Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan warga Palestina turun ke jalan-jalan di Kota Gaza pada Rabu pekan lalu untuk merayakan tercapainya perjanjian rekonsiliasi antara dua faksi yang berseberangan, Hamas dan Fatah. Mereka melambaikan bendera Hamas dan Fatah, lalu dengan sukacita menuju sebelah barat Kota Gaza dan berkumpul di Al-Jundi Square untuk mendukung bersatunya Palestina.
Namun tak semua warga Palestina menyambut positif perjanjian rekonsiliasi itu. Samah Ahmed, warga Gaza, mengaku khawatir rekonsiliasi lagi-lagi berujung pada perpecahan. "Kami berharap ada perayaan besar, tapi orang-orang telah kehilangan kepercayaan dalam perjanjian ini, karena sebelumnya pernah gagal," ujarnya kepada Al-Monitor.
Pada Rabu pekan lalu itu, Hamas dan Fatah mengumumkan tercapainya perjanjian untuk mengakhiri perseteruan. "Sebuah kehormatan besar untuk mengumumkan akhir perpecahan dan menyaksikan waktu bersejarah dalam kehidupan rakyat Palestina," kata perdana menteri pemerintahan Hamas, Ismail Haniyeh, seperti dilansir Al-Monitor. Menurut dia, delegasi pertemuan direstui Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas dan Kepala Biro Politik Hamas Khaled Meshaal.
Haniyeh membacakan pernyataan rekonsiliasi Hamas dan Fatah bahwa kedua pihak sepakat dengan dua ketentuan dalam perjanjian sebelumnya, yang ditandatangani di Kairo, Mesir, pada 2011, dan di Doha, Qatar, pada 2012. Dua kesepakatan utama itu mencakup pembentukan pemerintah persatuan nasional serta penentuan tanggal pemilihan umum presiden dan parlemen di Palestina. "(Kami telah sepakat) Presiden akan memulai konsultasi untuk membentuk dan mengumumkan pemerintah persatuan dalam waktu lima minggu ke depan," ujarnya.
Enam bulan setelah pembentukan pemerintah persatuan nasional, pemilihan presiden dan parlemen akan diadakan bersamaan, baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat. Pemilihan Dewan Nasional Palestina juga akan diadakan pada waktu yang sama.
Dalam kesepakatan, Hamas meminta pembentukan kepemimpinan sementara untuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang harus menampung wakil dari Hamas dan Jihad Islam. Para pihak juga sepakat memulai pembicaraan selama dua minggu tentang pembentukan pemerintah persatuan nasional. Setelah itu, akan dibahas tanggal pemilihan umum Palestina dan distribusi kepemimpinan PLO yang bersatu.
Dua hari sebelum rekonsiliasi tercapai, Hamas telah merancang pertemuan khusus di Jalur Gaza. Delegasi Hamas bertemu dengan delegasi PLO yang dipimpin Azzam al-Ahmad-yang juga perwakilan Fatah-selama dua hari terakhir. Kedua pihak berupaya mencapai kesepakatan tentang bagaimana menerapkan persyaratan dalam perjanjian di Kairo dan Doha.
Saat itu, delegasi PLO mengatakan optimistis ketegangan politik antara Fatah dan Hamas akan berakhir menyusul segera digelarnya pembicaraan rekonsiliasi di Gaza. "Lima delegasi PLO akan melakukan perjalanan ke Jalur Gaza dalam waktu 48 jam untuk bertemu dengan pemimpin tertinggi Hamas, Ismail Haniyeh dan Mousa Abu Marzouq," kata Ahmad, seperti dilansir kantor berita Ma'an News, Senin pekan lalu. Delegasi menginap di Hotel Movenpick di Kota Gaza. Pertemuan dua hari bertempat di kediaman Ismail Haniyeh.
Menurut Ahmad, delegasi ke Jalur Gaza bukan untuk mengajukan opsi baru, melainkan buat mengakhiri perseteruan dan mengatasi tiga isu yang menentukan. "Kami akan membicarakan pembentukan pemerintah konsensus nasional, pemilihan umum, dan restrukturisasi PLO untuk menjaga persatuan Palestina," ujarnya.
Menurut sumber Al-Monitor di Ramallah, sebelum delegasi bertatap muka di Jalur Gaza, pertemuan informal dilakukan anggota PLO dengan Hamas, yang diwakili anggota biro politiknya, Mousa Abu Marzouq, di Kairo pada Ahad dua pekan lalu. Sumber yang sama juga menceritakan Ahmad memberi tahu Haniyeh bahwa delegasi tak akan ke Gaza kecuali Hamas siap rujuk dan menandatangani kesepakatan membentuk pemerintah persatuan.
Sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi, Kementerian Dalam Negeri Gaza membebaskan sepuluh tahanan yang berafiliasi dengan Fatah, Senin dua pekan lalu. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Gaza, Eiad al-Bozum, mengatakan pembebasan tahanan ini merupakan bentuk iktikad baik untuk mendorong perdamaian Fatah dan Hamas.
Hubungan faksi Fatah dan Hamas menjadi tegang sejak Hamas merebut kekuasaan di Jalur Gaza. Peristiwa itu terjadi setahun setelah Hamas mengalahkan Fatah dalam pemilihan legislatif Palestina pada Januari 2006. Sejak 2007 itulah Palestina terbelah menjadi dua: wilayah Gaza efektif di bawah kontrol Hamas dan Tepi Barat dipimpin faksi Fatah.
Kedua pihak berulang kali berupaya melakukan penyatuan, termasuk yang ditengahi Mesir pada 2011. Pada awal Mei 2011, Fatah dan Hamas menandatangani perjanjian persatuan di Kairo dan bertemu dua kali sejak itu-di Kairo dan Doha-untuk membahas pembentukan pemerintahan sementara yang akan menyelenggarakan pemilihan umum pada Mei 2012.
Namun pertemuan lanjutan antara Abbas dan pemimpin Hamas, Khaled Meshaal, ditangguhkan. Pembicaraan kedua pihak dikabarkan macet karena tak ada kesepakatan mengenai siapa yang akan menjadi perdana menteri. Pemerintah Fatah ingin Fayyad tetap menjadi perdana menteri, tapi Hamas menentang. Fatah dan Hamas tak pernah mewujudkan isi kesepakatan.
Kegagalan rekonsiliasi itulah yang membuat banyak pihak pesimistis terhadap pencapaian terbaru ini. Muncul spekulasi perjanjian rekonsiliasi ini ditandatangani karena kedua pihak berada di bawah tekanan.
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa Hamas semakin tersudut akibat isolasi internasional. Jalur Gaza terpuruk dalam krisis politik dan ekonomi, apalagi sejak terowongan bawah tanah rahasia dari Mesir dihancurkan oleh pemerintah Kairo di bawah militer yang memusuhi Hamas. Terowongan-terowongan itu selama ini menjadi sumber penghidupan warga Gaza yang terisolasi.
Adapun pemerintah Fatah yang dipimpin Abbas mengalami tekanan dan dikecam warga Tepi Barat karena molornya perundingan dengan Israel. Dia juga semakin kehilangan legitimasi karena terus menunda pemilihan umum. Dengan rekonsiliasi, diyakini popularitas Abbas akan kembali terdongkrak.
Yang segera bereaksi keras terhadap kesepakatan rekonsiliasi itu adalah Israel. Negara ini sudah lama menuding Hamas sebagai kelompok teroris. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan dengan terang-terangan bahwa rekonsiliasi Fatah dan Hamas dapat menyebabkan runtuhnya proses perdamaian Israel-Palestina yang diprakarsai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry. "Mereka harus memilih, bergerak maju atau mundur," ujarnya kepada stasiun televisi Fox News.
Netanyahu memberikan kesempatan kepada Abbas untuk mundur agar perundingan damai dengan Israel bisa berlanjut. Tapi Abbas justru meyakinkan dunia bahwa pemerintah persatuan tak akan bermusuhan dengan Israel. "Pemerintah baru nanti akan diisi para teknokrat dan akan mematuhi program politik saya," katanya dalam pertemuan Komite Pusat PLO, seperti dilansir Reuters.
Dia menjamin setiap pemerintahan yang dibentuk akan didasari kesepakatan nasional untuk mengakui Israel sebagai negara dan meninggalkan kekerasan. "Pemerintah ini tidak akan menjadi kabinet teroris sebagaimana yang diklaim Israel," ujar Abbas.
Namun keraguan tetap tak terbendung. Pengamat politik dari Universitas Birzeit di Tepi Barat, Samir Awad, mengatakan pemerintah persatuan yang akan diisi teknokrat hanyalah janji dan dalam prakteknya tak akan ada perubahan. "Orang-orang telah mendengar hal yang sama berulang-ulang dan setiap kali perjanjian dibuat telah dirusak oleh salah satu faksi, Fatah atau Hamas," katanya, seperti dilansir Channel News Asia.
Rosalina
Fatah Vs Hamas
25 Januari 2006
Hamas mengalahkan Fatah dalam pemilihan anggota parlemen yang diikuti 77 persen warga Palestina yang memiliki hak pilih. Hamas meraih 76 kursi, sedangkan Fatah memperoleh 43 kursi, dari 132 kursi parlemen.
Maret 2006
Pemerintah Hamas dilantik, dipimpin Ismail Haniyeh. Fatah menolak bergabung. Menyebut Hamas sebagai organisasi teroris, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel menolak mengakui Hamas sebagai pemenang yang sah.
September 2006
Mahmud Abbas dan Haniyeh mengumumkan kesepakatan membentuk pemerintah persatuan, tapi keadaan memanas ketika soal Israel dibahas. Fatah mendukung Negara Palestina berdampingan dengan Israel, sementara Hamas menolak hak Israel untuk eksis. Ketidaksepakatan mengarah ke kekerasan di jalanan Gaza.
Februari 2007
Hamas terlibat konflik terbuka dengan Fatah, dan pertempuran keduanya semakin intensif. Kedua belah pihak kemudian menyetujui kesepakatan di Mekah, dengan harapan Barat akan mencabut sanksi bagi pemerintah Hamas.
Juni 2007
Pertempuran Gaza dimulai. Hamas merebut Jalur Gaza dari Fatah, sementara Fatah tetap mengendalikan Tepi Barat. Setidaknya seratus orang tewas. Abbas membubarkan pemerintah Palestina dan menyatakan keadaan darurat.
Desember 2008
Melalui Operasi Cast Lead, Israel menginvasi Jalur Gaza sebagai respons atas serangan roket oleh kelompok bersenjata Palestina. Sekitar 1.400 warga Palestina tewas akibat gempuran selama 22 hari--kebanyakan warga sipil.
Januari 2009
Masa kepemimpinan Abbas sebagai presiden berakhir, tapi ia berjanji tetap berkuasa hingga pemilihan parlemen dan presiden bisa diselenggarakan bersamaan.
Februari 2009
Mesir mendorong Fatah dan Hamas mengadakan pembicaraan rekonsiliasi untuk menciptakan pemerintah persatuan. Kedua pihak gagal bersepakat.
Maret 2010
Perwakilan Fatah dan Hamas kembali bertemu di Doha, Qatar, untuk membahas masa depan Palestina.
September 2010
Putaran perundingan langsung antara pemimpin Israel dan Palestina dimulai. Pembicaraan macet pada bulan yang sama setelah Israel menolak memperpanjang pembekuan pembangunan permukiman di Tepi Barat.
Maret 2011
Faksi Fatah dan Hamas bertemu di Kairo, Mesir. Kedua pihak sepakat membentuk pemerintahan koalisi sementara, sama-sama membebaskan tahanan perang, serta menggelar pemilihan presiden dan perdana menteri pada 2012.
4 Mei 2011
Pemimpin Fatah dan Hamas, Abbas dan Khaled Meshaal, berkumpul di Kairo untuk menandatangani kesepakatan rekonsiliasi.
7 Februari 2012
Fatah dan Hamas menandatangani perjanjian Doha untuk mengakhiri konflik.
Mei 2012
Hamas dan Fatah menandatangani perjanjian lebih lanjut di Kairo untuk pembentukan pemerintah persatuan dan pelaksanaan pemilihan umum Palestina, tiga setengah bulan setelah perjanjian Doha. Perjanjian Kairo baru pada dasarnya mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan kesepakatan Doha, khususnya mendaftar pemilih baru di Jalur Gaza dan membentuk pemerintah sementara.
Mei 2013
Hamas dan Fatah bertemu di Kairo, membicarakan kesepakatan rekonsiliasi. Keduanya setuju merancang pemilihan umum dan pemerintahan bersama dalam tiga bulan.
Juli 2013
Putaran perundingan damai antara Palestina dan Israel yang sempat mandek sejak September 2010 dibuka kembali atas prakarsa Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry.
23 April 2014
Fatah dan Hamas menandatangani perjanjian rekonsiliasi, tujuh tahun setelah kedua faksi itu pecah. Kesepakatan rekonsiliasi dibuat berdasarkan persetujuan yang dicapai sebelumnya di Kairo dan Doha.
Sumber: Al-Jazeera, Haaretz, berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo