Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Telepon Berujung Petaka

Turki melancarkan serangan ke Suriah utara yang dikuasai Kurdi setelah Amerika Serikat menarik pasukannya. Mengundang kekhawatiran akan bangkitnya ISIS.

19 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tentara Turki melintasi perbatasan antara Turki dan Suriah di Sanliurfa, Turki, 11 Oktober 2019. REUTERS/Khalil Ashawi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Amerika Serikat Donald Trump dihujani ke-cam-an setelah pasukan Turki menyerang daerah yang dikuasai Kurdi di Suriah utara, Rabu, 9 Oktober lalu. Langkah Trump menarik pasukan Amerika dari daerah itu dinilai sebagai “lampu hijau” bagi serangan Turki dan mengesankannya me--ning-galkan sekutu pentingnya yang se-lama ini bersama-sama memerangi kelom-pok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Tekanan keras itu mendorong Gedung Putih mengutus Wakil Presiden Mike Pence ke Ankara. Setelah negosiasi selama sembilan jam, Amerika dan Turki menye-tujui gencatan senjata. “Semua ope-rasi militer di bawah Operasi Mata Air Per-da-maian akan dihentikan sementara. Operasi itu akan dihentikan sepenuhnya dengan syarat penarikan pasukan Kurdi,” kata Pence di Ankara, Kamis, 17 Oktober lalu.

Sesuai dengan kesepakatan itu, Turki bakal mendapat zona aman 32 kilometer di selatan perbatasan Turki di Suriah. Gen-catan senjata sementara akan ber-laku selama 120 jam, waktu yang dinilai pejabat Amerika cukup realistis untuk me-mungkinkan pasukan Kurdi mening-galkan area yang menjadi sasaran serangan militer Turki.

Sebagai imbalan atas gencatan senjata itu, Pence mengatakan, Trump setuju tidak men--jatuhkan sanksi lebih lanjut kepada Turki. Jika ada gencatan senjata per-manen, Amerika akan mencabut sanksi yang dikenakan pekan lalu, antara lain peng-hentian kesepakatan perdagangan senilai US$ 100 miliar dan kenaikan tarif baja hingga 50 persen. Juga sanksi terhadap tiga pejabat senior Turki.

Sampai gencatan senjata disepakati, menurut Vox, sekitar 300 ribu warga Kurdi mengungsi dan sedikitnya 200 orang sipil tewas, termasuk 18 anak-anak. Menurut badan urusan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), perang ini me-nambah masalah kemanusiaan. Dari 3 juta wanita, anak-anak, dan pria di area itu, 1,8 juta membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Kesepakatan ini juga dinilai mengun-tungkan Turki. “Ini pada dasarnya Amerika memvalidasi apa yang dilakukan Turki dan memungkinkan mereka mencaplok sebagian Suriah serta menggusur populasi Kurdi,” ucap pejabat senior Amerika Serikat kepada CNN. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Nancy Pelosi dan pemimpin Partai Demokrat di Senat, Chuck Schumer, menyebut perjanjian tersebut “secara serius merusak kredibilitas kebijakan luar negeri Amerika”.

Serangan militer Turki itu dilancarkan setelah percakapan antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Donald Trump, Ahad, 6 Oktober lalu. Menurut pejabat Gedung Putih, sedianya percakapan itu diniatkan untuk meredakan ketidakpuasan pemimpin Turki tersebut karena ia tak sempat bertemu empat mata dengan Trump di sela sidang Majelis Umum PBB, September lalu.

Erdogan ingin menjumpai Trump untuk membahas zona aman di Suriah utara. Amerika menyatakan dukungannya soal zona aman itu karena berpotensi membuat Turki membeli sistem pertahanan rudal Amerika. Kedua negara sebelumnya berselisih karena Turki membeli sistem pertahanan rudal Rusia.

Namun, menurut pejabat Gedung Putih, percakapan via telepon itu tidak berjalan seperti harapan. Erdogan berkeras menyatakan Turki akan masuk ke Suriah. Trump mengatakan hanya serangan moderat, seperti pembersihan zona aman, yang bisa diterima. Jika Turki melancarkan operasi militer besar-besaran, Amerika akan sepenuhnya mundur dari Suriah.

Menurut pejabat Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, dalam percakapan telepon itu Trump tidak mendukung rencana operasi militer Turki, tapi juga tidak mencegahnya. Percakapan itulah yang kemudian dinilai sebagai lampu hijau kepada Turki. Dalam konferensi pers pada Rabu, 16 Oktober lalu, Trump membantahnya: “Saya tidak memberinya lampu hijau.”

Selepas percakapan itu, Kepala Staf Gedung Putih Mick Mulvaney menghubungi Menteri Pertahanan Mark Esper mengenai ke--putusan Trump. “Turki akan segera ber-gerak maju dengan operasinya yang telah lama direncanakan ke Suriah utara,” tutur sekretaris pers Gedung Putih, Stepha-nie Grisham, malam harinya. Pasuk-an Amerika, dia menambahkan, “tidak akan men---dukung atau terlibat dalam operasi” dan “tidak akan lagi berada di daerah terdekat”.

Pengumuman penarikan pasukan Amerika Serikat, menurut Haaretz, disam-pai-kan pada pukul 11 malam waktu Washing-ton. Pasukan Amerika di Suriah timur laut menerima perintah itu secara men--dadak pada Senin pagi. “Kita akan keluar dari area ini,” demikian tertulis di pesan itu.

Pada Senin pukul 3 pagi waktu setem-pat, komandan Pasukan Demokrat Suriah (SDF), Jenderal Mazloum Kobani, dikontak pejabat senior Amerika yang memberitahukan keputusan Trump tersebut. “Keputusan ini adalah sesuatu yang tidak kita harapkan sama sekali,” kata Kobani kepada NBC News, Senin sore.

Pada hari itu, Turki diketahui memper-kuat pasukannya di perbatasan Suriah-Turki beberapa jam setelah mengancam akan masuk ke zona penyangga yang berada di antara Sungai Tigris dan Eufrat. Zona penyangga, yang kadang disebut sebagai koridor perdamaian, dibuat untuk men-cegah invasi Turki ke Suriah utara.

Turki mengumumkan serangan itu, yang diberi nama Operasi Mata Air Perdamaian, Rabu, 9 Oktober lalu. Sasarannya daerah sebelah timur Sungai Eufrat di Suriah utara untuk mengamankan perbatasan dengan menghancurkan Kelompok Perlin-dungan Rakyat Kurdi (YPG), tulang pung-gung SDF. Ankara menyebut YPG ter-kait dengan kelompok separatis Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki. PKK juga ditetapkan sebagai “kelompok teroris” oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Tujuan lain: Turki berencana memu-kimkan kembali warga Suriah yang mengungsi di negaranya, yang jumlahnya sekitar 3,6 juta jiwa. Mereka akan dimukim-kan di zona aman selebar 30 kilometer yang akan didirikan di Suriah, membentang dari Sungai Eufrat hingga perbatasan Irak, termasuk Manbij.

Serangan Turki dimulai di kota-kota per-batasan, seperti Ras al-Ain dan Tal Abyad. “Ada asap, asap membubung di atas kota,” ujar Lizzie Irvine, sukarelawan Inggris yang berperang bersama pasukan Kurdi, kepada The Telegraph dari Ras al-Ain. “Banyak kekacauan dan kebingungan. Orang-orang takut.”

Pesawat-pesawat tempur dilaporkan menyerang Kota Derik dan Qamishlo serta sebuah pangkalan SDF di Ain Issa, yang dekat dengan kamp tahanan yang berisi istri dan anak-anak personel ISIS. Menurut media Turki, SDF membalas dengan me-nembakkan mortir dan roket ke dua kota di Turki selatan. Tidak ada korban yang dilaporkan.

Pasukan Turki, sehari setelah serangan, diketahui sudah masuk ke Ras al-Ain. “Ter-jadi serangan udara intensif di Ras al-Ain tiga hari terakhir,” ucap Rami Abdel Rahman, Kepala Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris, seperti dilansir TRT World. Kalah jumlah personel dan persenjataan, YPG dengan cepat kehilangan kendali atas kota itu.

Serangan militer Turki itu membuat pasukan Kurdi menghentikan semua operasi terhadap ISIS. “Tidak mungkin melaku-kan operasi apa pun saat Anda sedang diancam oleh pasukan besar tepat di perbatasan utara,” kata seorang pejabat Kurdi. Banyak personel SDF yang berada di Al-Hol, salah satu lokasi kamp tahanan ISIS, diperin-tahkan bergerak ke utara.

Merasa ditinggalkan Amerika Serikat, pasukan Kurdi mengumumkan kesepakat-an baru dengan pemerintah di Damaskus, musuh bebuyutan Washington yang didukung Rusia, Ahad, 14 Oktober lalu. Esok harinya, pasukan pemerintah Suriah dilaporkan bergerak ke utara menuju perbatasan untuk menghadapi pasukan Turki. Ini untuk pertama kalinya pasukan pemerintah turun ke daerah ini setelah berada di bawah kekuasaan pemerintah Kurdi.

Serangan Turki ke kota-kota di per-batasan dua negara itu membuat ribuan pendu-duknya mengungsi, umumnya ke daerah selatan. Salah satu yang ikut me-ngung-si adalah Zara, warga Qamishlo. Ia dan keluarganya memilih melarikan diri ke selatan, menuju Kota Hasakah. Zara me-ngungsi bersama ibu, kakak, istri, dan dua anaknya.

Di Hasakah, yang berjarak sekitar 81 kilometer dari Qamishlo, Zara bermukim sementara di rumah kerabatnya. Tapi menghindari perbatasan Suriah-Turki tak lantas membuat pria 30 tahun itu tenang. “Hasakah memang tak terlalu aman, tapi setidaknya jauh dari pertempuran,” ujarnya.

Pemberontak yang didukung militer Turki menyerang Yabisa, wilayah di perbatasan Turki dan Suriah, 13 Oktober 2019. REUTERS/Khalil Ashawi

Setelah mengungsi selama lima hari, Zara dan keluarganya memutuskan kembali ke rumah mereka di Qamishlo, Rabu, 16 Oktober lalu. Menurut dia, aktivitas di kota kelahirannya itu telah berangsur pulih meski beberapa hari sebelumnya menjadi salah satu target serangan udara militer Turki. “Situasi di sana mulai stabil,” tuturnya kepada Tempo.

Robin Fleming, peneliti dari Rojava Information Center, kelompok riset dan advokasi untuk wilayah Kurdi Suriah, menga-takan, pada Rabu, 16 Oktober lalu, tak ada lagi serangan udara Turki ke Qamishlo. “Serangan Turki telah memicu 300 ribu orang mengungsi dari kota-kota per-batasan, termasuk Qamishlo,” ucapnya kepada Tempo. Tapi banyak penduduk kota ini yang belum kembali.

Serangan Turki tidak hanya berdampak pada penduduk Kurdi di timur laut Suriah, daerah otonomi Kurdi Suriah yang disebut Rojava. Penjara Navkur dan Cerkin dekat Qamishlo, tempat pasukan Kurdi menahan ribuan milisi ISIS, telah beberapa kali menjadi sasaran serangan Turki. “Lima orang milisi ISIS kabur,” kata Fleming.

Pasukan Demokrat Suriah, yang didu-kung Amerika Serikat sampai awal Oktober lalu, mengalahkan ISIS yang meng-uasai daerah itu sebelumnya. Amerika mendeklarasikan diri telah meng-hancurkan ISIS Maret lalu. Ada lebih dari 70 ribu anggota ISIS di kamp-kamp yang tersebar di seluruh timur laut Suriah. Menurut The Intercept, setidaknya 10 ribu di antaranya digambarkan Departemen Pertahanan Amerika sebagai kombatan, termasuk sekitar 2.000 orang yang bukan warga Irak atau Suriah—800 di antaranya berasal dari negara-negara Eropa.

Kaburnya milisi ISIS dan kebangkitan kembali kelompok teror itu menjadi salah satu hal yang dikhawatirkan dari serangan Turki. Pemimpin Senat Amerika Serikat dari Partai Republik, Mitch McConnell, yang biasanya setia mendukung Donald Trump, kini mengkritiknya. Penarikan pasukan Amerika dari Suriah, menurut dia, akan mengundang kebangkitan ISIS.

ABDUN MANAN, MAHARDIKA SATRIA HADI (ANADOLU AGENCY, CNN, AL JAZEERA, REUTERS VOX)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus