Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sindhunata
Sarip arek Tambak Yoso Susahe urip ndhek Suroboyo Wong cilik ngirit tetep soro Wong sugih keceret ngobral bondho. Ngono-ngono iku salahe sopo. Wong sugih nggilap montore Nek wong tani nggilap gegere.
Sarip anak Tambak Yoso Susahnya hidup di Surabaya Rakyat kecil menghemat tetap sengsara Orang kaya mencret mengobral harta. Itu semua salahnya siapa. Orang kaya mengkilat mobilnya Orang tani mengkilat punggungnya.
Sarip Tambak Yoso adalah lakon yang khas ludruk. Tambak Yoso itu sebuah desa, dekat Desa Gedangan, Sidoarjo. Karena dilahirkan di desa tersebut, Sarip disebut Sarip Tambak Yoso. Ayahnya mati ketika Sarip masih kecil. Ia hidup dengan ibunya, Mbok Sarip, yang miskin. Satu-satunya warisan ayahnya adalah sebidang tambak yang masih harus dibagi dengan Riduwan, pamannya, yang bekerja sebagai perangkat desa. Karena miskin, Mbok Sarip kerap berutang pada Riduwan. Pada suatu saat tiba-tiba Riduwan mengklaim tambak warisan ayah Sarip.
Sarip tidak bisa menerima. Bersekongkol dengan gupermen (penguasa Belanda), Riduwan berusaha meniadakan Sarip. Persekongkolan ini melibatkan banyak perangkat desa lainnya karena mereka merasa resah atas kelakuan Sarip, yang dianggap mengacau desa.
Sarip pun menjadi buron. Karena rindu, Sarip diam-diam mengunjungi ibunya. Musuh-musuhnya mengetahui hal itu. Ia ditembak dan jatuh tersungkur. Tapi saat itu ibunya berteriak, ”Sarip, durung wayahmu, Tjung (Sarip, belum waktumu mati, Nak)!” Dan karena teriakan sang ibu, Sarip pun hidup kembali.
Gupermen di bawah komando Mantri Pulisi Jatmiko bersama perangkat desa menyiksa Mbok Sarip agar ia membuka rahasia bagaimana Sarip bisa dimatikan. Karena disiksa habisan-habisan, Mbok Sarip mengaku, Sarip akan mati jika ia ditembak dengan peluru yang dicelupkan ke dalam minyak babi.
Sarip lalu dipancing ke rumah Mualip, kakaknya, yang tidak pernah memihak dia. Di rumah Mualip ini, ibunya dititipkan. Begitu Sarip masuk, ia diberondong peluru berlumaskan minyak babi. ”Sarip, durung wayahmu, Tjung!” teriakan Mbok Sarip mengenaskan. Tapi teriakan itu sudah tak dapat menghidupkan Sarip lagi.
Tak ada ludruk tanpa Sarip Tambak Yoso. Artinya: ”Tak ada ludruk tanpa protes orang kecil.” Lakon rakyat protes itulah yang menjadi isi lakon Pak Sakerah, atau Selor Lancuran Mergosono, atau Topeng Kembar. Jauh sebelum pilkada atau pilkades dengan money politics-nya, Marjoko, anak kamituwo Sarkawi, sudah main politik uang untuk njago lurah dalam lakon Topeng Kembar yang populer di Kabupaten Malang itu.
Mau tahu bagaimana para begundal, tim sukses Marjoko, mengusulkan supaya money politics mereka sukses dan efektif: ”Uang itu digambari foto Marjoko, dibungkus plastik, kemudian dihanyutkan di kali supaya yang menemukannya tahu uang itu dari Marjoko.” Atau, ada usul lain: Seseorang memanjat pohon kelapa sambil membawa uang bergambar Marjoko, tunggu sampai angin besar bertiup, lalu taburkanlah uang itu supaya di bawah orang berebut dan tahu uang itu dari Marjoko.
Ayah Marjoko, bandot tua Sarkawi, sendiri terus mengancam, jika maksud anaknya, Marjoko, tidak kesampaian, ia akan terus mengganggu ketenteraman desa dengan mendatangkan ”gerimis maling” dan ”hujan rampok”. Ungkapan ini adalah paralelisme lagu jula-juli khas ludruk: ”udhan linggis, gerimis pecok”.
Realitas ludruk adalah realitas rakyat, yang kaya dengan kosakata kritik, yang kenyang dengan penderitaan dan penindasan, yang panas dengan protes tak tertahankan. Dalam Sarip Tambak Yoso, realitas nyata itu begitu berdempetan dengan garapan lakon. Kata Mantri Jatmiko, yang memarahi Lurah Tambak Yoso, ”Kalau Sarip dibiarkan, bisa terjadi lagi peristiwa Kyai Kasan Mukmin, yang menewaskan demikian banyak rakyat kecil.”
Pemberontakan Kyai Kasan Mukmin bukanlah cerita rekaan. Pemberontakan itu real, terjadi di Desa Gedangan, Kecamatan Krian, Sidoarjo, tahun 1904. Pemberontakan itu adalah realitas yang melatarbelakangi lakon Sarip. Mengangkat realitas protes ke dalam panggung, itulah yang dikerjakan ludruk.
Tak ada ludruk tanpa Sarip: tak ada ludruk tanpa protes. Kalau perlahan-lahan ludruk pudar, jangan-jangan ludruk membunuh sendiri jiwa dan hatinya. Ibarat ban, ia kempes karena tak diembusi lagi dengan angin protes. Memang sekarang ludruk ikut-ikutan kenes: jadi seperti sinetron. Atau tiru-tiru ketoprak humor: lakonnya hanya fantasi di awang-awang, penuh gebyar dan ilusi.
Busananya bukan sederhana seperti rakyat, seperti Sarip, seperti Pak Sakerah, melainkan busana-busana glamor dan mewah, entah namanya Mesiran, Kratonan, atau apalah namanya. Bahasanya pun bukan bahasa Jawa Timur yang ngoko, krama kasar, dan egaliter, melainkan bahasa Jawa Tengah-an yang cenderung halus, penuh santun, dan hierarkis. Pemakaian bahasa dan glamor busana ini sudah menjadi halangan bagi ludruk untuk mengungkapkan protes dan mengetengahkan realitas rakyat kecil.
Ludruk adalah teater rakyat. Kata dramawan dan penyair terkenal, Federico García Lorca, teater tidak perlu dibedakan antara yang lama (tua) dan yang baru (muda), tapi antara yang baik dan yang jelek. Teater yang lama atau tua pun tetap relevan, asal ia tampil dengan baik. Teater, lebih-lebih yang berinspirasikan rakyat, harus terus berjalan, dari romantisme, menuju naturalisme, dan kemudian menuju modernisme, menuju teater yang hidup dan terus hidup. Teater akan bertahan sebagai teater, asal ia mampu menyerap irama zamannya, emosi, duka dan rasa sakit, perjuangan dan drama zamannya.
Jadi, menurut Lorca, teater harus bisa menggarap drama kehidupan di zamannya sekarang. ”Teater yang mengenyangkan dirinya dengan fantasi bukanlah teater,” kata Lorca. Dalam bahasa kita, ”Teater yang hanya bekerja dengan fantasi itu adalah klangenan.”
Klangenan pasti akan mati karena membosankan. Atau ia sekadar hidup-hidupan. Itulah yang dialami ludruk sekarang. Sebab, meminjam bahasa Lorca, ludruk tak menyerap lagi irama, emosi, duka dan rasa sakit rakyat zaman sekarang. Atau dalam bahasa ludruk, ludruk pudar karena ia melupakan spirit protes rakyat, spirit Sarip Tambak Yoso.
Waktu Sarip pamit mati, ia sesumbar: Sarip mati, tapi seribu Sarip akan hidup di negara ini. Roh Sarip seharusnya tetap menjiwai ludruk. Artinya, ludruk tak harus kembali kepada materi lama, tapi kepada penderitaan dan protes wong cilik zaman ini. Sayang, sekarang, bukan itu yang dibuat. Ludruk malah ikut menghaluskan diri, menghilangkan ke-jawatimur-annya yang kasar tapi lugas dan blak-blakan, lalu menyembunyikan diri dalam bahasa alusan, yang feodal, seperti ketoprakan.
Sesungguhnya, tanggung jawab terhadap pudarnya ludruk itu bukan hanya terletak pada pundak seniman ludruk sendiri. Itu juga harus menjadi tanggung jawab para seniman modern yang ada di Surabaya, Malang, dan sekitarnya. Mereka tak mau membenamkan diri dalam tradisi teater rakyat bernama ludruk. Malas berefleksi tentang kedalamannya. Dan tidak mengasah nilai protesnya. Para seniman ludruk, yang umumnya datang dari kalangan bawah tak berpendidikan, tentu tak mampu menyangga tugas itu sendiri. Mereka membutuhkan seniman-seniman modern untuk melanjutkan keprihatinan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo