Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN 2007 adalah tahun penuh kejutan bagi PT Bumi Resources Tbk. Tren pergantian energi dari minyak bumi ke batu bara membuat permintaan batu hitam di seluruh dunia melonjak. Perusahaan milik keluarga Bakrie itu pun ikut ketiban untung dengan mencatatkan rekor baru penjualan batu bara yang dikeduk dari Kalimantan Timur itu.
Bumi bisa menjual 55 juta ton batu bara dengan harga tertinggi yang pernah mereka peroleh US$ 44 (Rp 440 ribu) per ton. Di lain sisi, setelah mengganti tiga kontraktor dengan milik mereka sendiri atau menjual anak perusahaan, biaya operasional bisa dipangkas. Alhasil, Bumi mendapat untung tahun itu US$ 754 juta atau Rp 7,54 triliun—naik 42 persen dari tahun sebelumnya.
Euforia itu—para komisaris dan direksi membanggakan rekor baru itu di laporan keuangan—rupanya diperoleh dengan cara tak elok. Petugas pajak menengarai akuntan-akuntan Bumi merekayasa pembayaran pajak 2007 sebesar Rp 376 miliar. ”Kami sedang menyelidikinya,” kata Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo akhir pekan lalu.
Kasus ini bisa memanaskan kembali hubungan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan Aburizal Bakrie, pemilik kelompok usaha ini. Kepada koran Wall Street Journal, pekan lalu, Sri Mulyani menyatakan bahwa Aburizal berada di belakang geger politik kasus Century karena tidak suka kepadanya. Bukan tidak mungkin pengungkapan kasus pajak ini dituding sebagai bagian dari perseteruan itu.
Namun, kata Tjiptardjo, sebetulnya kasus ini agak lama terendap. Para penyidik pajak telah memeriksa dugaan rekayasa itu pada 30 Juni lalu, setelah menemukan bukti rekayasa lebih gawat lagi di perusahaan Bakrie lain, yakni PT Kaltim Prima Coal, pada 2009. Kaltim Prima diduga merekayasa pembayaran pajak yang merugikan negara Rp 1,5 triliun. Belakangan ada juga dugaan rekayasa di PT Arutmin Indonesia US$ 39 juta.
Total jenderal, perusahaan-perusahaan batu bara di bawah Bakrie ini ditengarai menggelapkan pajak hingga Rp 2,1 triliun. Kalau terbukti, ini rekor baru penggelapan pajak yang pernah terjadi di Indonesia. Rekor sebelumnya dipegang Asian Agri Group—perusahaan kelapa sawit milik orang terkaya di Indonesia, Sukanto Tanoto—yang diduga menggelapkan pajak selama 2002-2005 sebesar Rp 1,4 triliun.
Uang yang bisa dipakai membangun rumah untuk 20 ribu keluarga di Sidoarjo, Jawa Timur, yang tertimbun lumpur itu, ditaksir digelapkan dengan cara transfer pricing. Ini teknik rekayasa keuangan yang lazim dipakai perusahaan besar yang punya lini produksi dari hulu hingga hilir untuk menghindari bayar pajak terlalu banyak.
Seorang penyidik bercerita, dugaan rekayasa laporan pajak itu mulai terendus pada awal 2009. Kecurigaan petugas pajak sederhana saja: tiga perusahaan itu hanya membayar pajak tak lebih dari Rp 2 triliun, padahal mereka menjual begitu banyak batu bara dengan harga bagus saat itu. Usut punya usut, kata penyidik ini, harga batu bara yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak hanya setengah dari harga jual sebenarnya.
Caranya dengan membuat konsumen lain yang seolah-olah membeli batu bara dengan separuh harga itu. ”Seolah-olah karena transaksi itu tak terjadi,” kata penyidik pajak senior ini. ”Faktanya, batu bara itu dijual langsung ke pembeli lain dengan harga dua kali lipat.” Pengurangan harga ini otomatis memangkas biaya transaksi yang berdampak pada rendahnya pajak yang mesti dibayar.
Para pejabat di unit usaha Bakrie kompak menolak berkomentar ketika dimintai konfirmasi mengenai tuduhan berat di akhir tahun ini. ”Itu bukan urusan saya, tanya Presiden Direktur saja,” kata Eddie J. Sobari, Direktur Bumi Resources, Kaltim Prima Coal, dan Arutmin.
Ari S. Hudaya, yang menjadi presiden direktur tiga perusahaan itu, mengatakan ia akan membuat rilis resmi untuk menanggapi tuduhan rekayasa pajak itu. ”Tunggu saja, ya,” katanya. ”Terima kasih atas perhatiannya.”
Sesungguhnya mereka bukan tanpa upaya mencegah kasus ini bergulir hingga ramai diberitakan. Pengacara Bakrie Group sudah dua kali mengirim surat ke Menteri Keuangan Sri Mulyani agar menghentikan penyidikan. Permintaan itu ditolak karena prosesnya sudah masuk tahap penyidikan. ”Waktu diperiksa kenapa tak mengaku bersalah dan membayarnya saja,” kata Tjiptardjo. ”Kalau sudah penyidikan begini, kami tak bisa mundur lagi.”
Menurut Tjiptardjo, petugas pajak sebetulnya sudah memberikan kesempatan tiga perusahaan itu memanfaatkan sunset policy pada 2008 berupa penghapusan sanksi administratif pembayaran bunga pajak dan memperbaiki laporan pajaknya. ”Tapi mereka ngotot merasa tak bersalah,” kata seorang penyidik lain.
Itu sebabnya, pada 20 April 2009 petugas pajak mencegah Robertus Bismarck, seorang petinggi PT Kaltim Prima Coal, bepergian ke luar negeri setelah menetapkannya sebagai tersangka. Robertus adalah akuntan yang meneken surat pemberitahuan tahunan pajak. Tjiptardjo menyebut dialah yang diduga menjadi penanggung jawab teknik-teknik rekayasa itu. Pencegahannya tetap diberlakukan meski ada pembayaran sebagian uang pajak.
Rupanya, setelah pemeriksaan naik ke tahap penyidikan, Kaltim Prima lumer juga dan bersedia membayar Rp 828 miliar, disusul Arutmin yang menyetor US$ 27,5 juta. Terlambat. Menurut Tjiptardjo, pelunasan pajak dari penggelapan tak menghalangi atau menghapus pelanggaran pidananya. Bahkan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan mengatur denda akibat merekayasa laporan pajak sebesar empat kali dan pokok pajak satu kali.
Pembayaran 500 persen dari jumlah pajak yang digelapkan itu juga sebagai syarat Menteri Keuangan atau Jaksa Agung mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Tentu saja jika keduanya mau mencabutnya karena lebih mementingkan duit negara kembali ketimbang memenjarakan orang. Meski bisa saja uang kembali, penjara jalan terus.
Tjiptardjo juga menyangkal bahwa dibukanya kasus penggelapan pajak perusahaan Bakrie ini karena perseteruan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie. ”Tak ada unsur politik, kami sudah memeriksa penggelapan pajak itu jauh sebelum ribut-ribut sekarang,” katanya.
Terlepas dari kisruh dua petinggi itu, dugaan penggelapan pajak oleh tiga perusahaan Bakrie itu, jika kelak terbukti, telah mencatatkan rekor baru dalam sejarah pajak di Indonesia. ”Bukti kami sangat kuat,” kata Tjiptardjo.
Bagja Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo