Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Pria Jepang Ini Raup Rp1 Juta per Jam Tanpa Melakukan Apa-apa

Pria Jepang ini memiliki pekerjaan yang barangkali jadi impian sebagian besar orang: dibayar untuk tidak melakukan apa-apa.

6 September 2022 | 13.00 WIB

Shoji Morimoto  menemani klien dan hanya sebagai pendamping, menggunakan ponsel saat bertemu kliennya Aruna Chida di sebuah kafe di Tokyo, Jepang 31 Agustus 2022. REUTERS/Kim Kyung-Hoon
Perbesar
Shoji Morimoto menemani klien dan hanya sebagai pendamping, menggunakan ponsel saat bertemu kliennya Aruna Chida di sebuah kafe di Tokyo, Jepang 31 Agustus 2022. REUTERS/Kim Kyung-Hoon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pria Jepang ini memiliki pekerjaan yang barangkali jadi impian sebagian besar orang: dibayar untuk tidak melakukan apa-apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Shoji Morimoto, warga Tokyo berusia 38 tahun, mengenakan biaya 10.000 yen (Rp1 juta lebih) per jam untuk menemani klien dan hanya menjadi pendamping.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pada dasarnya, saya menyewakan diri saya sendiri. Pekerjaan saya adalah berada di mana pun klien saya menginginkan saya dan tidak melakukan apa pun secara khusus," kata Morimoto kepada Reuters, Senin, 5 September 2022, dan menambahkan bahwa dia telah menangani sekitar 4.000 sesi dalam empat tahun terakhir.

Dengan tubuh kurus dan penampilan rata-rata, Morimoto sekarang memiliki hampir seperempat juta pengikut di Twitter, tempat ia menemukan sebagian besar kliennya. Kira-kira seperempat dari mereka adalah pelanggan tetap, termasuk ada yang telah mempekerjakannya 270 kali.

Pekerjaan ini membawanya ke taman dengan seseorang yang ingin bermain jungkat-jungkit. Dia juga berseri-seri dan melambai melalui jendela kereta api pada orang asing yang menginginkan pengiriman.

Tidak melakukan apapun bukan berarti Morimoto bisa melakukan apa saja. Dia pernah menolak tawaran untuk memindahkan lemari es dan pergi ke Kamboja, dan tidak menerima permintaan apapun yang bersifat seksual.

Pekan lalu, Morimoto duduk di seberang Aruna Chida, seorang analis data berusia 27 tahun yang mengenakan sari, mengobrol ringan sambil minum teh dan kue.

Chida ingin mengenakan pakaian India di depan umum tetapi khawatir itu akan mempermalukan teman-temannya. Jadi dia berpaling ke Morimoto untuk persahabatan.
 
"Dengan teman-teman saya, saya merasa harus menghibur mereka, tetapi dengan tukang sewaan (Morimoto) saya tidak merasa perlu untuk mengobrol," katanya.

Sebelum Morimoto menemukan panggilan sejatinya, dia bekerja di sebuah perusahaan penerbitan dan sering dicaci karena "tidak melakukan apa-apa".

"Saya mulai bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika saya memberikan kemampuan saya untuk 'tidak melakukan apa-apa' sebagai layanan kepada klien," katanya.

Bisnis pertemanan sekarang menjadi satu-satunya sumber pendapatan Morimoto, yang bisa menghidupi istri dan anaknya. Meskipun dia menolak untuk mengungkapkan berapa banyak yang dia hasilkan, dia mengaku mendapat  satu atau dua klien sehari. Sebelum pandemi, jumlah itu baru bisa dicapai dalam tiga atau empat hari.

Saat ia menghabiskan hari Rabu tanpa melakukan apa-apa di Tokyo, Morimoto merenungkan sifat aneh pekerjaannya dan tampaknya mempertanyakan masyarakat yang menghargai produktivitas dan mencemooh ketidakbergunaan.

"Orang cenderung berpikir bahwa 'tidak melakukan apa-apa' saya itu berharga karena berguna (bagi orang lain) ... Tapi tidak apa-apa untuk benar-benar tidak melakukan apa-apa. Orang tidak harus berguna dengan cara tertentu," kata Morimoto.

Reuters

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus