SETELAH terkatung-katung hampir empat bulan di angkasa luar, 350 km di atas permukaan bumi, akhirnya, 25 Maret lalu, kosmonaut Sergei Krikalyov mudik ke daratan. Krikalyov terpaksa memperpanjang masa dinasnya di stasiun ruang angkasa Mir, gara-gara Uni Soviet bubar. Celakanya, Republik Rusia yang menjadi majikan baru mengaku tak mempunyai uang untuk mengirim pesawat penjemput. Krikalyov, 33 tahun, terbang ke stasiun Mir bulan Mei 1991, diantarkan kapsul SoyuzTM. Menurut rencana semula, dia mesti tinggal di stasiun angkasa itu sampai SoyuzTM berikut menjemputnya awal Desember 1991. Namun, kapsul jemputan itu tertunda. Untung, di situ ada kawan senasib, kosmonaut Aleksander Volkov, yang menyusul ke Mir Oktober 1991. Selama kedua kosmonaut itu berada di angkasa luar, bumi Uni Soviet panas. Partai komunis bubar, Gorbachev jatuh, dan Uni Soviet pecah menjadi republik-republik merdeka. Program ruang angkasa Uni Soviet pun tak terurus. Alhasil, nasib Krikalyov dan Volkov hampir tak terurus. Untung, perebutan kekayaan teknologi ruang angkasa antarrepublik merdeka di sana cepat berakhir. Republik Rusia bisa menguasai 80% dari aset program ruang angkasa Soviet. Maklum, industri roket, logam, dan perangkat elektroniknya banyak terdapat di Republik Rusia. Hanya saja, stasiun peluncuran wahana ruang angkasa ada di Republik Kazakhstan, di sebelah selatan Rusia. Berkat kemurahan Kazakhstan, Rusia kini masih boleh menggunakan Kosmodrom Baikonur itu. Kembalinya Krikalyov dan Volkov itu tampaknya tak lepas dari jasa baik Jerman. Pemerintah Jerman bersedia merealisasi rencana lama, untuk menitipkan seorang astronautnya pada program SoyuzTM. Maka, 18 Maret lalu astronaut Jerman Klaus Deitrich Flade, yang diantar kosmonaut Alexander Viktorenko dan Alexander Kaleri, terbang menuju Mir. Penerbangan kali ini, selain menjemput Krikalyov dan Volkov lantas menggantinya dengan Viktorenko dan Kaleri, juga memberikan kesempatan kepada Flade untuk menikmati sarana riset Mir selama sepekan. Sebagai imbalannya, Jerman membayar ongkos terbang dan sewa Mir yang besarnya 40 juta Mark, sekitar Rp 50 milyar. Kisah terkatung-katungnya Krikalyov dan Volkov ini tampaknya dapat menggambarkan program angkasa negara eks Uni Soviet yang kini amburadul. Kejayaannya selama 35 tahun di ruang angkasa kini benar-benar terpuruk ke titik nadir. Kemenangan pertama Uni Soviet atas negeri Barat dipetik 1957. Lewat pesawat Sputniknya, Uni Soviet menjadi negara pertama yang meluncurkan wahana ruang angkasa ke orbit bumi. Sukses itu berlanjut lewat Yuri A. Gagarin, yang menjadi manusia pertama mengorbit planet Bumi dengan pesawat Vostok 1. Tapi Amerika tak kalah telak. Lewat program Apollo 11, Amerika menohok Uni Soviet dengan mendaratkan Neil A. Amstrong ke permukaan bulan, Juli 1969. Pada tahun 1970-an, persaingan kedua negara superkuat itu berlanjut dalam bentuk adu canggih membangun laboratorium angkasa luar. Amerika membangun Skylab tahun 1973-1974. Stasiun angkasa luar ini beratnya 75 ton, bisa dihuni dua orang astronaut. Dalam Skylab itu astronaut Amerika meriset pelbagai hal, di antaranya pengaruh lingkungan tanpa gravitasi terhadap awak Skylab. Riset ini dianggap penting, untuk persiapan misi penerbangan ke planet Mars yang diperhitungkan akan memakan waktu beberapa tahun. Skylab itu bertahan sampai 1979, kemudian hancur, dan Amerika tak pernah lagi membuat yang baru. Dalam soal laboratorium angkasa, Uni Soviet mendahului Amerika lewat program Salyutnya. Salyut 1 diluncurkan dari Kosmodron Baikonur April 1971. Tapi Salyut1 yang mengorbit bumi mirip satelit itu cuma bisa bertahan 6 bulan. Program ini berlanjut sampai Salyut7, yang mencatat prestasi bisa dihuni 3 kosmonaut secara bergantian selama 237 hari. Menjelang Salyut7 pensiun, Uni Soviet meluncurkan Mir, yang dalam bahasa Rusia berarti "perdamaian", pada awal 1986. Mir punya fasilitas lebih banyak dibanding Skylab. Lewat Mir ini, Uni Soviet membuat persiapan untuk misi yang ambisius: menjadi negara pertama yang menaklukkan planet Mars. Memasuki dasawarsa 1980, Amerika berjaya atas Uni Soviet, berkat pesawat ulang-aliknya: Columbia, Challenger, Discovery, dan Atlantis. Tapi pada akhir 1980-an, Soviet menampilkan Buran, yang bentuknya sangat mirip dengan pesawat alangalik AS. Dan Buran punya keunggulan: bisa terbang dan mendarat tanpa harus dikontrol awak pesawat -- hal yang tak bisa diharapkan dari pesawat buatan Amerika. Tapi ambisi Uni Soviet berjaya di angkasa kini tinggal mimpi. Uni Soviet telah bubar. Fasilitas-fasilitas pendukung program ruang angkasanya cerai-berai. Stasiun-stasiun pengendali satelit dan wahana ruang angkasanya, termasuk Mir, kini berada di tiga negara: Ukraina, Georgia, dan Uzbekistan. Republik Rusia, yang mewarisi sebagian besar fasilitas angkasa luar Uni Soviet, belum mampu melanjutkan program pendahulunya. Misi Buran macet. Stasiun Mir yang bakal uzur dalam beberapa tahun mendatang tak ada penggantinya. Untuk memanfaatkan sisa-sisa umur Mir, Rusia harus pula rela berbagi ruang Mir dengan angkasawan mancanegara. Penerbangan Soyuz ke Mir Oktober mendatang, misalnya, direncanakan akan membawa dua astronaut Prancis. Kapsul Soyuz pun ditawarkan menjadi kendaraan carteran. Amerika diizinkan menyewa, bila sewaktu-waktu memerlukannya untuk reparasi kendaraan-kendaraan ruang angkasa atau satelitnya. Singkat kata, segala macam teknologi ruang angkasa bekas Uni Soviet dijual bebas. Menghadapi situasi semacam ini, para ahli eks Uni Soviet pun tak segan-segan menjual jasa ke mana saja. Boris Babayan, seorang ahli perancang superkomputer di Rusia, misalnya, mulai Maret lalu hijrah ke California. Ahli komputer yang banyak terlibat dalam perancangan program ruang angkasa Uni Soviet ini rela bekerja di Amerika, walaupun hanya digaji beberapa ratus dolar sebulan, jauh lebih rendah dibanding gaji koleganya yang asli Amerika. Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini