Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Aleppo, Suriah, Minggu, 1 Syawal 1433 Hijriah, tak ada suara takbir menggema. Masjid besar di pusat kota yang biasa menyelenggarakan salat Idul Fitri masih tegak, tapi pecahan kaca tampak terserak di lantai. Salat Id ditiadakan. Dentuman mortir dan rentetan senapan berkepanjangan menggantikan suara takbir.
Penduduk, yang biasanya berbelanja dan mengunjungi kerabat mereka, kini memilih berdiam diri di dalam rumah. "Kota menjadi sepi. Mereka ketakutan dan memilih mengungsi," kata Abu Mohamed, penjual buah yang membuka lapak di bawah jembatan, Rabu pekan lalu. Penduduk Aleppo bertahan dengan mata pencarian berdagang dan bertani di wilayah pinggiran. Meski begitu, mereka mengalami kesulitan menanggung biaya hidup yang membengkak. Besar pasak daripada tiang: pendapatan menyusut jauh, ongkos hidup naik tajam.
"Hanya ada enam keluarga di sini, dari sebelumnya 2.000 orang," kata Mazen Afash, 23 tahun, salah seorang penduduk yang masih bertahan di Anadan, pinggiran Aleppo. Sekitar 70 ribu orang telah melarikan diri ke desa-desa dan kota-kota lain. Sebagian memilih pindah ke perbatasan Suriah-Turki. Kelompok oposisi setiap hari menyiapkan dua truk buat mengangkut pengungsi. Puluhan ribu orang telah mengungsi ke pusat-pusat penampungan di sepanjang perbatasan itu. Desa Anadan salah satu basis para pemberontak melawan pasukan Presiden Bashar al-Assad.
Belakangan tentara pemerintah gencar menyerang semua toko roti dan bahan makanan untuk melumpuhkan pemberontak. Karena itu, mereka yang tetap bertahan harus antre lebih lama untuk sepotong roti. Jika apes, mereka bisa menjadi sasaran bom pesawat pemerintah. Ahad tiga pekan lalu, sebuah bom meledakkan sebuah toko roti. Tiga kakak-adik berumur belasan tahun bersama tetangganya, seorang ibu, tewas saat antre membeli roti.
Militer Suriah telah mengedarkan selebaran agar penduduk segera meninggalkan kota. "Assad mencoba membuat kami kelaparan dan memaksa kami meninggalkan kota," teriak Abu Issa, 39 tahun, warga yang mendukung pemberontak. Militer, kata dia, menyerang apa saja: dari toko roti, masjid, sampai rumah sakit.
Mohammed Khalaf, 90 tahun, mencari makanan menyusuri jalanan sepi. Di sepanjang jalan, ia menyaksikan tangki-tangki air telah hancur. Warga kesulitan mendapatkan sayuran, apalagi buah-buahan, segar. Penderitaan mereka tampaknya tidak akan segera berakhir. Kekurangan makanan, air, dan listrik telah mengakibatkan kehidupan warga semakin sulit. Bahaya bom dan peluru membuat mereka tak bisa tidur dengan tenang. "Banyak warga miskin tidur tak tenang dengan perut lapar," katanya.
Akhir bulan lalu, Aleppo merupakan arena pertempuran dahsyat. Pertempuran meningkat setelah pemerintah mengerahkan ribuan tentara dan tank untuk merebut kota itu. Serangan ini berhasil memukul oposisi ke pinggiran kota. Kini dua kubu yang saling bunuh mengklaim menguasai beberapa daerah strategis. Khalaf mengatakan kendaraan lapis baja hanya berjarak dua kilometer dari rumah penduduk. "Ini tak pernah terjadi saat melawan penjajah Prancis dulu," katanya, membandingkan pertempuran sekarang dengan perang pembebasan 1945.
Berbeda dengan Aleppo, yang masih dikuasai oposisi, kondisi Damaskus masih normal. Damaskus telah dikuasai tentara pemerintah. Saefanur, pelajar asal Indonesia, bercerita, perayaan salat Id masih dilakukan sebagian warga di masjid. Ia menuturkan terkadang masih terdengar suara tembakan. Menurut Saefanur, hal itu dianggap biasa oleh warga setempat. "Beberapa anak juga terlihat main ayunan di taman kota," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Tika binti Randim, tenaga kerja asal Indonesia, mengeluh bahwa kehidupan di Damaskus semakin sulit. Makanan, kata dia, sulit didapatkan. Warga, Tika melanjutkan, sudah kesulitan mendapatkan nasi dan sayuran. Harga bahan kebutuhan pokok telah naik hampir separuh. "Kami tiap hari hanya makan seadanya. Yang sering, ya, roti," katanya. Meski suara tembakan sudah berkurang dibanding beberapa bulan lalu, Tika tak diizinkan majikannya keluar dari rumah. Lebaran dirayakan di rumah.
Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Program Pangan Dunia PBB (WFP) serta Kementerian Pertanian dan Agraria Suriah menyatakan 1,5 juta warga terancam kelaparan dalam beberapa bulan ke depan. Bahkan kondisi lebih parah diperkirakan terjadi tahun depan. Laporan itu menyebutkan tahun ini sektor pertanian telah kehilangan US$ 1,8 miliar (sekitar Rp 17 triliun) akibat konflik. Lahan pertanian dan saluran irigasi hancur.
Serangan besar ke Aleppo telah menghancurkan ekonomi riil di Suriah. Aleppo adalah kota terbesar kedua Suriah yang menjadi pusat komersial dan bisnis. Ia bagian dari jalur sutra perdagangan yang menghubungkan Eropa ke Asia dan Eropa ke Afrika. Aleppo merupakan kota terkaya di Suriah. Namun, sejak perang meletus pertengahan tahun ini, industri berhenti karena kesulitan mendapatkan tenaga kerja, kekurangan bahan bakar, dan tiadanya jaminan keamanan. "Kerusakan Aleppo merusak ekonomi riil Suriah. Tidak jelas kapan konflik berakhir," ujar Nabil Sukr, pakar ekonomi Damaskus yang sebelumnya bekerja di Bank Dunia.
Sektor perbankan pun ikut terpukul. Serapan pinjaman berkurang, tapi deposito dan penarikan uang tetap terjadi. Apalagi, dengan adanya sanksi internasional, perbankan Suriah tak bisa terhubung dengan jaringan bank di Libanon dan negara Arab. Simpanan di bank, yang sebelum perang memiliki total aset US$ 29 miliar (sekitar Rp 275 triliun), kini menyusut sepertiganya. Perusahaan panik dan individu mengirim uang ke luar negeri. "Akibatnya, nilai mata uang lira jatuh," kata seÂorang bankir.
Masalah Suriah tak kunjung selesai. Negara Barat, yang dikomandani Amerika Serikat, selalu berbeda pendapat dengan Rusia dan Cina, sekutu dekat Suriah. Dua kali rencana negara Barat, yang berhasrat mengintervensi Suriah melalui resolusi Dewan Keamanan PBB, digagalkan melalui hak veto. Belum ada solusi jitu. Senin pekan lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengancam akan mengintervensi konflik Suriah jika Presiden Bashar al-Assad menggunakan senjata kimia. Amerika menuding Suriah memiliki seribu ton senjata kimia, yang disimpan di 50 kota. "Akan ada konsekuensi besar jika kami melihat penggunaan senjata kimia," kata Obama.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menolak rencana intervensi negara Barat dalam konflik di Suriah. Menurut dia, Amerika Serikat mulai menggunakan taktik serupa saat menjatuhkan pemimpin Libya, Muammar Qadhafi. "Mencari alasan untuk mengintervensi," katanya. Wakil Perdana Menteri Qadri Jamil mengatakan Presiden Assad sedang mencari solusi penyelesaian konflik, bahkan ada kemungkinan mundur. "Kami membuka negosiasi. Bahkan semua kemungkinan bisa terjadi," katanya setelah berdiskusi dengan Rusia dan Cina.
Diplomat Cina dan penasihat negara, Dai Bingguo, mengatakan akan mendukung penyelesaian sesuai dengan norma hukum internasional. Cina akan mendukung pemerintahan Suriah. "Kami akan mematuhi norma hukum internasional dan prinsip yang terkandung dalam piagam PBB, bukan melanggarnya," ujarnya. Sepertinya konflik ini masih akan berkepanjangan.
Eko Ari Wibowo (BBC, Reuters, Telegraph, France24.com)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo