UDARA gerah yang dibawa angin gurun telah menaikkan suhu Beijing, sampai 34 derajat Celsius di siang hari, sejak beberapa pekan ini. Rabu pekan lalu, di bawah udara kering seperti itu, pemerintah RRC melaksanakan eksekusi hukuman mati atas 31 orang pelaku tindak kriminal. Jumlah ini yang terbesar sejak Agustus 1983, ketika Deng Xiaoping mulai melancarkan perang kepada para pelaku tindakan kriminal. Hari belum terlalu siang ketika rakyat berkerumun di Stadion Ibu Kota -- tempat megah yang selama 20 tahun berdirinya menjadi ajang berbagai upacara tanda kejayaan Mao Zedong, Zhou Enlai, sampai Deng Xiaoping -- untuk menyaksikan peristiwa tersebut. Eksekusi itu berjalan singkat. Di sebuah pelataran, ke-31 terpidana mati yang sudah dibotakkan itu diperintahkan berlutut. Kepala mereka hanya bisa mengarah ke tanah. Lalu peluru segera menyambar tengkuk mereka. Para terpidana itu terbukti melakukan berbagai kejahatan: tujuh orang terlibat pembunuhan, 21 orang mencuri dan melakukan perampokan bersenjata, dan tiga orang lagi melakukan perkosaan. Sebagian besar berusia 19 sampai 31 tahun, tak punya pekerjaan tetap, dan sebagian lagi residivis. Di situ ada Yang Fucai, 22, seorang pekerja pabrik yang mencekik pacarnya untuk bisa menggaet perempuan lain. Lalu Zhang Xihong, pekerja perusahaan susu berusia 23 yang telah tega membunuh seorang petani. Sedangkan Zhu Di, 22, telah menggelapkan uang negara 5.160 yuan (sekitar Rp 2 juta) dan terlibat pencurian barang yang bernilai lebih dari 11.200 yuan. Sebelumnya, yang dieksekusi biasanya hanya 10 atau belasan orang. "Barangkali karena angka kriminalitas makin tinggi," kata sebuah sumber. Sumber resmi menyatakan, pada kuartal pertama 1985 angka itu naik 12,3 persen. Menteri Keamanan Umum Yuan Chongwu, dalam pembicaraannya dengan wartawan dua pekan lalu, mengakui, "Angka kriminalitas yang makin tinggi yang dilakukan anak-anak muda belakangan ini telah menjadi ancaman serius." Meski sejak 1983 pelaku kejahatan yang sudah dipidana mati ada 10 ribu orang, sebagian besar atas tuduhan terlibat pembunuhan dan perkosaan, angka kriminalitas ternyata tetap naik. Ini jelas membuat gundah Menteri Yuan Chongwu. Padahal, Desember lalu, dalam interviu khusus dengan Beijing Review, ia telah sesumbar, "Cina memiliki angka kriminalitas paling rendah di dunia. Pada 1984, misalnya, rasionya anjlok menjadi lima kasus untuk setiap 10 ribu orang." Atau, sepanjang 22 bulan sejak September 1983, persentasenya turun sampai 36,4, dibandingkan periode yang sama masa sebelumnya. Sejak paruh terakhir 1983, ada 2,2 juta kasus dilaporkan, dan ini menyebabkan lebih dari 150 ribu orang ditangkap. Dibanding jumlah warga RRC yang lebih dari 1 milyar jiwa, angka-angka itu sebetulnya tidak mencolok. Namun, seperti kata sumber TEMPO di lingkungan pemerintah RRC, "Kami tidak mau ambil risiko. Maka, hukuman mati seperti yang belakangan kami lakukan adalah salah satu pilihan." Risiko yang dihadapi pemerintah jika tidak berlaku keras bukan sekadar keamanan yang terganggu, tapi karena kasus-kasus tindak kriminal selalu dipakai kelompok pengkritik Deng Xiaoping untuk menyerang kebijaksanaan pintu terbuka yang digencarkannya. Menurut lawan Deng, tindak kriminal itu adalah bagian dari pengaruh asing yang menyusup bersama kapitalisme mereka. Sidang ke-19 Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional 10 Juni 1981 lebih memudahkan pelaksanaan hukuman mati. Ketentuan hukuman mati harus diputuskan Mahkamah Agung tak diberlakukan lagi. Sejak 1981 itu, pengadilan tinggi di provinsi, di daerah otonomi, dan kota praja di bawah kontrol pemerintah pusat berhak menjatuhkan hukuman mati, bagi kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, dan perkosaan. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini