Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rumah Badui di Tanah Yahudi

Seorang pria Badui membangun rumahnya 100 kali dan 100 kali pula rumah itu dihancurkan tentara Israel.

21 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rumah Badui di Tanah Yahudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYEKH Sayekh Abu Madi'am kini hanya bisa duduk bersila di atas plastik yang menjadi lantai "rumah"-nya, sebuah tenda setinggi orang dewasa yang tegak di dekat sebuah makam suku Badui di Al-Araqib, Naqaf, Israel selatan. Kakek 68 tahun itu tinggal di sana sejak pengadilan Israel mengusir dia dari rumahnya di Al-Araqib, akhir Desember tahun lalu. Februari nanti, dia akan digelandang masuk hotel prodeo untuk dipenjara selama 10 bulan gara-gara membangun rumah di atas tanahnya sendiri.

"Ini preseden berbahaya karena ratusan orang tinggal di tanah-tanah yang bersengketa dengan negara," kata Shada Ibn Bari, pengacara Abu Madi'am. "Ini upaya untuk mengusir rakyat dari tanah mereka, bahkan sebelum masalah kepemilikan lahan diputuskan oleh pengadilan."

Abu Madi'am adalah salah satu anggota klan Al-Turi dari suku Arab Badui di Naqaf (kadang disebut Negev) yang terusir dari rumah dan tanah mereka. Menurut Thabet Abu-Ras, dosen geografi dan lingkungan Ben-Gurion University, Naqaf, lebih dari 160 ribu orang Badui bermukim di Naqaf, daerah di selatan Israel, atau 25 persen populasi kawasan itu. Sekitar separuh dari mereka tinggal di 38 desa yang tak diakui oleh negara, termasuk desa Abu Madi'am. Mereka juga hidup tanpa infrastruktur dasar serta layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai.

Israel, sebaliknya, mengklaim lahan itu sebagai tanah negara. "Di Naqaf, kita menghadapi masalah serius: sekitar 90 ribu hektare tanah pemerintah tidak di tangan kita, tapi di tangan penduduk Badui. Saya, sebagai penduduk Naqaf, melihat masalah ini setiap hari," tulis Ariel Sharon, saat itu Perdana Menteri Israel, pada 2000, di jurnal Land.

Menurut Human Rights Watch, pemerintah Israel telah 10 kali merobohkan rumah-rumah sederhana Badui selama Januari-Agustus 2017. Selain merobohkan rumah di desa Abu Madi'am, pemerintah telah merobohkan 28 rumah Badui di Naqaf dan 14 kali menghancurkan ladang orang Badui. Organisasi pemantau hak asasi manusia itu menilai penduduk Badui mengalami "pembongkaran rumah yang diskriminatif" meskipun sudah tinggal di sana sebelum Israel berdiri pada 1948.

Masalah tanah Badui berakar di masa lalu. Suku itu bermukim di kawasan Palestina sejak era Kesultanan Utsmaniyah, yang berkuasa di sana hingga 1917. Orang Palestina, termasuk Badui, mengakui musha-sistem kepemilikan tanah bersama-bagi tempat mereka tinggal dan hidup. Pemerintah Utsmaniyah hendak mengubah sistem itu dengan menerapkan Undang-Undang Tanah Tahun 1858, yang mewajibkan setiap penduduk Palestina mendaftarkan tanahnya ke kantor pertanahan. Tapi masyarakat enggan melakukannya karena ingin menghindari pajak atau jauhnya tempat pendaftaran, seperti di Beirut dan Damaskus.

Ketika Inggris berganti menguasai Palestina, selama 1917-1948, penataan tanah dilanjutkan. Inggris merevisi aturan pertanahan dengan pertimbangan agar tanah itu lebih berharga untuk dijual. Caranya dengan pengkavelingan, seperti yang sudah diterapkan di Inggris. Sir Ernest MacLeod Dowson, administrator kolonial Inggris di Palestina pada 1920-an, ingin mengkaveling-kaveling tanah sehingga dapat disurvei dan dijual. Ini membuka peluang lebih besar untuk menjual tanah itu ke kaum Zionis.

Ketika pecah Perang Arab-Israel pada 1948, sekitar 750 ribu orang Palestina, termasuk Badui, mengungsi. Dua tahun kemudian, Israel menerapkan undang-undang yang menyatakan tanah yang ditinggalkan orang Palestina itu sebagai tanah "tanpa pemilik" dan menjadi milik negara. Dengan cara ini, mereka dapat membangun permukiman bagi kaum Yahudi.

Ketika orang Palestina kembali, Israel mengizinkan mereka mengklaim kembali tanah mereka asalkan punya dokumen yang memadai. Masalahnya, seperti dipaparkan Gary Fields dalam Enclosure: Palestinian Landscapes in a Historical Mirror, kebanyakan pemilik tanah hanya dicatat sebagai deskripsi tertulis, seperti tanah ini dibatasi jalan di sebelah utara dan lereng di selatan. Pemerintah Israel tak mengakuinya sebagai dokumen yang sah.

Nasib kaum Badui lebih miris. Selama 1950-an, pemerintah Israel mengusir orang Badui dari tanah-tanah tempat mereka biasa tinggal dan menggembalakan ternak. Pemerintah tak mengakui kepemilikan tanah mereka. Ini termasuk tanah Abu Madi'am di Naqaf yang dekat dengan Rute 40, jalan tol yang membelah dua kawasan tengah Israel dari utara ke selatan.

Tapi Abu Mad'iam dan orang Badui lain kembali ke tanah mereka secara bertahap. Masalah pun timbul. Orang Badui merasa bahwa Kesultanan Utsmaniyah dan Inggris mengakui tanah mereka, jadi Israel pun harus mengakui. Abu Mad'iam bersama orang Badui lain berjuang selama bertahun-tahun untuk merebut kembali tanah mereka. Mereka berulang kali membangun rumah di atas tanah itu dan berulang kali pula pemerintah setempat menghancurkannya. Rumah Abu Madi'am sudah lebih dari 100 kali dibangun dan 100 kali pula dirobohkan Israel.

Pemerintah menggusur rumah Abu Madi'am pada 1998. Pada 2000, pengadilan mengeluarkan larangan bagi Abu Madi'am untuk masuk ke daerah itu. Abu Mad'iam lalu mengajukan klaim kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri Be'er Sheva. "Dokumen ini dari tahun 1905, era Ustmaniyah," kata Abu Mad'iam seraya menunjukkan kertas-kertas yang dia klaim sebagai bukti kepemilikan tanahnya kepada wartawan RT, akhir Desember tahun lalu.

Sejak itu, berkali-kali sidang digelar untuk membahas nasib tanah tersebut. Mei nanti, pengadilan akan mendengar kesaksian dari ahli sejarah. Tapi putusan akhir masih menunggu bertahun-tahun lagi. Lagi pula, dari semua persidangan perkara tanah orang Palestina, mayoritas perkara dimenangi pemerintah.

Abu Madi'am tak sabar menunggu sidang. Dia kembali ke tanahnya dan membangun lagi rumahnya, yang kemudian dirobohkan lagi oleh polisi Israel. Pemerintah menganggap tindakannya ilegal dan menyeret sang kakek ke meja hijau pada 2011. Abu Madi'am dituntut untuk membayar hampir Rp 7 miliar buat mengganti biaya perobohan dan evakuasi rumah itu, yang melibatkan ratusan polisi, helikopter, dan kendaraan lain. Pengadilan kemudian mengurangi besar tuntutan itu, tapi Abu Madi'am masih harus membayar Rp 1 miliar lebih untuk biaya evakuasi dan Rp 387 juta buat ongkos pengacara.

Abu Madi'am tak jera dan kembali ke tanahnya, lalu membangun rumah lagi. Dia juga menanam pohon dan berladang di sana. Pada 2013, ia kembali didakwa melanggar larangan masuk ke tanah itu, menduduki tanah, membangun rumah. dan melawan pegawai Badan Pertanahan Israel yang hendak mengevakuasinya. Pada September 2017, ia didakwa lagi untuk 19 kasus penerobosan, 19 kasus masuk tanah umum tanpa izin, dan melanggar perintah pengadilan. Abu Madi'am meminta pemerintah menunggu putusan pengadilan soal klaim tanahnya, tapi pemerintah menyatakan bahwa itu adalah tanah negara hingga terbukti lain dan pengadilan menerima sikap tersebut.

Pada Desember 2017, jaksa penuntut meminta pengadilan menghukum Abu Madi'am hingga 15 bulan penjara dan denda Rp 350 juta lebih. Jaksa mengatakan dia menuntut hukuman yang lebih keras, meskipun Abu Madi'am sudah tua dan riwayatnya bersih, karena sang syekh menyatakan berencana terus tinggal di daerah itu. Hakim Yoav Atar akhirnya menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara, yang dimulai Februari nanti, dan denda Rp 140 juta lebih. Abu Madi'am tak gentar. "Butuh waktu bertahun-tahun hingga perjuangan ini selesai," ujarnya.

Di Al-Araqib, kini tersisa 250 orang yang berjuang bersama Abu Madi'am. Mereka membangun empat rumah sederhana sebagai perlawanan terhadap pemerintah. Kini mereka juga khawatir makam suku pun akan dihancurkan. Padahal, menurut Abu Madi'am, hanya orang dari klan Al-Turi yang boleh dikubur di sini. "Semua orang di sini adalah keluarga," kata Abu Madi'am, yang kini tinggal di dekat makam itu.

Iwan Kurniawan (ynet, Haaretz, Rt, The New York Review Of Books)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus