Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berita Tempo Plus

Pulang kampung dengan kartu biru

Dengan bantuan unhcr ribuan pengungsi kamboja akan dikembalikan. banyak yang memilih lokasi dekat perbatasan muangthai. khawatir ada konflik baru dengan penduduk setempat.

11 April 1992 | 00.00 WIB

Pulang kampung dengan kartu biru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
"SELAMAT datang, rakyatku. Aku sambut niat kembali ke tanah air. Integrasi nasional sangat diperlukan bagi pembangunan tanah air Kamboja," kata Pangeran Norodom Sihanouk dalam pidato sambutan selamat datang di hadapan 600 warga Kamboja yang baru dikembalikan dari kamp pengungsian di Site 2, wilayah Muangthai. Disaksikan para pejabat Dewan Agung Nasional dan diplomat asing, Sihanouk menyempatkan diri bersalaman dan menegur para pengungsi yang duduk di balik tendatenda penampungan. Upacara singkat yang berlangsung di Sisophon, Kamboja, Senin pekan lalu itu menandai dimulainya gelombang pertama repatriasi lebih dari 300 ribu warga Kamboja yang sudah lebih dari 10 tahun mengungsi di Muangthai. Barangkali, inilah proyek pengembalian pengungsi paling besar selama ini, sejak 1947 -- ketika Pakistan memisahkan diri dari India, dan puluhan ribu orang terpaksa dipulangkan. Proyek kemanusiaan yang dilaksanakan Badan Pengungsi PBB UNHCR ini memang akan makan biaya US$ 116 juta lebih. "Mudah-mudahan, sebelum akhir tahun, semua pengungsi bisa kembali ke tempat huniannya," tutur Jahansah Asadi, Ketua Program Repatriasi di kamp pengungsian Site 8, wilayah Muangthai. Untuk mengejar target itu, mulai pekan depan, setiap minggu sekitar 10.000 pengungsi akan dikirim kembali ke enam lokasi di Kamboja, yang kini buru-buru dipersiapkan menjelang musim hujan Juni mendatang. Target akhir tahun cukup penting, mengingat pada Mei tahun depan mereka, selaku warga Kamboja, akan dilibatkan dalam pemilu yang pertama kali diadakan di bawah pengawasan PBB. Tapi yang membuat para pengungsi itu senang tentu bukan cuma bakal ikut pemilu. Bertemu kembali dengan keluarga yang ditinggalkan bertahun-tahun menjadi tujuan mereka yang paling utama. "Saya rindu pada orangtua, karena sudah lama tak bertemu," tutur Van Ven, 33 tahun, petani Battambang yang sejak 1984 mengungsi ke perbatasan Muangthai karena takut terkena wajib militer di Kamboja. Dengan bangga ia menunjukkan kartu PBB warna biru, surat izin kembali ke negerinya. "Saya yakin, kehidupan baru menyongsong kami di sini," sambungnya sambil melirik istri dan ketiga anaknya. Harapan Van Ven cukup beralasan. Sebab, selama satu setengah tahun mendatang, ia dan juga setiap keluarga pengungsi mendapat ransum beras, kacang-kacangan, dan susu kaleng secara gratis. "Agar mereka tak pusingpusing cari makanan," tutur Asadi. Setiap kepala keluarga diberi alat pertanian dan bahan rumah jadi dari kayu. Tak seperti lokasi lama mereka yang terbuat dari bambu beratap rumbia. Sementara itu, di tempat tinggal yang baru, kesehatan mereka tak terlepas dari pengawasan pejabat Palang Merah Internasional yang akan memantau selama setahun lebih. Bekal yang juga tak kalah pentingnya adalah sebidang tanah. Berdasarkan rencana perdamaian PBB, setiap keluarga pengungsi -- jumlah totalnya 87.000 kk -- akan diberi hak menggarap tanah seluas dua hektare. Setelah mereka menggarap selama dua tahun, tanah itu secara otomatis menjadi miliknya. Untuk itu, PBB telah merencanakan menyediakan tanah seluas 240 ribu ha untuk menampung ratusan ribu pengungsi itu. Sayangnya, tanah yang terletak di Battambang, Banteay Meanchey, Pursat, dan Siem Reap (lihat peta) tak semua layak tinggal, karena belum bebas sepenuhnya dari ranjau darat yang ditanam para gerilyawan dan pasukan pemerintahan PM Hun Sen. Batalyon II Pasukan PBB -- terdiri dari 145 orang -- yang bertugas membersihkan ranjau darat itu, menurut komandannya Kolonel Sommart Prangsawan, tak sanggup menyediakan lahan pemukiman dalam waktu singkat, karena kekurangan peralatan pembersih ranjau. Di samping itu juga kekurangan bahan bakar minyak, terbatasnya alat komunikasi dan sarana lainnya. Karena itulah, hingga kini PBB baru bisa menyediakan tanah bagi 5.000 kk saja. Selebihnya? "Kami tetap mencari tanah tak bertuan, dan kami yakin akan segera terpenuhi," ujar Asadi. Sementara itu, tak semua pengungsi bersedia ditempatkan di tempat yang disediakan. Lebih dari separuh pengungsi yang jumlahnya lebih 300.000 itu memilih ditempatkan di Battambang. Sedangkan sebagian besar lainnya memilih lokasi di perbatasan Muangthai. Battambang menjadi pilihan utama mereka karena selain terkenal sebagai gudang padi Kamboja, letaknya tak jauh dari perbatasan Muangthai. Bila terjadi sesuatu di belakang hari, para pengungsi gampang melarikan diri masuk wilayah Muangthai. "Mereka tak yakin perdamaian akan berlangsung lama. Banyak pula yang meragukan maksud baik kelompok Khmer Merah," tutur Asadi. Selain juga masih khawatir dengan tindak kejahatan yang dilakukan para bandit bekas tentara dan gerilyawan yang kini banyak menganggur. Daerah perbatasan dengan Muangthai memang merupakan pilihan empuk bagi para pengungsi. Maklum, di sana mereka dapat menangguk keuntungan dengan berdagang kamera atau jam tangan tiruan yang dijual oleh rekan dagangnya dari Muangthai. Seng Dara, pengungsi berusia 28 tahun, lebih suka memilih Battambang, karena jika gagal menjadi petani, ia masih bisa mencari hidup sebagai pedagang yang mondar-mandir dari Kamboja ke Muangthai. Kegiatan berdagang di perbatasan ini menyebabkan banyak orang lalu-lalang ke wilayah Kamboja. Sehingga, "pajak pelintas batas saja bisa mencapai 600.000 baht sebulan," tutur Ith Loeuk, gubernur yang wilayahnya, Provinsi Banteay Meanchey, bersebelahan dengan Muangthai. Poipet, salah satu desa yang asalnya cuma berpenduduk 400 orang, misalnya, kini menjadi ramai dengan penduduk 16.000 orang, yang hidup dari perdagangan gelap alat kamera dan arloji dengan Muangthai. Namun, kembalinya pengungsi tampaknya tak seluruhnya kabar baik buat Kamboja. Soal pembagian tanah, misalnya, ternyata dikhawatirkan dapat menjadi sumber konflik antara penduduk asli dan para pendatang. Di satu pihak, penduduk setempat sudah dengan susah payah menggarap dan mempertahankan tanah mereka, tiba-tiba datang pengungsi dari perbatasan yang sudah dibekali tanah 2 ha, makanan, dan sejumlah fasilitas lainnya. "Itu pasti menimbulkan rasa iri di antara penduduk setempat," ujar Ith Loeuk. Apalagi bila dilihat dari latar belakang para pengungsi yang kebanyakan pengikut pemberontak, sementara penduduk setempat adalah pengikut pemerintah Phnom Penh. "Jadi, sebenarnya sudah ada bibit permusuhan," kata Ith Loeuk lagi. Pertentangan antarpenduduk inilah yang dikhawatirkan bakal dipakai untuk tujuan politik bagi kelompok tertentu, Khmer Merah misalnya. Untuk itu, pihak UNHCR buru-buru mengingatkan bahwa asimilasi antara pengungsi dan penduduk setempat perlu diperhatikan. "Para pengungsi janganlah terlalu dimanjakan," kata Iaian Guest Humas. Agaknya, tak bisa dipungkiri bahwa munculnya kembali Khmer Merah masih dikhawatirkan oleh sebagian pengungsi Kamboja. Seperti dituturkan So Kumsan, petani berusia 30 tahun, yang pada 1989 lari ke perbatasan untuk menghindari wajib militer pihak Khmer Merah. "Saya khawatir dengan kehidupan baru di tanah air," tuturnya pada TEMPO. Soalnya, "seluruh anggota keluarga saya tewas dibantai mereka," ujar So Kumsan lagi. Kini ia merasa terpanggil untuk ikut pulang karena gelombang pertama pengungsi ini mendapat tanah yang subur dan lokasi yang baik. "Kalau saya gagal bertani, saya bisa berdagang ke Muangthai," katanya lagi. Seperti diketahui, para gerilyawan Khmer Merah masih saja melakukan aksi penyerangan pada beberapa lokasi penting di Kamboja. Sejak dua pekan lalu kelompok ini menyerang dan menduduki jalan Highway 12 di Provinsi Rompong Thom, bagian tengah Kamboja. Akibatnya, sekitar 2.500 orang Kamboja mengungsi dan 17 tentara pemerintah tewas, sedangkan jalur komunikasi antara Kota Kompong Thom dan Preach Vihar putus. Menteri Pertahanan Kamboja, Tea Banh, mengakui bahwa pihaknya kewalahan menangani musuhnya yang satu itu. Perundingan yang berlangsung di Phnom Penh, Sabtu pekan lalu, tak membuahkan hasil karena kedua belah pihak sama-sama ngotot mempertahankan haknya. Pangeran Sihanouk, yang ketika menyambut rombongan pengungsi pertama pekan lalu itu berwajah kecut, tak banyak berkomentar. "Saya minta agar ketua pasukan perdamaian PBB (UNTAC) menyelesaikan masalah itu," katanya singkat. Menurut seorang pengamat Barat, pasukan PBB di Kamboja memang akan mengalami ujian. Terutama untuk membujuk agar Khmer Merah bersedia mundur dari pertambangan batu permata ruby dan sapphire, yang terletak di Kota Pailin, Provinsi Battambang, yang kini masih dikuasainya. Akankah perdamaian bisa terwujud di Kamboja? Menurut Claudia Rosett dari harian The Asia Wall Street Journal, hal itu bisa terlaksana bila PBB meminta Vietnam agar tak lagi mendukung pemerintahan Hun Sen, sementara Cina diminta agar melepaskan kendali Khmer Merahnya. Melihat kenyataan yang ada sekarang, agaknya sulit diperkirakan Kamboja menjadi negara yang damai. Soalnya, Khmer Merah yang kini berkekuatan 13 ribu sampai 40 ribu personel itu sudah mengakar di setiap daerah pertanian di Kamboja. Maklum, kelompok Khmer Merah -- kata kolumnis Sukhumband Paribatra -- mempunyai organisasi paling rapi jika dibandingkan dengan kedua faksi lain, yakni Front Pembebasan Nasional pimpinan Son San dan Funcinpec pimpinan Sihanouk. Apalagi jika dibandingkan dengan pemerintah Phnom Penh pimpinan PM Hun Sen yang masih compang-camping. Dengan kata lain, pemilu yang akan diselenggarakan di bawah pengawasan PBB Mei tahun depan bisa menjadi bumerang. Sebab, di antara pengungsi Kamboja, masih banyak simpatisan Khmer Merah. Didi Prambadi (Jakarta) dan Yuli Ismartono (Battambang, Kamboja)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus