Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pria Bersuara Datar <font color=#CC0000>di Pucuk Jepang</font>

Partai Demokratik Jepang menang telak dalam pemilu. Publik masih meragukan kemampuan Yukio Hatoyama sebagai perdana menteri baru.

7 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gambar kartun itu terpampang di situs Internet Partai Liberal Demokrat (LDP) menjelang pemilihan umum Jepang pada Minggu dua pekan lalu. Isinya percakapan antara seorang pria muda perlente dan kekasihnya di meja makan. Sang pria dikesankan mirip Yukio Hatoyama, Ketua Partai Demokratik Jepang (DPJ), lawan politik Partai Liberal.

”Aku akan membuatmu bahagia jika kamu memilihku,” ujar pria itu. ”Aku akan membayar kesehatan anak, pendidikan, pensiunmu di hari tua.”

”Bagaimana kau bisa membayar itu semua?” tanya perempuan itu. ”Akan kupikirkan jika kita sudah menikah,” jawab sang pria.

Kartun itu jelas mengirim pesan bahwa Hatoyama tak bisa dipercaya menjalankan negara. Ia tak pantas dipilih. Partai Liberal yang telah lebih dari setengah abad memimpin Jepang jauh lebih berpengalaman.

Apa jawab rakyat Jepang terhadap kampanye lewat kartun itu? Mereka justru memilih pria ”tak bisa dipercaya” tersebut dalam pemilu lalu. Hatoyama, yang disebut media Jepang sebagai ”pria bersuara datar dengan sorot mata tajam”, tak sekadar menang, tapi menaklukkan partai yang berkuasa sejak 1955 secara telak.

Partai oposisi yang ia pimpin merebut 308 kursi di majelis rendah. Partai incumbent, Partai Liberal, hanya mendapat 119 kursi. Akibat kekalahan ini, Perdana Menteri Taro Aso langsung menyatakan mundur sebagai Ketua Umum Partai Liberal. ”Ini ’revolusi’,” kata Hatoyama. ”Hari untuk mengubah sejarah Jepang telah datang.”

Pemilih rupanya tak cuma gerah atas ketakbecusan Taro Aso mengatasi krisis, tapi merindukan apa yang telah dijanjikan Hatoyama: mengembalikan uang pajak yang telah mereka keluarkan tidak dengan proyek infrastruktur. Hatoyama memilih mengembalikan dengan memberi tunjangan pada keluarga yang memiliki anak, meningkatkan subsidi pelayanan kesehatan, menekan angka pengangguran, dan menekan pajak pendapatan.

”Yang menjadi perbedaan mendasar adalah Partai Liberal membelanjakan anggaran pemerintah untuk pembangunan proyek publik dan infrastruktur, sedangkan Demokratik lebih mengutamakan kesejahteraan keluarga dan pendidikan. Itu yang dibutuhkan Jepang saat ini,” kata Martin Schulz, ekonom senior di Fujitsu Research Institute.

Politik adalah jalan hidup Hatoyama, 62 tahun. Keluarganya bahkan dijuluki ”Kennedy Jepang”. Kakek buyutnya adalah juru bicara dewan rakyat pada zaman Meiji. Kakeknya pendiri Partai Liberal Demokrat dan menjadi perdana menteri pada 1950-an. Ayahnya menjabat menteri luar negeri pada era 1970.

Meski darah politik mengalir deras dalam tubuh Hatoyama, ia sempat berpikir untuk tidak terjun ke ”bisnis keluarga” itu. Setelah lulus dari Universitas Tokyo, ia mengambil gelar doktor di Universitas Stanford dan siap meniti karier sebagai peneliti. Namun di Amerika Serikat itulah pandangan politiknya justru terbuka.

Pada 1976, Hatoyama menyaksikan langsung pergantian pemerintahan dari Partai Republik ke Partai Demokrat, dari Gerald Ford kepada Jimmy Carter sebagai Presiden Amerika Serikat. Bagi Hatoyama, yang kala itu berusia 29 tahun, peristiwa tersebut membekas sangat dalam. Peralihan kekuasaan dari satu partai ke partai lain seperti di Amerika itu tak pernah terjadi di Jepang. Partai kakeknya, Liberal Demokrat, terus berkuasa sejak 1955 meski diterpa berbagai skandal keuangan.

Termotivasi untuk mengubah peta politik di Jepang dan menerapkan sistem dwipartai, Hatoyama akhirnya memutuskan kembali ke Tokyo setelah menikahi Miyuki dan menekuni ”bisnis keluarga”. Pada 1993, setelah tujuh tahun menjadi anggota parlemen, Hato yama mengambil sikap mengejutkan bagi dunia politik Jepang: keluar dari Partai Liberal Demokrat dan membentuk partai baru.

Langkah Hatoyama itu dianggap terobosan luar biasa dan sesuatu yang baru di Jepang. Umumnya, seorang berpendidikan tinggi dan pernah menjadi anggota parlemen hanya tinggal menunggu giliran untuk menempati posisi tertinggi di partai sebelum diangkat menjadi perdana menteri.

Bersama koleganya, Hatoyama membentuk Partai Sakigake Baru. Partai ini menjadi bagian dari koalisi reformasi yang mengalahkan Partai Liberal Demokrat dalam pemilu 1993. Hatoyama dipercaya menjabat sekretaris kabinet di bawah Perdana Menteri Morihiro Hosokawa. Namun skandal keuangan membuat partai koalisi jatuh dan Partai Liberal kembali memerintah setelah 11 bulan kehilangan kekuasaan.

Kandas menghadapi kekuatan Partai Liberal, Hatoyama mencoba kembali menyusun kekuatan di Partai Demokratik Jepang pada 1999. Pada awal tahun ini ia dipercaya memimpin partai itu, menggantikan Ichiro Ozawa, yang terlibat skandal keuangan.

Simpati publik cepat ia raih. Berbagai janji yang mengusung pembaruan dan ekonomi kerakyatan mendapat tempat di hati warga Jepang. Ia datang pada waktu yang tepat saat perekonomian Jepang sedang ambruk akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Kepercayaan masyarakat kepada partai berkuasa pun mulai luntur akibat angka pengangguran yang mencapai titik tertinggi dalam sejarah: 5,7 persen.

Selain masalah ekonomi, Jepang dihadapkan pada masalah kependuduk an. Populasi terus berkurang akibat jumlah usia lanjut jauh lebih banyak dibanding usia muda. Saat ini penduduk Jepang berjumlah sekitar 127 juta jiwa, diperkirakan dalam waktu 30 tahun ke depan akan di bawah 100 juta. Untuk itu, Hatoyama berjanji akan memberikan tunjangan khusus bagi pasangan yang memiliki anak US$ 3.000 per tahun per anak.

Meski begitu, tak sedikit yang meragukan Hatoyama bakal mampu membawa Jepang keluar dari krisis ekonomi. Jajak pendapat harian terkemuka Asahi Shimbun terhadap 1.104 responden pekan lalu menyebut hanya 32 persen yang percaya pemerintah Hatoyama bakal sukses. Adapun 46 persen res ponden meragukan Jepang bakal lebih baik di tangan Partai Demokratik.

”Kenyataannya adalah pemilu kali ini merupakan kekalahan telak yang dialami Partai Liberal Demokrat, bukan sebuah kemenangan besar bagi Partai Demokratik Jepang,” ucap Shigeru Ishiba, anggota senior Partai Liberal, yang juga menjabat menteri pertanian di bawah Perdana Menteri Taro Aso.

Partai Demokratik terdiri atas orang-orang yang kurang berpengalaman di pemerintahan. Mereka kebanyakan merupakan aktivis sayap kiri dan yang hengkang dari Partai Liberal. Hanya segelintir yang memiliki kecakapan berpolitik. ”Saya merasa kurang nyaman dengan partai pemenang,” ucap Shuji Ueki, 65 tahun.

Saat dilantik sebagai Perdana Menteri Jepang pada 16 September mendatang, Hatoyama harus langsung membuktikan bahwa mereka mampu memegang roda pemerintahan. Ia tak hanya dihadapkan pada persoalan ekonomi, tapi ada masalah yang tak kalah serius: birokrasi, yang sudah sangat mengakar di berbagai sendi roda pemerintahan.

Sebagai penulis buku Kami Menolak Pemimpin Birokrat pada 1997, Hatoyama tampaknya akan langsung mengikis sistem birokrasi yang dianggapnya telah menggerogoti perekonomian Jepang. Praktek amakudari, menaruh birokrat di perusahaan yang pernah dibinanya, pasti segera berakhir. Ia berjanji, apa yang disebutnya ”kolusi segi tiga besi” antara birokrat, politikus, dan pebisnis harus diakhiri.

Dengan memangkas birokrasi, Hatoyama berharap dapat menyelamatkan ”pengeluaran siluman” US$ 97,8 miliar per tahun. Dana tersebut akan ia gunakan untuk mensubsidi keluarga yang memiliki anak, mengurangi angka pengangguran, sekolah gratis, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan petani.

Politik luar negeri juga akan mendapat porsi cukup besar dalam pemerintah Hatoyama. Sebelum pemilu, ia menyatakan bahwa Jepang akan lebih banyak berfokus pada wilayah Asia. Secara pribadi, ia memiliki ketertarikan khusus pada Rusia setelah pada 1951 kakeknya berhasil memperbaiki hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Implikasinya akan ada pembicaraan baru soal Pulau Kuril, yang dalam setengah abad terakhir diklaim oleh kedua negara.

Di bawah Hatoyama, hubungan Jepang dengan Cina dan Korea Selatan bisa menjadi lebih baik. Setidaknya hal ini sudah mulai terasa ketika untuk pertama kalinya media Cina meliput pemilu Jepang secara besar-besaran. Sebuah stasiun televisi Cina bahkan menyiarkan secara langsung hasil pemilu dan mewawancarai anggota majelis terpilih. Adapun harian Partai Komunis Rakyat menjadikan pemilu Jepang sebagai berita utama mereka.

Dengan Washington, Hatoyama berjanji akan tetap mempertahankan hubungan baik. Bahkan sehari setelah dipastikan memenangi pemilu, ia langsung menelepon Presiden Barack Obama.

Di bawah pemerintahan Partai Liberal, Amerika menempatkan 50 ribu anggota pasukannya di Jepang. Hatoyama sempat mengkritik kebijakan tersebut dan memicu kekhawatiran bakal memburuknya hubungan Tokyo dan Wa shington. Namun ia langsung membantah dirinya anti-Amerika. ”Saya katakan kepada Obama bahwa kami akan menjalin hubungan lebih baik melalui kerja sama yang saling meng untungkan,” ucap Hatoyama.

Firman Atmakusuma (BBC, Reuters, Telegraph, Kyodo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus