak 1950-an sampai 2000-an. Sebelum 1980, dalam kejadian El Niño dan La Niña, ada periode ulang tujuh tahunan, terkadang lebih. Tapi, setelah 1980, apalagi setelah 2000, periode ulang El Niño dan La Niña bisa dua tahun sekali. Paling lama lima tahun. La Niña dan El Niño itu anomali iklim. Periode ulangnya menjadi sangat pendek. Pada 2015-2016 terjadi El Niño, lalu pada 2019 sudah terjadi lagi. Kemudian 2023 terjadi lagi El Niño.
Benarkah salah satu tanda anomali itu adalah suhu yang terasa makin panas?
Salah satu dampak perubahan iklim adalah suhu makin panas. Rekor suhu terpanas Indonesia dan global pernah terjadi pada 2016 dengan anomali 0,8 derajat Celsius. Dulu suhu tidak sepanas itu. Pada 2024, kita semua mengalami suhu makin panas. Kecenderungannya, setiap ganti tahun (peningkatan suhu) menjadi rekor, meski suhu pada 2016 masih yang terpanas. Berdasarkan data yang kami punya, setiap pergantian tahun terjadi peningkatan suhu.
Seberapa dalam dampak eksploitasi hutan kita terhadap peningkatan suhu itu?
Menurut analisis para pakar klimatologi, salah satu penyebab kenaikan suhu adalah peningkatan gas rumah kaca di atmosfer. Gas rumah kaca terdiri atas karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran energi fosil. Penyebab lain adalah pembukaan lahan, seperti hutan, gambut, dan mangrove. Semua ditebangi. Padahal kawasan hijau itu punya tugas menyerap gas rumah kaca.
Kesadaran lingkungan untuk menjaga hutan kerap dibenturkan dengan logika pembangunan. Bagaimana menjembatani kedua hal itu?
Pemerintah juga memikirkan itu dalam program pembangunan jangka menengah dan panjang. Pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ada program Asta Cita. Ada program pembangunan berketahanan iklim. Artinya, ada upaya menjaga keseimbangan dengan pembukaan lahan yang terukur. Selain itu, ada usaha transformasi dari energi fosil ke energi yang ramah lingkungan.
Apakah sederet upaya itu bisa mengurangi dampak krisis iklim?
Pembangunan itu bukan menghalalkan keluarnya gas rumah kaca, tapi mengendalikannya. Setiap industri wajib punya komitmen mengurangi laju emisi gas rumah kaca. Jadi tetap membangun, tapi ada upaya mengurangi gas rumah kaca. Penghijauan juga digalakkan. Namun memang belum begitu ada dampaknya.
Komitmen pemerintah menekan dampak iklim terdengar sebagai jargon belaka. Misalnya, ada komitmen menutup pembangkit listrik batu bara, tapi belakangan justru ada pembangkit baru....
Pada 2023, terjadi polusi udara yang sangat parah di Jakarta. Lembaga kami tak berbicara ke publik, tapi memonitor situasi yang terjadi. Kami tahu polusi itu datang dari mana. Memang benar ada kontribusi lalu lintas kendaraan, tapi industri juga punya kontribusi yang signifikan. Titik-titik polusinya terlihat. Waktu itu kami berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada tim yang secara senyap menghentikan sumber polusi dari industri itu.
Mengapa kajian BMKG itu tak dirilis ke publik?
Kami bagian dari pemerintah sehingga harus bekerja dengan koordinasi. Tak mungkin membuat pengumuman yang memicu sensasi. Yang penting ada tindakan. Kami berkomunikasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup, memonitor, dan tingkat polusi berkurang.
Ada riset yang menjelaskan bahwa perubahan iklim menambah sengsara warga miskin kota karena mereka tinggal di kawasan rawan bencana. Apa saran Anda?
Kita mengenal istilah urban heat island, seakan-akan seperti pulau panas di perkotaan. Di perkotaan jelas banyak lahan yang terbuka. Banyak beton dan aspal. Menurut para ahli, beton dan aspal lebih banyak menyerap radiasi matahari dan awet, tidak segera dipantulkan ke atmosfer. Karena itu, suhu menjadi lebih tinggi yang disebut pulau panas di perkotaan. Pada 1972, pulau panas di Jakarta belum banyak. Sepuluh tahun kemudian makin meluas dan melebar. Lima puluh tahun kemudian kian melebar dan menebal.
Dwikorita Karnawati
Tempat dan tanggal lahir:
- Yogyakarta, 6 Juni 1964
Pendidikan:
- Sarjana teknik geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
- Magister teknik geologi Leeds University, Inggris
- Doktor ilmu bumi Leeds University
Jabatan publik:
- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (2017-sekarang)
- Rektor Universitas Gadjah Mada (2014-2017)
Laporan harta kekayaan:
- Rp 11.754.372.000 (2023)
Beberapa waktu lalu, Anda menyampaikan potensi megathrust, tapi sebagian masyarakat menganggapnya kabar bohong. Seberapa serius ancaman itu sebenarnya?
Kami membahas megathrust dalam sebuah forum akademik. Ada wartawan yang tahu, lalu menyebarkannya ke masyarakat. Ini menjadi heboh dan kami dipanggil polisi, seakan-akan kami perusuh. Ada yang menyatakan kami melakukan konspirasi. Ada yang mengaitkannya dengan upaya pemerintah mencari alasan memindahkan ibu kota ke Nusantara (Ibu Kota Nusantara, Kalimantan Timur). Kami dipanggil polisi, dan pada akhir tahun itu terjadi tsunami di Selat Sunda akibat letusan Gunung Anak Krakatau.
Jika megathrust terjadi, daerah mana yang paling rawan terkena dampaknya?
Zona megathrust atau tumbukan lempeng cukup panjang, dari Aceh pada jarak 250 kilometer sebelah barat pantai, lalu ke selatan mengikuti pantai Sumatera dan melengkung ke selatan hingga Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Zona ini panjang dan terbagi menjadi 15 segmen. Setiap segmen menyimpan energi yang kalau terlepas akan menjadi guncangan. Ini yang disebut gempa bumi.
Apakah semua segmen megathrust berpotensi melepaskan energi dalam waktu dekat?
Di antara segmen-segmen itu, ada yang sudah terlepas energinya. Yang terakhir terlepas energinya adalah segmen Aceh-Andaman pada 2004 yang memicu gempa bermagnitudo 9,2. Maka terjadilah tsunami Aceh yang rambatannya mencapai pantai timur Afrika. Segmen Nias juga sudah terlepas. Segmen Mentawai-Siberut pernah terlepas 200 tahun silam. Menurut hitungan pakar, periode ulang segmen itu bakal terjadi pada saat-saat ini. Kondisi yang sama terjadi pada segmen Selat Sunda-Banten.
Bagaimana mitigasi pemerintah?
BMKG, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, serta Badan Riset dan Inovasi Nasional berfokus mewaspadai zona itu. Kami menyiapkan masyarakatnya siap menghadapi megathrust. Kami menyiapkan shelter dan jalur evakuasi. Kami menyiapkannya sejak 2008. Kalau sampai sekarang megathrust tidak terjadi, alhamdulillah.
Kalau megathrust Selat Sunda-Banten terjadi, daerah mana yang bakal terkena dampak?
Provinsi Banten yang berpotensi terkena. Ujung selatan Pulau Sumatera dan pantai barat Banten bisa terkena. Kawasan penyeberangan Merak-Bakauheni dan wisata di Selat Sunda bisa terkena dampak.
Bagaimana dengan Jakarta yang belakangan masih dipertahankan statusnya sebagai ibu kota?
Kami khawatir Jakarta terkena dampak guncangan gempa bumi, bukan tsunami. Kalaupun terjadi, tsunami paling mungkin melanda pantai utara Jakarta dan itu tidak tinggi, lebih-kurang setengah meter. Bangunan-bangunan di Jakarta yang bakal terkena dampak guncangan gempa bumi. Tanah di Jakarta kebanyakan tanah lunak, terutama di Jakarta Utara. Karena itu, kantor BMKG dirobohkan seluruhnya, lalu dibangun lagi dengan struktur tahan megathrust dan tak terkena likuefaksi.
Bencana tanah longsor akibat hujan deras yang terjadi di desa Plipiran Bruno, Purworejo, Jawa Tengah, 20 November 2024/Antara/Anis Efizudin
Membangun masyarakat yang sadar bencana tidak mudah. Jepang bisa menjadi model. Bagaimana dengan kita?
Jepang menjadi sadar karena sudah melakukan edukasi seratus tahun. Kita mulai sadar bencana setelah tsunami Aceh, 20 tahun lalu. Kami sudah berteriak-teriak. Contohnya di Sumatera Barat, pemerintahnya sudah oke.
Bagaimana Anda tetap mensosialisasi pentingnya sadar bencana kepada masyarakat?
Kami masuk ke sekolah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah. Kami mengusulkan program strategis nasional untuk mengantisipasi megathrust. Kami juga menyampaikannya kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Responsnya sangat positif. Bappenas membantu anggaran, memperbanyak sensor, dan memperkuat sistem deteksi dini. Kami juga bekerja sama dengan BNPB. Meski belum seperti Jepang, kami terus menyampaikan kepada masyarakat pentingnya meningkatkan kewaspadaan.
Apa yang harus dikerjakan lagi untuk penyadaran bencana ini?
Cukup banyak pekerjaan rumah yang harus kami kerjakan. Belum semua negara peduli. Jangankan waspada, peduli saja sudah lupa. Korban tsunami Aceh sebanyak 227 ribu orang dari berbagai negara. Setelah 20 tahun, banyak yang lupa. Negaranya pun sudah enggak peduli. Ini masalahnya. Kesadaran masyarakat kita sudah di atas rata-rata masyarakat negara lain. Namun kami belum puas.
Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP29) telah berlangsung di Azerbaijan. Apa catatan Anda?
Bagaimana aksi iklim ini secara konkret bisa dilakukan di semua lapisan masyarakat, misalnya komitmen mengurangi gas rumah kaca. Ada Perjanjian Paris 2015 yang memuat kesepakatan mengurangi laju kenaikan suhu global yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca. Negara-negara menyepakati kenaikan suhu tak lebih dari 1,5 derajat Celsius, tapi pengukuran terakhir menunjukkan kenaikan suhu mencapai 1,45 derajat Celsius. Artinya, tinggal ada toleransi kenaikan sebesar 0,05 derajat Celsius sampai 2100. Perjanjian Paris nyaris tidak akan tercapai.
Apa tindakan nyata yang bisa kita kerjakan?
Aksi iklim belum memberi efek. Ini menjadi pembahasan yang serius. Kita harus mengevaluasi diri. Upaya kita di seluruh dunia belum berarti apa-apa. Transformasi energi belum ada dampaknya.
Sementara itu, upaya global untuk mengatasi krisis iklim cenderung suram di masa depan dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Dialah yang membuat Amerika meninggalkan Perjanjian Paris....
Inilah yang harus menjadi kesadaran kita bersama. Upaya secara ilmiah tidak cukup kalau tak didukung dengan kemauan politik. Ini sudah menjadi isu politik. Makanya, kami selalu mencari dukungan antarnegara di dekat kita, tanpa bermaksud menyinggung Trump. Misalnya, kerja sama antara Indonesia dan Singapura tentang kabut asap yang melintasi batas negara. BMKG punya kekuatan di sisi sains dan suara ilmuwan masih didengar pemerintah.
Indonesia tampak tak serius mengatasi perubahan iklim. Indikatornya, delegasi kita dalam COP29 dipimpin pebisnis, alih-alih pakar yang paham lingkungan. Apa pendapat Anda?
Kami tidak di posisi memberi komentar karena itu di luar ranah kami. Namun kami pun membantu bisnis dalam konteks yang positif. Organisasi meteorologi dunia mengingatkan kami agar bekerja sama dengan pihak bisnis dalam konteks kolaborasi yang saling menguntungkan. Tujuannya, agar bisnis lebih ramah lingkungan. Misalnya, kami memberi informasi energi surya. Daerah mana yang potensial. Sebetulnya bisnis bisa dilakukan dengan ramah lingkungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Aksi Iklim Belum Memberi Efek"