Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Korban kekerasan seksual di kampus makin terjepit karena sanksi ringan bagi para pelaku pelecehan.
Satgas PPKS yang dibentuk di perguruan tinggi negeri belum efektif menyelesaikan kasus kekerasan seksual.
Perlu ahli hukum dalam Satgas PPKS yang bisa melindungi serangan balik dari pelaku kekerasan seksual.
PERSONEL Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Indonesia berkumpul untuk menggelar rapat singkat pada akhir Maret 2024. Mereka merasa tak kuat menahan rasa kecewa terhadap rektorat kampus yang berlokasi di Depok, Jawa Barat, itu. Pada 1 April 2024, semua anggota Satgas PPKS yang berjumlah 13 orang itu lantas kompak meneken surat pengunduran diri. “Ini merupakan bentuk protes kami atas minimnya dukungan kampus,” kata Ketua Satgas PPKS UI Manneke Budiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru besar ilmu susastra itu mengatakan mereka juga mengembalikan mandat yang diterima pada 22 November 2022 tersebut ke Rektorat UI. Sebenarnya mereka sudah mengancam akan mundur sebulan sebelumnya. Mereka bahkan sempat menghentikan penerimaan laporan kekerasan seksual di kampus sejak 4 Maret 2024. Tapi tetap tak ada respons dari Rektorat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manneke mengatakan hambatan Satgas PPKS UI sudah terlalu banyak. Sejak awal, misalnya, Rektorat tak mengalokasikan anggaran khusus. Biaya penanganan pelecehan seksual hanya bisa cair jika Satgas mengajukan proposal untuk tiap kegiatan. Akibatnya, mereka tak bisa merespons aduan dengan cepat. Pemulihan korban juga membutuhkan biaya. Sebagian anggota Satgas bahkan terpaksa merogoh kocek pribadi untuk menalangi biaya penanganan dan pemulihan korban. Dari 13 anggota Satgas PPKS UI, tujuh adalah mahasiswa yang belum memiliki penghasilan.
Satgas PPKS UI sudah menangani 78 aduan selama 15 bulan bertugas. Setiap laporan ditindaklanjuti dengan membentuk tim kecil yang terdiri atas tiga orang. Lantaran banyaknya laporan, setiap anggota sering kali harus menangani dua-tiga aduan secara bersamaan. Manneke Budiman mengatakan pengunduran diri mereka membuat aktivitas Satgas PPKS UI lumpuh saat ini. “Untuk sementara vakum, menunggu pengurus baru,” ucapnya.
Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia Manneke Budiman, 21 Desember 2023./Tempo/ Gunawan Wicaksono
Namun Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Publik Universitas Indonesia Amelita Lusia membantah pernyataan Manneke. Dia menjelaskan, pengunduran diri mereka tak menghentikan program pencegahan kekerasan seksual. “Kebutuhan terhadap pelayanan khusus yang berkaitan dengan korban kekerasan seksual juga dapat disampaikan melalui Klinik Makara dan Direktorat Kemahasiswaan,” ujarnya.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Fauzan menyayangkan keputusan mundur anggota Satgas PPKS UI. Dia mengungkapkan, perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum seperti UI semestinya punya keleluasaan menentukan alokasi anggaran. “Tapi anggaran mesti dikelola dengan baik supaya tidak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan,” tuturnya.
Satgas PPKS merupakan organ kampus yang dimandatkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Anggotanya terdiri atas dosen, tenaga pendidikan, dan perwakilan mahasiswa. Semua kampus negeri dan swasta wajib membentuk satgas PPKS paling lama setahun sejak aturan itu berlaku.
Ternyata tak semua kampus patuh pada peraturan menteri tersebut. Dari 4.408 kampus, baru ada 1.817 atau sekitar 41 persen yang memiliki satgas PPKS. Sementara itu, satgas PPKS perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama baru terbentuk di 54 kampus. Jumlah itu tergolong minim lantaran hanya mewakili sekitar 19 persen dari 964 kampus keagamaan. Di sisi lain, kasus kekerasan seksual masih menjadi ancaman di kampus.
Satgas PPKS tak hanya menampung aduan korban. Mereka juga wajib memberikan pendampingan hingga membantu pemulihan psikologis. Lewat peraturan teranyar, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024, kewenangan satgas PPKS bertambah karena bisa melaporkan kasus pelecehan kepada aparat penegak hukum. Bagi kampus yang belum memiliki satgas, pemerintah memfasilitasi saluran koordinasi dan penanganan aduan melalui lembaga layanan perguruan tinggi yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Jumlahnya sekarang sebanyak 17.
Baik peraturan lama maupun Peraturan Menteri Nomor 55 Tahun 2024 sudah secara rinci menjabarkan 26 bentuk kekerasan seksual. Bentuknya mulai dari siulan, rayuan, dan lelucon bernuansa seksual hingga sengaja membiarkan terjadinya kekerasan seksual. Aturan ini juga menegaskan unsur persetujuan kedua pihak untuk tindakan tertentu. Tanpa itu, setiap tindakan dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Sejak pemberlakuan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021, hingga Juni 2024, satgas PPKS di 661 perguruan tinggi telah melayani 1.133 korban kekerasan seksual. Sebanyak 94 persen korban di antaranya merupakan perempuan. Pelaku bukan hanya mahasiswa atau pacar korban, melainkan juga pejabat kampus atau dosen.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Fauzan mengklaim pemerintah tak melepas begitu saja penanganan kasus pelecehan di setiap kampus. Sebab, Kementerian memantau penanganan aduan secara rutin setiap tiga bulan. Pemantauan itu dipercayakan kepada Biro Hukum dan Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Saat ini Kementerian Pendidikan Tinggi sedang mengejar target 100 persen kampus swasta memiliki satgas PPKS. “Jelas butuh proses karena jumlahnya ribuan,” ujarnya.
•••
TEMPO membuka platform pengaduan “Lapor Tempo” khusus untuk kasus kekerasan seksual sejak 2 September 2024. Harapannya, para korban atau pihak yang mengetahui terjadinya kekerasan seksual di kampusnya bisa “membocorkan” kasus itu kepada redaksi Tempo. Selama sebulan lebih, saluran ini menerima 52 laporan yang masuk ke formulir digital redaksi. Lokasinya tersebar di 35 perguruan tinggi. Bentuk pelecehan yang diadukan di antaranya catcalling, sikap dan perbuatan cabul dosen, serta pemaksaan aborsi. Beberapa pelapor menyatakan bersedia diwawancarai, tapi disembunyikan identitasnya.
Ada juga pelapor yang merasa kecewa terhadap penanganan kasus pelecehan oleh pihak kampus atau satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Mereka juga tak puas terhadap sejumlah rekomendasi satgas PPKS yang dinilai tak adil dan tak berperspektif korban. Ada juga yang mengadukan minimnya pendampingan psikologis dari pihak kampus. Beberapa pelapor menceritakan kesulitan mencari tahu perkembangan penanganan kasusnya di satgas PPKS. Dari gelagatnya, mereka bahkan menuding kasus kekerasan itu ditutup-tutupi pihak kampus.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah sanksi permintaan maaf yang dijatuhkan kepada pelaku. Ada yang menyebut sanksi ini terlalu ringan. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi periode 2020-2024, Nizam, mengatakan sanksi permintaan maaf secara terbuka bertujuan memberi efek jera kepada pelaku. “Itu salah satu dasar pertimbangannya,” katanya. Menurut peraturan lama, permintaan maaf itu dipublikasikan secara internal di kampus atau di media massa.
Belakangan, Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 55 Tahun 2024 mengubah model permintaan maaf tertulis itu cukup ditujukan kepada korban dan perguruan tinggi. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Sri Suning Kusumawardani menjelaskan, penghapusan frasa “dipublikasikan di internal kampus atau media massa” dalam peraturan anyar disebabkan oleh dua hal. Pertama, publikasi ke publik bisa membuat korban merasa tidak nyaman. Kedua, bentuk kekerasan beragam sehingga sanksinya tidak bisa disamaratakan.
Dalam pelaksanaannya, keharusan meminta maaf tak lagi memiliki acuan yang ajek. Satgas PPKS memiliki kewenangan menentukan bentuk sanksi. “Satuan tugas dan pemimpin perguruan tinggi dapat memilih dan mempertimbangkan sanksi serta perlu atau tidaknya dipublikasikan sesuai dengan kesimpulan dalam penanganan kasus,” ujar Sri Suning, yang meneruskan penjelasan dari Pusat Pengembangan Karakter Kementerian Pendidikan Tinggi.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Fauzan meminta publik berprasangka baik pada kebijakan itu. Sebab, tidak semua kasus harus berakhir dengan pemberian sanksi hukum atau administratif terhadap pelaku. Menurut dia, masih ada “kearifan lokal” yang bisa ditempuh, yaitu saling memaafkan. “Tapi jika korban memang tidak puas terhadap penanganan oleh kampus dipersilakan melapor atau mengajukan permohonan banding ke portal pengaduan Kementerian,” ucapnya.
Namun ada kampus yang mengeluarkan peraturan pelaksana dengan sanksi berbeda. Misalnya Peraturan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Nomor 33 Tahun 2022. Pelaku yang dijatuhi sanksi ringan seperti teguran lisan atau tertulis cukup menyampaikan permintaan maaf kepada departemen atau pimpinan kampus. Tak ada keharusan bagi pelaku menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Salah satu pelapor yang menyampaikan kisahnya ke “Lapor Tempo” adalah anggota Satgas PPKS ITS. Tempo kemudian menghubunginya agar dia memberi keterangan secara anonim. Dia bercerita, saat rapat merumuskan peraturan rektor tentang pembentukan satgas PPKS, perwakilan Unit Layanan Hukum berpendapat sanksi permohonan maaf terbuka bisa berdampak pada citra kampus. “Ya, sudah. Akhirnya kami berkompromi karena yang penting satgas ada dulu. Soal penerapannya, nanti bisa sambil jalan,” tuturnya.
Tempo berupaya meminta konfirmasi soal ini kepada mantan Rektor ITS, Mochamad Ashari. Ia meminta Tempo bertanya kepada Ketua Satgas PPKS ITS 2022-2024, Ellya Zulaikha. Adapun Ellya saat dihubungi tak memberikan penjelasan detail soal ini. Dia hanya menyampaikan memiliki pendapat pribadi, tapi tidak untuk dipublikasikan di media.
Kepala Unit Layanan Hukum dan Pengelolaan Risiko ITS Tony Hanoraga membantah tudingan tak adanya sanksi permintaan maaf terbuka agar nama baik kampus terjaga. ITS menilai sanksi tersebut lebih cocok sebagai hukuman berat. Ia mengklaim hal ini telah disetujui Senat Akademik. “Kalau dipublikasikan dapat mengganggu nama baik atau kondisi psikologis pelanggar, apalagi kalau mahasiswa,” katanya.
Cerita ketidakpuasan terhadap satgas PPKS juga disampaikan alumnus Universitas Islam Riau berinisial WJ. Ia mengaku mengalami pelecehan seksual pada 22 Februari 2024. Pelakunya adalah dosennya yang juga seorang dekan. WJ sempat menutup rapat-rapat kejahatan yang ia alami karena merasa malu. “Saya enggak bercerita, saya pendam, tapi rasanya tertekan,” ujarnya. Selain melapor kepada satgas PPKS, WJ mengadukan kasus itu kepada Kepolisian Resor Kota Pekanbaru. WJ kini tengah memperjuangkan kasusnya ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI karena Polresta Pekanbaru menghentikan penyelidikan.
Korban lain yang mengadu ke “Lapor Tempo” bernama Rihanna—nama samaran. Ia mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Pelakunya seorang dosen merangkap ketua salah satu program studi berinisial JS. Ia mengalami pelecehan pada 11 Januari 2023. Saat itu Rihanna menyambangi ruangan pelaku untuk menanyakan kelanjutan proses kuliahnya. Semula ia memendam peristiwa traumatis itu. Ia baru berani melaporkan perbuatan pelaku kepada Satgas PPKS UPN Veteran delapan bulan kemudian.
Penyelidikan atas laporan itu berujung rekomendasi sanksi Satgas PPKS yang diperkuat lewat Keputusan Rektor Nomor 147/UN62/KP/2023. Pelaku mendapat lima jenis sanksi sekaligus. Selain diberhentikan sebagai ketua jurusan, JS diharuskan meminta maaf secara terbuka, diberhentikan sementara sebagai dosen selama dua tahun, membayar ganti rugi kepada korban, dan diwajibkan mengikuti konseling. Korban pun diberi konseling.
Masalahnya, Rihanna menganggap keputusan itu tak sepenuhnya memberi rasa keadilan. Ia menyatakan tak puas karena tak pernah mendapatkan layanan pendampingan dan pelindungan dari kampus. Hak untuk mendapatkan pembayaran ganti rugi pun belum dia terima. Akibatnya, ia terpaksa membiayai sendiri ongkos konseling ke psikiater. Proses yang ia jalani sejak Februari 2024 itu setidaknya menghabiskan biaya Rp 20 juta.
Ketua Satgas PPKS UPN Veteran Yogyakarta Ida Susi Dewanti mengatakan aduan Rihanna sudah ditangani secara internal. Laporan hasil pemeriksaan serta rekomendasi penyelesaian kasus itu sudah berada di tangan pejabat kampus. “Sudah di ranah pimpinan,” ucapnya. Rektor UPN Veteran Yogyakarta Mohamad Irhas Efendi tak merespons permintaan konfirmasi Tempo yang dikirim ke akun WhatsApp-nya hingga Jumat, 22 November 2024.
Ilustrasi kekerasan seksual/Tempo/Gunawan Wicaksono
Pelecehan seksual juga bisa berbentuk pesan tak senonoh. Kejadian ini dialami Kumala—bukan nama sebenarnya—mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Kudus, Jawa Tengah. Lewat aplikasi perpesanan, seorang mahasiswa laki-laki senior menggodanya agar mau diajak jalan menjelang tengah malam, lalu dipijat. Pelaku juga menyampaikan pesan cabul lain. Peristiwa ini terjadi sekitar Agustus 2024.
Korban melaporkan kasus ini ke Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Kudus. Namun Kumala merasa kecewa lantaran penyelesaian aduan itu tak jelas. Kakak korban yang berinisial S menceritakan adiknya juga sudah menemui salah seorang wakil rektor untuk meminta keadilan. Sang pejabat rektorat berjanji menindaklanjuti laporan Kumala. “Ketika kami follow up, hasilnya malah ngambang, disuruh menunggu keputusan PSGA,” ujar S.
Kepada Tempo, Rektor UIN Kudus Abdurrohman Kasdi menyatakan kasus tersebut sudah ditangani komite etik. Sementara itu, Ketua PSGA Efa Ida Amaliyah menyatakan pelaku sudah diberi peringatan keras. “Kasus itu sudah selesai dengan pemberian punishment berupa peringatan keras dari Rektor melalui Komite Etik.”
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Fauzan menilai kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi tidak bisa disebut murni kesalahan kampus. Dia memaparkan, pelecehan terjadi lantaran faktor moral pelaku. Kekerasan seksual bisa dilakukan siapa saja tanpa memandang jabatan. “Apa yang dilakukan itu tentu saja bukan karena kampusnya, tapi karena pribadinya,” katanya.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu menilai kunci pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah sosialisasi tentang apa saja jenis perbuatan yang tak layak dilakukan kepada lawan jenis. Ia pun mewanti-wanti kampus agar tidak menutup diri jika ada anggotanya yang mengalami kekerasan seksual. “Apalagi bagi kampus swasta, karena berdampak pada dua akreditasi: akreditasi kementerian dan akreditasi masyarakat,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Jihan Ristiyanti, Dinda Shabrina, Lani Diana, Hana Septianaa dari Surabaya, dan Ellya Syafriani dari Pekanbaru berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sanksi Akreditasi Kekerasan Seksual". Laporan ini merupakan bagian dari seri jurnalisme konstruktif “Kekerasan Seksual di Kampus” yang didukung International Media Support.