Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKAS Peter Carey dulu dikenal orang sekitarnya karena reputasi terhormatnya sebagai peng-urus olahraga. Pria yang berasal dari Golden Square, Bendigo, Negara Bagian Victoria, itu per-nah sukses menangani sederet klub basket profesional di Australia, termasuk Perth Wildcats Junior, Perth Breakers, Scotch College, Bendigo Lady Braves, dan Ballarat Basketball.
Chief Executive Officer Ballarat Basketball Peter Eddy, yang bergaul dengan Carey pada 2013-2014, mengatakan pria 42 tahun itu direkrut sebagai direktur pembinaan di klubnya. “Posisi itu dirancang untuk mendongkrak performa pelatih serta menggodok program untuk atlet pria dan wanita di tim senior,” kata Eddy seperti dilansir The Courier. Salah satu tugas Carey saat itu adalah mengembangkan bank data online untuk latihan.
Selama berkiprah di pinggir lapangan, baik sebagai pelatih maupun manajer klub, Carey tidak pernah tersandung masalah. Tapi jejak kariernya di pemerintahan justru membuatnya terseret kasus korupsi. Sejak 2017, Carey mendekam di penjara setelah pengadilan memvonisnya tiga tahun bui. Dia juga harus membayar ganti rugi Aus$ 31.200 (sekitar Rp 300 juta) kepada Pemerintah Kota Ballarat.
Carey tersangkut perkara rasuah saat menjabat salah satu manajer olahraga dan rekreasi di pemerintah Ballarat. Komisi Antikorupsi Victoria (IBAC) menahan-nya karena ia menyalahgunakan posisi-nya untuk memperkaya diri. Komisi meng-endus dugaan kongkalikong dalam penga-daan proyek yang digarap Carey dan meng-in-tai pergerakannya sejak November 2015.
Lewat Operasi Royston, Komisi menemu-kan Carey sepanjang 2013-2015 telah me--nipu pemerintah Ballarat hingga Rp 1,7 miliar dan menilap Rp 1 miliar untuk diri-nya dalam bentuk komisi proyek. Ia menggarong duit itu dengan cara meng-gagas sejumlah proyek yang kontrak kerja samanya dimenangi Cross Court Leisure Planning, perusahaan yang ternyata dimiliki istrinya, Jasmine Carol Finnigan, serta dua perusahaan rekanan milik Derryn Mark Ladson dan Rik William McCaig, yang juga memberinya “duit imbalan”.
Menurut hakim yang mengadili kasus ini, Carey terbukti menyelewengkan posisinya sebagai pegawai negeri dan melakukan “pelanggaran kepercayaan yang besar”. “Hakim menggambarkan pria itu sebagai ‘dalang’ skema pencurian tersebut,” tulis ABC News. Carey dalam persidangan menga-ku menggunakan sebagian duit haram itu untuk liburan keluarga.
Menurut Komisi, yang merilis laporan investigasi setebal 55 halaman pada 30 September lalu, Carey leluasa menjalankan aksi lancungnya selama hampir tiga tahun karena adanya celah dalam sistem pengadaan proyek oleh pemerintah Bal-larat. Pengawasan internal yang lemah juga memberikan ruang bagi pegawai seperti Carey untuk menyelewengkan duit pajak masyarakat. “Laporan investigasi ini menyoroti kerentanan dalam kebijakan, praktik, dan sistem pemerintah kota yang berkontribusi terhadap perilaku tersebut, serta meningkatkan kekhawatiran tentang prosedur pengadaan proyek dan kontrol di sektor pemerintah daerah secara lebih luas,” tutur Komisioner IBAC Robert Redlich.
Carey, misalnya, mengobral proyek pembongkaran kolam renang Wendou-ree serta pembangunan taman di Webcon-na dan Western Oval kepada Ladson. Imbalan-nya, kata Ladson dalam penga-kuan-nya di pengadilan pada Juni 2017, Carey mendapat komisi senilai Rp 205 juta. Namun permainan proyek ini rupanya luput dari pantauan pemerintah karena, menurut Redlich, “Pengawasan internal dilaku-kan dengan buruk.” Tak hanya gagal men-cegah korupsi, pemerintah bahkan masih menggaji Carey sebesar Rp 1,2 miliar per tahun saat dia tengah menilap duit rakyat.
Tidak seperti Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, yang jangkauannya berskala nasional, lembaga antirasuah di Australia hanya ada di tingkat negara bagian dengan kewenangan berbeda. IBAC adalah badan antikorupsi pertama di Victo-ria, negara bagian yang beribu kota di Melbourne. IBAC mempunyai yurisdiksi atas sektor publik, termasuk pemerintah daerah, anggota parlemen, lembaga per-adilan, dan kepolisian.
Sejak dibentuk pada 2012, IBAC telah menuntaskan sederet investigasi melalui sejumlah operasi. Hasilnya bisa berupa rekomendasi kepada instansi publik untuk merom-bak kebijakannya. Dalam kasus korupsi Lukas Carey di Ballarat, IBAC menye-retnya ke meja hijau.
Ballarat, yang terletak 117 kilometer di barat Melbourne, bukan satu-satunya kota yang masuk radar pengawasan IBAC dalam beberapa tahun terakhir. Di Darebin, kota berpenduduk 146 ribu jiwa di pinggiran utara Melbourne, IBAC menemukan se-orang manajer proyek di pemerintah kota yang diduga menerima suap dari kontrak-tor yang telah diuntungkan Rp 154 miliar lewat proyek pengerjaan jalan pada 2014. Tapi, anehnya, manajer itu hingga kini lolos dari jerat hukum.
Dalam kasus rasuah di Darebin, IBAC menemukan sejumlah kejanggalan yang dilakukan pemerintah kota sehingga menyebabkan manajer korup itu seakan-akan tidak tersentuh hukum. Sebelum IBAC mengusut perkara ini, Redlich menu-turkan, pemerintah kota mengklaim telah melakukan pemeriksaan internal terhadap pegawai itu. Sayangnya, pemerintah kota justru membiarkan orang itu mengun-dur-kan diri sebelum pemeriksaan rampung.
Bahkan nama pegawai negeri 38 tahun tersebut tidak dicatat dalam laporan pemeriksaan sehingga membuatnya “anonim” hingga sekarang. Alih-alih curiga, bekas atasannya malah mengobral pujian untuknya sewaktu memberikan kete--rang-an kepada penyelidik IBAC. “Saya pikir (dia) melakukan pekerjaan dengan baik,” ucap Redlich, menirukan perkataan mantan bos pegawai itu.
IBAC menilai penanganan kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang di Ballarat jauh lebih baik. Pengadilan tidak hanya menjebloskan Carey ke bui, tapi juga mendenda istrinya, Finnigan, juga Ladson dan McCaig selaku pihak swasta yang mem-berikan sogokan untuk memperoleh proyek. “Korupsi sektor publik bukan kejahat-an tanpa korban. Duit pajak ter-buang padahal seharusnya digunakan untuk mengoperasikan dan memelihara sekolah, rumah sakit, jalan, dan berbagai layan-an publik penting di Victoria. Korupsi juga merusak reputasi lembaga publik dan menggerus kepercayaan warga terhadap sektor publik,” ujar Redlich.
Melalui laporannya, IBAC meminta peme-rintah Ballarat dan Darebin menin-jau dan memperkuat kebijakan, sistem, serta praktik pengadaan proyek mereka dalam waktu satu tahun. IBAC juga mereko-mendasikan Pemerintah Negara Bagian Victoria mengembangkan kode etik untuk mengatur hubungan antara pemerintah daerah dan perusahaan rekanan supaya konflik kepentingan yang berbuntut korupsi, seperti kasus Carey, tak terulang.
Total belanja dana publik di 79 peme-rintah daerah di Victoria sebesar Rp 67,6 triliun setiap tahun. Berkaca pada kasus Carey, Redlich tak menutup kemungkinan praktik rasuah juga terjadi di daerah lain. “Sekarang ada peluang bagi semua peme-rintah daerah di Victoria untuk memper-timbangkan temuan ini dan menilai seberapa kuat proses dan kontrol mereka sendiri,” ucap Redlich.
MAHARDIKA SATRIA HADI (ABC NEWS, AUSTRALIAN ASSOCIATED PRESS, THE AGE)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo