INSIDEN Pulau Phuket pekan lalu ternyata menggoyahkan posisi PM Prem Tinsulanonda. Sejumlah pengamat menyimpulkan itu setelah melihat tindakan pemerintah Muangthai dalam menangani pembakaran pabrik pengilangan tantalum di Pulau Phuket itu. Sejumlah 51 orang yang diduga terlibat dalam kerusuhan itu ditangkap Senin pekan ini. Seorang calon anggota parlemen dari Partai Angkatan Baru (NFP), Rewuth Chindapol, dan saudaranya, Ronacha juga diciduk. Tak hanya itu. Gubernur Provinsi Phuket, Sanong Rodphothong, yang dianggap tak becus menangani kerusuhan itu, diganti oleh Kart Rakmanee. Sanong kini ditempatkan di posisi yang kurang menentukan di Irjen Departemen Dalam Negeri Muangthai. Sementara itu, pimpinan Radio Saluran 9 di Phuke Somwang Sukying, dipecat karena menyiarkan berita yang dianggap merugikan pemerintah Muangthai. Radio itu telah melakukan serangkaian wawancara yang berisi keluhan para penduduk Pulau Phuket, yang tak setuju dengan rencana pemerinta Muangthai untuk mendirikan pengilangan tantalum karena mengganggu lingkungan tempat tinggal mereka. Radio itu pun diang gap mendiskreditkan pemerintah dengan menyiarkan hasil wawancaranya dengan Charn dan Nanthana Wongtayanond, pemilik Hotel Merlin yang dirusakkan massa. Serangkaian tindakan itu tampaknya lebih menyulitkan kedudukan PM Prem menghadapi Pemilu 27 Juli 1986. Banyak yang berpendapat, insiden yang menimbulkan ke rugian US 45 juta itu, sebenarnya, tak perlu terjadi bila Prem memperhatikan petisi yang ditandatangani sekitar 70 ribu penduduk Phuket, yang menentang proyek tantalum terbesar di Asia itu awal Juni lalu. Namun, seperti biasa, Prem menjalankan metode klasik dengan bersikap "diam dan membiarkan waktu berlalu", sehingga terjadilah kerusuhan yang melibatkan 50.000 orang pekan lalu. Sikap diam kali ini gagal, karena sikap yang demikian dianggap sebagai sikap pemerintah yang tak mampu menguasai keadaan. "Pemerintah seharusnya menyatakan penyesalan. Bukan malah melakukan penangkapan seperti itu," ujar Mayjen Chatichai Choonhavan, Ketua Partai Chat Thai yang berhasil mengalahkan Prem dalam pemungutan suara di parlemen Mei lalu yang akhirnya menjatuhkan pemerintahan Prem. "Sebaiknya mereka mundur saja dari pemerintahan yang sekarang," tambahnya. Beberapa pejabat Provinsi Phuket pun menilai, tindakan penangkapan kali ini merupakan indikasi bahwa kewibawaan Prem sudah mulai pudar. Sementara itu, sebuah seminar yang diadakan Universitas Thammasat, Phuket, menyimpulkan kerusuhan Phuket karena masyarakat setempat dilanda frustrasi. "Mereka kecewa karena yang bakal mendapat keuntungan dari proyek tantalum itu orang luar. Tapi bila terjadi bencana, yang menderita masyarakat Phuket," ujar Dr. Montri Chenvidyakarn, salah seorang pembahas. Insiden Phuket jelas makin mengguncang posisi Prem. Tokoh yang menjadi Perdana Menteri Muangthai sejak Maret 1980 ini untuk kesekian kalinya terpukul. Dimulai dengan kudeta gagal pada September 1985. Disusul kemudian dengan permainan partai oposisi yang mengakibatkan Prem kehilangan dukungan mayoritas dl parlemen, awal Mei lalu. Dan yang paling memukul balik adalah tindakan Prem yang dinilai kelewatan dengan memecat Jenderal Arthit Kamlang-Ek pada akhir Mei lalu. Persaingan diam-diam antara kedua tokoh ini tampaknya makin tajam. Likhit Dhiravegin, seorang ahli politik Universitas Chulalongkorn di Bangkok, mengatakan, "Arthit masih tetap berambisi, tapi dia tunduk karena pemecatan itu direstui raja. Dia akan melanjutkan serangannya dalam pemilu mendatang." Dugaan ini tampaknya cukup beralasan. Arthit punya cukup dukungan. Dukungan masyarakat terbukti dari sebuah survei Kantor Statistik Nasional belum lama ini yang menyatakan, rakyat lebih cenderung memilih Arthit daripada Prem. Namun, di depan umum kedua tokoh kuat ini masih tetap menyatakan tidak bersedia mencalonkan diri menjadi perdana menteri. Keduanya tampak hati-hati mengambil langkah selanjutnya. Entah sampai kapan, karena pemilu hanya tinggal beberapa minggu lagi. Didi Prambadi, Laporan Yuli Ismartono (Bangkok) & kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini