Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah meja bertaplak merah membentang beberapa ratus meter, mengukir jalan melewati gundukan reruntuhan di Gaza selatan, saat keluarga-keluarga berkumpul untuk berbuka puasa selama bulan suci Ramadan, Al Jazeera melaporkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat matahari terbenam di atas sebuah lingkungan di Rafah, di mana perang Israel di Gaza hanya menyisakan segelintir bangunan yang masih berdiri, ratusan warga Palestina dari segala usia menyantap hidangan berbuka puasa yang menandai berakhirnya puasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibandingkan dengan tahun lalu, ramadan kali ini mungkin lebih baik dengan adanya gencatan senjata Gaza. Banyak yang merasa lega, tetapi ada juga kekhawatiran dan ketakutan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Masa depan mereka masih belum pasti, apalagi setelah Amerika Serikat menolak proposal yang diajukan Mesir untuk rekonstruksi Gaza.
Malak Fadda, yang menyelenggarakan acara buka puasa bersama itu mengatakan semua orang bersedih dan semua yang tersisa di sekitar mereka tampak memilukan. "Jadi, kami memutuskan untuk membawa kegembiraan kembali ke jalan ini, seperti sebelum perang," kata Malak.
Musik mengalun dari pengeras suara di tengah kerumunan orang di Rafah, yang duduk di deretan kursi plastik di bawah bunting, bendera Palestina, dan lampu-lampu yang dirangkai di antara beton-beton yang rusak.
Pengeboman Israel telah membuat hampir seluruh penduduk mengungsi dan memicu kelaparan yang meluas, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari lalu telah memungkinkan aliran bantuan yang lebih besar ke wilayah Palestina yang hancur, tetapi ratusan ribu orang masih tinggal di tenda-tenda, dan banyak di antaranya yang berkemah di reruntuhan rumah mereka.
Di kota utara Beit Lahiya, puluhan orang dengan penuh semangat bergabung bersama di bawah sinar matahari yang mulai memudar untuk berbuka puasa di antara sisa-sisa bangunan yang setengah runtuh.
Mohammed Abu al-Jidyan mengatakan warga Gaza berada di antara reruntuhan dan kehancuran. Namun, ia bertekad akan tetap tabah meski masih merasakan sakit dan luka-luka. "Di sini, kami makan Iftar di tanah kami dan kami tidak akan meninggalkan tempat ini," katanya.
Rasa kehilangan dan keputusasaan menandai perayaan Ramadan di Gaza tahun ini. Bagi warga Gaza, bulan suci Ramadan tidak semeriah biasanya. Banyak yang telah kehilangan anggota keluarga dan orang-orang yang mereka cintai akibat perang antara kelompok militan Palestina Hamas dan Israel yang masih berlangsung sejak Oktober 2023.
Israel Blokir Truk Bantuan
Meski tidak lagi mengebom Gaza di bawah gencatan senjata yang rapuh, Israel memblokir masuknya truk-truk bantuan ke Gaza. Ini membuat ramadan tahun ini semakin sulit. Ramadan di Gaza memang masih jauh dari normal, beberapa orang mengatakan, dalam beberapa hal, Ramadan kali ini terasa lebih baik daripada tahun lalu, seperti dilansir Mint.
Amal Abu Syariyah, warga Gaza, mengatakan bahwa apa yang akan terjadi selanjutnya tak bisa diprediksi. “Ya, negara ini hancur dan situasinya sangat buruk, tetapi perasaan bahwa penembakan dan pembunuhan ... telah berhenti, membuat Anda (merasa) bahwa tahun ini lebih baik daripada tahun lalu," ujarnya.
Dibayangi oleh perang dan pengungsian, Ramadan tahun lalu menjadi "sangat buruk" bagi rakyat Palestina, katanya. Ramadan 2024 di Gaza dimulai dengan perundingan gencatan senjata yang kemudian terhenti, kelaparan yang memburuk di seluruh wilayah tersebut, dan perang yang tak kunjung berakhir.
Bagi umat Muslim di seluruh dunia, Ramadan adalah waktu untuk berpuasa, berdoa dan merenung, serta waktu untuk berbagi dengan orang-orang terkasih. Namun bagi banyak pengungsi Palestina di Doha, Ramadan kali ini menandai tahun perpisahan dengan keluarga mereka di Gaza, demikian laporan Al Jazeera.
Haya al-Barai, 16 tahun, mengatakan ia akan merayakan bulan suci umat Islam bersama neneknya yang berada jauh dari rumah. Menurut Al Jazeera, Haya tiba di ibu kota Qatar pada Desember 2023 setelah orang tuanya terbunuh dalam serangan udara Israel. Al-Barai juga terluka dalam serangan tersebut dan kini menjadi lumpuh.
"Saya tidak ingin merayakan Ramadan di sini. Saya biasa menikmati Ramadan bersama keluarga. Kami akan makan dan bermain game bersama. Keluarga saya berkumpul saat itu," ujar Haya.
Menurut laporan tersebut, lebih dari 1.400 warga Palestina yang dievakuasi ke Doha menandai Ramadan jauh dari Gaza, rindu untuk berkumpul kembali dengan keluarga mereka.
Pilihan Editor: Trump Diam-diam Kirim Utusan Temui Hamas, Negosiasi Soal Sandera