Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangsung di Kota Vatikan dan Wadowice, Polandia, peristiwa kanonisasi pada Minggu, 27 April, seakan-akan melukiskan kembali dua wajah Karol Wojtyla. Di Vatikan, pemberian gelar santo-level kudus tertinggi dalam tradisi Gereja-bagi Yohanes Paulus II, nama kepausan Wojtyla, serta pendahulunya, Paus Yohanes XXIII, adalah seremoni megah yang menghimpun kepala negara, raja, ratu, serta perwakilan pemerintah dari lima benua. Televisi Vatikan memperkirakan 1 juta lebih peziarah hadir dalam perayaan ini.
Mereka bersesakan di pelataran Basilika Santo Petrus di bawah langit cerah musim bunga, menyaksikan dari dekat penghormatan istimewa, suatu grande finale, bagi dua tokoh pembaharu utama Gereja dari abad ke-20. Wojtyla bahkan mengisi Takhkta Suci hingga melampaui milenium, sebelum berpulang pada 2005. Perayaan di Vatikan mematrikan wajah Wojtyla sebagai tokoh dunia, penyokong gereja universal, serta pengelana kelas dunia: front man in the global world. Tua-tua dari berbagai agama, bahkan pemimpin beberapa negara yang berseteru, duduk bersisian dengan khidmat sepanjang misa selama tiga jam lebih .
Toh, Wojtyla tetaplah anak kampung dari Wadowice, kota kecil di selatan Polandia yang penduduknya tak sampai 20 ribu orang. Tak ada pesta akbar macam di Vatikan saat 3.000-an warga mengenang Jan Pawel II-sebutan Yohanes Paulus II dalam bahasa Polandia-pada Minggu yang sama. Sejumlah turis ikut hadir, termasuk Tempo. Juga, umat dari gmina atau desa-desa terdekat semacam Babica, Ponikiew, Roków, dan Stanila.
Penduduk Wadowice mengenang Wojtyla dengan cara khas: ikon di mana-mana. Foto, lukisan, patung. Dan panji-panji yang bergambar wajah sang Paus. Ikon Wojtyla bahkan jauh lebih banyak ketimbang Yesus dan Bunda Maria. Padahal Madona-sebutan bagi ibu Yesus-amat dijunjung di seluruh negeri dan dihormati secara khusus oleh Wojtyla.
Di dekat alun-alun Wadowice, patung perunggu seukuran tubuh aslinya ditegakkan di atas batu, lengkap dengan jubah, tiara, serta tongkat. Para peziarah mengunggah doa, menampung air dari dasar patung dan memperlakukannya bagai zat suci. Di jalanan, koin emas, lukisan, atau poster bergambar Karol Wojtyla ditawarkan ke para turis. Di kota inilah Wojtyla lahir pada 18 Mei 1920. "Kami datang untuk melihat tempat lahir Yohanes Paulus II," kata Johannes Pichler, turis asal Austria, yang datang bersama keluarganya.
Karol Jozef Wojtyla terpilih sebagai paus pada 16 Oktober 1978. Tatkala berpindah ke Vatikan, dia membawa serta Polandia di dalam hatinya. Ikon Bunda Maria di dalam kamar tidurnya selama 27 tahun dia bawa dari Krakow. Kardinal Stanislaw Dziwisz, sesama anak Polandia, menjadi sekretaris pribadinya hingga Yohanes Paulus II berpulang. Sebaliknya, Wojtyla adalah "pilar yang meneguhkan" Polandia-seperti yang dilukiskan Michael Walsh dalam bukunya, An Illustrated History of the Popes.
Dalam pertemuan dengan Tempo di Desa Janow Podalskie, 13 tahun silam, Jozef Romaniuk, petani desa itu, menuturkan kenangannya tentang saat-saat Uskup Agung Krakow terpilih sebagai paus. "Warga desa berkumpul di gereja setelah berita besar dari Roma itu tiba. Lonceng di dusun-dusun dan kota berdentang. Umat menari, berdoa, tertawa, dan berpekik," kata Jozef, yang kini berusia 78 tahun.
Ipar Jozef, Piotr, rohaniwan dari kongregasi Serikat Sabda Allah, menuturkan, dari gmina hingga ke pusat kota orang berhamburan ke luar rumah. Mereka membawa potongan kayu atau besi berbentuk salib, lalu menancapkannya dalam-dalam ke tanah. Ini tanda harapan atas penderitaan panjang di bawah rezim komunisme. Di kemudian hari, Yohanes Paulus II dikenal, antara lain, karena perannya di "belakang layar" dalam meruntuhkan tembok raksasa komunisme bernama Uni Soviet.
Kanonisasi dua bekas pemimpin Vatikan ini memecahkan sejumlah rekor. Untuk pertama kalinya, dua paus sekaligus hadir dalam pemberian gelar kudus bagi dua paus, yakni Paus Emeritus Benediktus XVI dan Paus Fransiskus. Rekor lain dipecahkan oleh Yohanes Paulus II, yang menjadi santo hanya dalam sembilan tahun. Lazimnya perlu waktu panjang hingga ratusan tahun. Bernardus Singgih Guritno, pastor asal Keuskupan Agung Semarang, yang hadir di sana, bercerita bahwa umat mulai berarak sekitar pukul empat pagi agar bisa ikut misa pukul enam. Sebagian tidur di dekat Lapangan Santo Petrus. Gerimis turun sebelum misa, lenyap saat misa dimulai, dan turun kembali seusai perayaan. "Suasananya khidmat. Bendera Polandia berkibar di mana-mana," ujarnya kepada Tempo.
Salah satu yang hadir dalam misa ini, Suster Marie-Simon-Pierre, 49 tahun, biarawati asal Prancis. Dia didiagnosis menderita parkinson pada 2001. Penyakit yang menggerogoti fungsi otak itu membuat Marie tak bisa menulis ataupun sekadar memegang pena. Pada saat yang sama, Yohanes Paulus II dilanda sakit serupa hingga dia meninggal.
Marie kemudian berdoa secara rutin dengan perantaraan sang Paus. Suatu hari, dua bulan setelah Karol Wojtyla wafat, Marie mendengar suara yang memintanya mengambil pulpen dan menulis. Ternyata dia bisa menorehkan nama Yohanes Paulus II dengan amat jelas. Marie menjadi tahir. "Yohanes Paulus telah menyembuhkan saya," katanya seperti ditulis New York Daily News. Ahli sarafnya tak bisa menjelaskan bagaimana parkinson lenyap dari raga Marie (lihat boks "Dua Tanda Heran").
Mukjizat ini, diselidiki dengan ketat oleh investigator Vatikan dan baru dibuka belakangan, merupakan salah satu pertimbangan menjadikan Yohanes Paulus II sebagai santo. Proses ini sebenarnya tergolong cepat, dimulai hanya satu bulan setelah dia meninggal. Bandingkan dengan Teresa dari Kolkata-atau Bunda Teresa-yang berpulang pada 1995 dan hingga kini baru bergelar beata.
Yohanes Paulus II dipandang sebagai salah satu pemimpin Gereja Katolik paling progresif. Dia menguasai 12 bahasa asing dan berkelana ke 129 negara, menemui hampir 1.600 kepala negara selama 26 tahun masa pontifikatnya. Visitasinya sampai pada tempat yang hampir tak pernah disentuh para pendahulunya. Antara lain, Masjid Agung Ummayah di Suriah, di mana dia mencium Al-Quran. Dia berdoa di Tembok Ratapan di Yerusalem, layaknya tradisi Yahudi-sekaligus menyibak tirai-tirai yang menyekat hubungan antaragama dan kepercayaan.
LAKU Yohanes Paulus II mungkin tak akan pernah terwujud tanpa peran Giovanni Battista Roncalli, yang kemudian berjulukan Paus Yohanes XXIII. Ditahbiskan sebagai paus pada usia 77 tahun, tiada yang meyakini dia mampu membuat gebrakan. Nyatanya, Yohanes XXIII memulai langkah awal pembaruan Gereja Katolik secara besar-besaran melalui Konsili Vatikan II, yang dihelat pada 1962-1965. Roncalli wafat pada usia 81 tahun, digantikan Paus Paulus VI, dua tahun sebelum Konsili rampung.
Hasil Konsili Vatikan II yang melibatkan 2.500-an uskup sedunia kemudian menjadi batu sendi perubahan gerak Gereja, dari Eropa-sentris menjadi mondial, menerabas batas-batas benua. Misa yang semula hanya boleh dilangsungkan dalam bahasa Latin bertransformasi sesuai dengan kebudayaan tiap daerah-sekadar menyebut contoh.
Konsili juga memicu keterbukaan Gereja Katolik melalui proses panjang dan tidak mudah. Selama hampir 2.000 tahun, paham yang diyakini sebagai dogma adalah extra eclessiam nulla salus (di luar gereja tiada keselamatan). Adapun Konsili yang digagas Yohanes XXIII menghapus paham itu dalam dokumen bertajuk Lumen Gentium atau Terang Bangsa-Bangsa. "Ada sekitar 5.000 biarawan keluar karena tak setuju dengan Konsili Vatikan II," kata Krispurwana Cahyadi. Imam Serikat Jesus ini banyak menulis tentang karya-karya Yohanes Paulus II.
Menurut Krispurwana, Yohanes XXIII berpesan dalam Konsili, aggiornamento atau bukalah jendela. Maknanya agar bau busuk keluar dan angin segar masuk. Karol Wojtyla-saat itu masih berstatus uskup-menyiapkan sejumlah dokumen penting menyangkut kebebasan beragama dan konstitusi pastoral tentang Gereja dalam dunia modern dalam Konsili tersebut. "Yohanes XXIII memulai keterbukaan gereja, dan Yohanes Paulus II mewujudkan keterbukaan itu melalui karyanya," Krispurwana menegaskan.
Keduanya ibarat penjaga jendela yang memastikan selalu ada aliran angin yang mengembuskan kesegaran ke dalam Gereja beserta seluruh tradisinya.
Pramono, Hermien Y. Kleden (Jakarta) Tito Sianipar (Wadowice, Polandia)
Dua Tanda Heran
Kanonisasi adalah memasukkan seseorang ke daftar orang kudus. Tradisi Gereja Katolik mengenal empat tahapan menuju kanonisasi. Mula-mula tokoh yang meninggal ditetapkan sebagai "pelayan Tuhan" dan diusulkan oleh uskup setempat untuk diangkat menjadi orang suci.
Kongregasi Bidang Santo-Santa di Vatikan lantas meneliti usul ini. Jika tokoh yang bersangkutan dianggap layak, mereka meneruskan usul ke paus agar menetapkannya sebagai venerabilis atau "yang dihormati". Pada level ini, buku doa untuk meminta berkat Tuhan melalui nama tersebut sudah boleh disebarkan.
Babak selanjutnya, calon tersebut dinobatkan sebagai beato (untuk pria) dan beata (untuk wanita) atau "yang berbahagia". Agar dapat dibeatifikasi, diperlukan minimal satu tanda heran alias mukjizat yang terjadi atas nama si calon. Umpama, terjadi kesembuhan ajaib karena seseorang berdoa melalui perantaraan venerabilis. Para beato/beata sudah boleh dihormati selayaknya orang suci. Satu tanda heran kembali disyaratkan untuk mengantar "yang berbahagia" lolos ke barisan para kudus.
Lazimnya butuh waktu bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, untuk meneliti sebuah laporan tanda heran. Dalam hal kesembuhan ajaib, harus dipastikan benar bahwa secara medis pasien sudah tak bisa disembuhkan sama sekali. Pemulihan sempurna lewat perantaraan venerabilis harus berlangsung dalam seketika, menyeluruh, dan tak bisa dijelaskan secara medis.
Philip Parera & HYK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo