Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMPURAN kata-kata antara Iran dan Israel, yang memanas belakangan ini, diramalkan bertahan paling lama tiga bulan lagi. Jika kompromi tak tercapai sampai akhir Maret 2006, boom…! Udara Timur Tengah akan kembali bersaput mesiu. Sebuah skenario film Hollywood? Bukan! Janji itu diucapkan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, yang memerintahkan Tentara Pendudukan Israel (IOF) agar mempersiapkan penyerangan terhadap reaktor-reaktor nuklir Iran pada akhir Maret 2006. ”Jika sampai saat itu (akhir Maret) komunitas internasional tak bisa membawa isu nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB, tak ada pilihan lain,” kata Kepala Intelijen Militer Israel, Aharon Zeevi Farka, di depan parlemen Israel, Knesset, pada pekan lalu.
Jika diaminkan Knesset, salah satu ujung tombak serangan adalah pesawat jet F-15 yang mampu terbang Tel Aviv-Teheran-Tel Aviv tanpa perlu mengisi bahan bakar. ”Jika Israel ingin melancarkan sebuah serangan militer, harus dipastikan 100 persen berhasil seperti saat kami melumpuhkan Angkatan Udara Mesir hanya dalam tiga jam pada Juni 1967,” ujar seorang petinggi militer yang tak disebutkan namanya kepada koran Yehudiat Aharonot.
Ancaman itu boleh jadi bukan gertak sambal. Mereka pernah melakukannya terhadap Irak pada tahun 1981. Saat itu reaktor nuklir berkekuatan 40 megawatt di Osirak menjadi target sasaran. Operasi penghancuran itu melibatkan intelijen Prancis, negeri yang ikut membantu pembangunan reaktor. Kali ini perang mudah dipantik oleh kegeraman Sharon yang sudah berlipat ganda terhadap Iran. Tenggat akhir Maret 2006 itu sejatinya juga menunggu pemilu di Israel yang akan dilangsungkan pada 28 Maret. Sharon masih berharap terpilih lagi menjadi perdana menteri—kali ini dengan Partai Kadima. Ini partai baru yang ia dirikan beberapa waktu lalu setelah Sharon meninggalkan Likud.
Pemantik kejengkelan Sharon adalah ucapan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad yang terus-menerus membikin gerah Israel. Oktober lalu, Ahmadinejad menyerukan agar Israel dihapuskan dari peta dunia. Pekan lalu, dia mengeluarkan pernyataan yang belum pernah keluar dari pemimpin Iran mana pun, tak juga dari pemimpin spiritual tertinggi Ayatollah Khomeini.
Dalam pidato televisinya, Ahmadinejad menyarankan agar Jerman dan Austria memberikan sepotong wilayah mereka untuk negara Israel, sebagai kompensasi dari pembantaian kaum Yahudi yang marak terjadi di kedua negeri itu pada Perang Dunia II. ”Jika kalian (Eropa) melakukan kejahatan besar itu (terhadap Israel), mengapa sekarang justru Palestina yang harus menderita?” ujar Ahmadinejad. ”Inilah usulan kami, berikan tanahmu di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, atau Alaska agar Israel bisa mendirikan negara sendiri di sana.”
Usul unik ini langsung ditepis Kanselir Austria Wolfgang Schluessel dengan menyatakan ucapan Ahmadinejad itu sebagai ”ucapan kasar yang ingin saya tolak setegas mungkin”. Kanselir Jerman Angela Merkel, yang sedang bertemu dengan Presiden Prancis Jacques Chirac, juga mengecam pernyataan Ahmadinejad.
Senada dengan Bu Merkel, Menteri Luar Negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeier, mengomentari seruan Ahmadinejad itu ”mengejutkan dan tak dapat diterima” serta bisa mempengaruhi hasil perundingan kedua negara tentang program nuklir Iran. Para pejabat kedua negara dijadwalkan bertemu pada Rabu pekan ini. Sebelumnya, perundingan antara Iran dan tiga negeri Uni Eropa—Jerman, Prancis, dan Inggris—menemui jalan buntu setelah Iran tetap berkukuh memproduksi nuklir.
Semua komentar pedas dan amarah itu tak membikin Ahmadinejad bungkam. Dalam kesempatan selanjutnya, dia malah mengirimkan ucapan yang membuat rakyat Israel meraung. ”Holocaust adalah mitos belaka,” ujarnya dalam sebuah pidato di depan ribuan masyarakat di Kota Zaherdan, sebelah tenggara Teheran. Sebagaimana kita ketahui, holocaust adalah pemusnahan jutaan orang Yahudi di Jerman oleh Nazi di bawah pimpinan Adolf Hitler selama Perang Dunia II.
Kendati berbagai ucapan Ahmadinejad selalu ditujukan kepada Israel, Amerika Serikat menampik pendapat yang menyebutkan sedang terjadi konflik bilateral Iran-Israel. Stephen Rademaker, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Bidang Pengawasan Senjata, dalam kunjungannya ke Jakarta dua pekan silam menyatakan, ”Ini bukan konflik antara Iran dan Israel, melainkan antara Iran dan komunitas internasional,” katanya kepada Tempo (lihat wawancara Stephen Rademaker, Kami Tak Percaya Iran Mau Damai).
Keberanian Ahmadinejad agaknya bukan tanpa kalkulasi. Iran dikabarkan akan membeli 29 sistem pertahanan udara yang bisa berpindah dengan nilai kontrak lebih dari US$ 700 juta (sekitar Rp 7 triliun) dari Rusia dalam waktu dekat. Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Ivanov, mengatakan kontrak untuk mengirimkan peluru kendali (rudal) TOR-M1 sudah ditandatangani negerinya dengan Iran. ”Kesepakatan ini akan berakibat pada keseimbangan persenjataan di wilayah ini,” ujar Ivanov.
Penjualan alat-alat persenjataan seperti dilakukan Moskow terhadap Teheran sejatinya tak melanggar kesepakatan damai apa pun. Namun, fakta ini membuat Amerika Serikat dan Israel gusar. Pada awal 2005, Moskow menuai kritik dari kedua negara karena negeri itu menjual sejumlah peluru kendali kepada Suriah. Tapi Rusia tak surut selangkah pun. Proses penjualan ternyata berlangsung mulus.
Dengan sejumlah rudal baru di tangan dan reaktor nuklir yang masih beroperasi, rasanya sulit memadamkan api dari lidah Ahmadinejad. Padahal, banyak yang khawatir, api itu bisa memicu genderang perang dari Tel Aviv.
Akmal Nasery Basral (BBC, Aljazeera, The Sunday Times, Yehudiat Aharonot)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo