Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Universitas Hasanuddin di Makassar bisa menjadi contoh penyelesaian kasus kekerasan seksual di kampus.
Selain memiliki satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, Universitas Hasanuddin tegas menghukum pelakunya.
Dari 4.000 kampus, baru separuhnya yang memiliki satgas PPKS.
SANKSI akademik kepada dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi contoh baik penanganan kekerasan seksual di kampus. Meski tak merekomendasikan sanksi terberat, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Hasanuddin mengusulkan pemberhentian sementara pelaku selama tiga semester. Rekomendasi itu disetujui Rektorat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rektorat juga mencopot pelaku sebagai ketua gugus tugas kekerasan seksual di fakultasnya. Sanksi ini terhitung berat karena akan sangat berpengaruh terhadap kariernya. Meski begitu, prosesnya tak mudah. Sejak peristiwa kekerasan seksual terjadi pada 25 September 2024, tim Satgas PPKS Universitas Hasanuddin mesti mengais barang bukti. Pelaku mulanya membantah dugaan pelecehan itu, tapi tak berkutik setelah Satgas PPKS mendapatkan rekaman kamera pengawas kampus tentang perilakunya tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak gampang merekomendasikan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual. Dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan seksual adalah pejabat di dekanat atau rektorat. Sementara itu, satgas PPKS biasanya diisi dosen junior dan mahasiswa. Belum lagi ancaman pelaku melaporkan balik kepada polisi atas tuduhan pencemaran nama. Situasi ini membuat satgas tak leluasa bergerak. Adapun proses yang berlarut-larut membuat korban makin menderita secara psikologis.
Satgas PPKS lahir lewat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sepuluh hari sebelum berakhir masa jabatannya, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menambahkan aturan mengenai penanganan kasus kekerasan seksual lewat Peraturan Menteri Nomor 55 Tahun 2024. Aturan baru ini menambahkan beberapa detail, termasuk mewajibkan satgas PPKS menindaklanjuti laporan meski tanpa bukti awal.
Satgas PPKS sebaiknya memiliki perspektif korban yang baik dan pemahaman hukum yang memadai. Tugas Satgas PPKS Universitas Hasanuddin berjalan lancar lantaran dipimpin oleh guru besar ilmu hukum dan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dua periode, Farida Patittinggi. Adanya anggota satgas yang berlatar belakang ilmu hukum diperlukan karena penanganan kekerasan seksual di kampus mirip dengan proses penyelidikan di lembaga penegak hukum.
Pengetahuan hukum untuk mengumpulkan bukti juga dibutuhkan karena peraturan Menteri Pendidikan teranyar memberikan satgas PPKS kewenangan melaporkan kasus kekerasan seksual yang ditangani kepada polisi jika merasa dibutuhkan. Di sisi lain, pengetahuan hukum juga bisa melindungi anggota satgas PPKS dari ancaman kriminalisasi pelaku. Sebab, dalam banyak kasus, pelaku justru melaporkan balik personel satgas PPKS dan korban kepada polisi atas tuduhan pencemaran nama.
Tak semua perguruan tinggi memiliki fakultas hukum. Sebagai solusinya, kampus bisa berkolaborasi dengan lembaga bantuan hukum setempat yang memiliki perhatian pada kasus kekerasan terhadap perempuan. Kebijakan ini bisa terlaksana asalkan ada dukungan rektorat.
Penghukuman terhadap pelaku juga membutuhkan keberanian. Sebab, mencuatnya kasus kekerasan seksual berdampak pada nama baik perguruan tinggi. Dari 354 kasus yang selesai ditangani satgas, hanya 229 yang berujung sanksi. Itu pun umumnya sanksi ringan berupa permintaan maaf. Saat ini, dari sekitar 4.000 kampus swasta, sebanyak 55 persen belum memiliki satgas PPKS. Satgas akan sia-sia jika dibentuk sebagai pelengkap akreditasi kampus semata.
Artikel ini terbit di edisi cetak Awas Jokowi Kembali di bawah judul Contoh Baik dari Hasanuddin