Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGIT di atas Kota Teheran belum lagi terang. Pasukan keamanan tiba-tiba memuntahkan tembakan peringatan. Ribuan pengunjuk rasa yang sejak dinihari berkumpul di dekat gerbang Universitas Teheran, Senin pekan lalu, tetap tak beranjak. Dengan suara lantang mereka meneriakkan yel-yel antidiktator. Para mahasiswa antipemerintah itu mengenakan syal berwarna hijau perlambang oposan, berbaris, menautkan lengan satu sama lain, sambil mengacungkan jari membentuk huruf V, yang berarti kemenangan.
Aksi para pendukung oposisi itu rupanya membuat gerah polisi antihuru-hara dan pasukan Garda Revolusi Iran yang menyebar di sekitar kampus. Berbekal pentungan, gas air mata, dan senjata api, mereka lantas membubarkan kerumunan demonstran. Pagi yang dingin berubah jadi ”memanas”. Bentrokan tak dapat dihindari.
Kantor berita Iran IRNA melaporkan, para pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah pasukan keamanan, yang dibalas dengan semprotan gas air mata. ”Pihak keamanan memukuli pengunjuk rasa, baik laki-laki maupun perempuan. Beberapa terluka dan berdarah,” tutur seorang saksi mata.
Pengamanan kampus paling bergengsi itu kian diperketat. Pasukan keamanan menutup pintu gerbang utama dan pagar dengan spanduk-spanduk yang memuat kutipan-kutipan Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei. Seluruh akses masuk kampus dijaga pasukan keamanan bersenjata lengkap.
Kepala Polisi Teheran Azizollah Rajabzadeh mengatakan 204 pengunjuk rasa—165 laki-laki dan 39 perempuan—ditahan dalam peristiwa itu dengan tuduhan mengganggu kepentingan publik. Sebanyak 86 orang di antaranya sudah dilepaskan. Kepala Kejaksaan Iran Gholam Hossein Mohsen Ejeie mengancam para pemimpin oposisi bakal menghadapi kekuatan hukum penuh jika mereka kembali mendalangi aksi unjuk rasa. ”Saya umumkan mulai hari ini tak akan ada lagi toleransi. Setiap pertemuan tak sah akan dihadapi dengan keras,” kata Gholam seperti dikutip kantor berita Iran.
Aksi massa itu sendiri digelar bertepatan dengan peringatan Hari Mahasiswa, yang setiap tahun diadakan untuk mengenang tiga mahasiswa Iran yang terbunuh saat unjuk rasa menentang Amerika pada 1953. Pemerintah Iran khawatir perayaan ini bakal dimanfaatkan para pendukung oposisi untuk menegaskan kembali gerakan mereka. Apalagi sejumlah universitas di Iran menjadi pendukung gerakan oposisi yang muncul pascasengketa pemilu yang kembali mengantarkan Mahmud Ahmadinejad ke tampuk kekuasaan.
Aksi unjuk rasa tak cuma berlangsung di Universitas Teheran. Aksi serupa dilaporkan juga terjadi di Tehran’s Amir Kabir University dan sejumlah universitas di Mashhad, Kermanshah, dan Kerman. Di Universitas Politeknik Teheran, misalnya, ribuan mahasiswa meneriakkan, ”Anda pengkhianat, Mahmud (Ahmadinejad)…. Anda menghancurkan tanah air kita.” Aksi demo ini disebut-sebut sebagai yang terbesar dalam beberapa bulan terakhir. Lebih besar dari aksi demo terakhir yang berskala besar pada 4 November lalu.
Sehari sebelumnya, pemimpin oposisi Mir Hossein Mousavi melalui situs pribadinya menyatakan dukungan penuh terhadap aksi mahasiswa antipemerintah itu. Menurutnya, aksi protes itu menunjukkan gerakan oposisi masih terus hidup. Dia juga menuliskan pernyataan keras. ”Bangsa yang besar tak akan tinggal diam ketika seseorang mencuri suaranya,” tulis Mousavi, Ahad dua pekan lalu.
Mousavi, yang kalah dalam pemilu presiden 12 Juni lalu, selama ini merasa sudah dicurangi. Klaim ini memicu aksi unjuk rasa besar-besaran. Pemerintah membalas gelombang aksi itu dengan menangkapi mahasiswa yang dianggap melakukan propaganda melawan pemerintah yang sah. Milisi propemerintah, Basij, juga merekrut informan di kampus untuk mencari mahasiswa yang mengobarkan demonstrasi. Sebagian besar dari mereka yang ditangkap sudah dibebaskan, tapi lebih dari 80 orang sejauh ini telah dijatuhi hukuman penjara hingga 15 tahun dan lima orang divonis mati.
Situasi Teheran sudah mulai menegang sejak Ahad malam. Saat itu, sejumlah pendukung oposisi nekat menembus hujan deras memanjati atap-atap gedung yang tersebar di penjuru Teheran sambil berteriak ”Allahu Akbar” dan ”Matilah Diktator”. Ajakan melakukan aksi massa juga disebarkan melalui sejumlah situs para pemimpin oposisi.
Mousavi dan sejumlah pemimpin oposisi mengatakan, melalui demonstrasi besar-besaran, mereka ingin menunjukkan gerakan mereka masih punya momentum meskipun beberapa kali pemerintah Ahmadinejad mengambil tindakan tegas. ”Pernyataan Mousavi yang ditulis di situsnya itu memicu para pengacau melakukan aksinya,” ujar Gubernur Teheran Morteza Tamaddon.
Kesal terhadap ulah Mousavi, sekitar selusin pengendara sepeda motor mendatangi rumah bekas Perdana Menteri Iran itu. Seorang saksi mata dalam situs pribadinya menuturkan, Mousavi selama berjam-jam tersandera di rumahnya gara-gara ”tamu tak diundang” itu memacu motor mereka berputar-putar mengelilingi kediamannya. Bahkan sebuah situs oposisi melaporkan, Zahra Rahnavard, istri Mousavi, diserang sekelompok orang. Guru besar di Universitas Teheran itu menderita luka di bagian mata dan paru-paru. ”Sekalian saja bunuh saya!” teriak Mousavi.
”Kerusuhan Senin” itu masih diliputi tanda tanya. Maklum, akses bagi wartawan, terutama wartawan asing, tertutup rapat. Mereka dilarang meliput unjuk rasa. Pemerintah Iran khawatir aksi itu kembali mengundang gelombang demonstrasi terhadap hasil pemilu. ”Semua izin yang dikeluarkan bagi media asing untuk meliput berita di Teheran telah dicabut pada 5-9 Desember,” kata bagian pers asing Kementerian Kebudayaan melalui pesan pendek yang dikirimkan kepada wartawan, juru foto, dan kamerawan yang bekerja untuk media asing di Iran.
Selama beberapa hari jaringan Internet dan telepon juga terganggu. Pihak berwenang diduga memutus jaringan Internet untuk mencegah pihak oposisi menggunakan alat komunikasi vital itu buat memobilisasi para pendukung. Pemerintah Iran menyangkal berada di balik pemutusan hubungan Internet. Namun pengusaha penyedia layanan Internet di Iran menyatakan penyebab kerusakan Internet bukan berasal dari pihak mereka dan bukan dari gangguan teknis lainnya. Toh, melalui telepon seluler, gambar-gambar aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh itu dengan cepat sampai ke kantor-kantor media asing
Mehdi Karroubi, salah seorang pemimpin oposisi, mengatakan sikap represif sama sekali bukan jalan keluar untuk menghentikan demonstrasi. ”Solusi untuk mencapai rekonsiliasi adalah toleransi dan menerima kritik. Kita perlu bekerja untuk mengembalikan kepercayaan antara pemerintah dan rakyat,” katanya. Pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Ali Khamenei, menyatakan masalah pemilu telah selesai dan menuduh gerakan oposisi akan memecah belah Iran dan memberikan peluang bagi musuh-musuh Iran.
Nunuy Nurhayati (BBC, The Independent, Guardian, Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo