Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertumbuhan ekonomi kuartal III melambat dari 5,05 persen menjadi 4,95 persen.
Lesunya sektor manufaktur membuat makin banyak orang miskin karena PHK.
Seretnya likuiditas mengancam laju pertumbuhan ekonomi di akhir tahun.
EKONOMI Indonesia sedang melambat. Tingkat pertumbuhan ekonomi per akhir kuartal III 2024 hanya 4,95 persen setahun, lebih rendah ketimbang angka kuartal sebelumnya yang mencapai 5,05 persen. Rupanya, penerimaan ekspor—salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi—terus mengecil. Memang, neraca perdagangan Indonesia masih mencatatkan surplus US$ 24,43 miliar selama Januari-Oktober. Tapi surplus itu merosot 21,7 persen ketimbang pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 31,89 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara riil, kaum pekerja malah sudah merasakan perlambatan ekonomi. Jumlah pemutusan hubungan kerja pada Januari-Oktober 2024 meningkat 64 persen ketimbang pada tahun lalu. Yang harus menjadi catatan penting adalah 43 persen PHK tahun ini terjadi di sektor manufaktur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini alarm bahaya. Sektor manufaktur merupakan penyedia terbesar lapangan kerja untuk kelas menengah dan calon kelas menengah. Jika berkepanjangan, melemahnya sektor manufaktur bisa memicu efek berantai yang diawali penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat. Ujungnya, kian banyak orang Indonesia kembali jatuh miskin.
Ketika ekonomi melemah, ada resep klasik untuk mengatasinya, yaitu pemerintah dan bank sentral bekerja sama menyuntikkan stimulus. Dalam istilah para ekonom, ini adalah kebijakan kontrasiklus atau countercyclical policy. Pemerintah dan bank sentral membalik siklus perlambatan ekonomi untuk memulihkan pertumbuhan.
Pemerintah bisa membalik siklus lewat peningkatan belanja atau stimulus fiskal. Sedangkan Bank Indonesia dapat menjalankan stimulus moneter dengan melonggarkan pasokan likuiditas sambil menurunkan bunga. Tambahan uang dari pemerintah dan bank sentral akan mendorong ekonomi bergerak lebih kencang.
Namun saat ini pemerintah dan BI sedang tak berdaya. Pemerintah loyo karena ulahnya sendiri. Perubahan struktur dan nomenklatur kabinet membuat belanja pemerintah tersendat, setidaknya dalam waktu dekat. Jangankan mempercepat belanja agar menjadi stimulus ekonomi, untuk mengongkosi kegiatan sehari-hari saja masih banyak kementerian yang mengalami kesulitan. Anggaran mereka belum tersedia karena rumitnya administrasi birokrasi.
Lebih jauh, pemerintah malah merencanakan kontraksi fiskal yang akan menyedot likuiditas lebih besar. Mulai Januari 2025, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Alih-alih mendorong konsumsi yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, kenaikan PPN bakal memangkas daya beli konsumen.
Sementara itu, investor belum bisa berharap ada stimulus moneter karena saat ini BI lebih mengutamakan stabilitas nilai rupiah. Pekan lalu, contohnya, Sidang Dewan Gubernur BI menahan BI Rate tetap 6 persen. Tak menurunkan bunga kendati tingkat inflasi rendah merupakan sinyal tegas bahwa BI tidak mementingkan stimulus untuk pertumbuhan.
BI juga melakukan operasi moneter, antara lain melalui penjualan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Targetnya: modal asing tetap tinggal sehingga nilai rupiah tidak merosot lebih dalam. Supaya investor asing tergiur membeli SRBI, BI menawarkan iming-iming bunga tinggi. Pada lelang 15 November 2024, misalnya, bunga SRBI bertenor satu tahun mencapai 7,25 persen.
Sayangnya, alih-alih diborong investor asing, SRBI malah diserap pemilik dana lokal. Per Oktober 2024, dari total nilai SRBI Rp 960,66 triliun, dana asing yang masuk ke sini hanya Rp 262 triliun atau 27 persen. Sisanya adalah dana perbankan ataupun lembaga keuangan lokal. Selain tidak efektif menahan longsornya rupiah, operasi moneter melalui SRBI ternyata bersifat kontraktif karena menyedot likuiditas hampir Rp 700 triliun yang kini mandek di brankas bank sentral.
Likuiditas adalah “darah” perekonomian. Kebijakan pemerintah dan BI yang kontraktif akan makin mencekik aliran “darah” itu. Dus, ekonomi Indonesia yang sedang melemah bakal tetap lesu darah di kuartal terakhir tahun ini. Hingga kuartal I 2025 pun, jika pemerintah dan BI tak segera putar haluan menggelontorkan stimulus kontrasiklus, kelesuan itu akan berlanjut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lesu Darah tanpa Stimulus"