Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Gagrak Darmanto Jatman

Darmanto kerap diledek tak mahir berbahasa Indonesia hanya karena cukup banyak puisinya yang mencampuradukkan aneka bahasa. Hadir sebagai manusia Jawa di tengah amuk globalisasi adalah sikap cerdik.

21 Januari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gagrak Darmanto Jatman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIAYI itu bisa saja menjadi Semar. Tapi ia memilih menjadi Togog atau Bilung. Karena itulah ia menulis Dunia Bilung atau Mbilung Limbukan. Ia juga bisa menjadi Rama. Namun ia memilih menjadi Kumbakarna atau Sukaesi. Karena itulah ia menulis "Nasihat untuk Begawan Wisrawa": anakmu Rahwana/ bakal jadi pahlawan besar negeri Alengka/ membebaskan bangsanya dari serbuan Rama.

Dalam aneka teks, pria yang nyaris jarang disapa sebagai Profesor Drs Sudarmanto Jatman, SU, itu juga tak mau menjadi suara Arjuna. Penulis buku Psikologi Jawa ini memilih menjadi sesuatu yang oleh penyair Octavio Paz disebut sebagai the other voice. Ia memilih menjadi Towikromo, Marto Klungsu dari Leiden, Karto Tukul, Atmo Boten, Tukini, Soma Transmigran, Mangunkarsa, Cakil, Kromo, Karto, Badranaya, Sukardal, lalat, coro, Kramaleya, Ciprut, sapi, Wu Lan, dan Tople. Kita kemudian tahu Darmanto menulis sajak "Golf untuk Rakyat", "Hai Tibum", dan "Hukuman Karto". Ia berpihak kepada rakyat yang disingkirkan oleh pembangunan. Ia tak khawatir sajaknya disebut gombal.

***

PENULIS "Hai Sapi" itu juga bisa menjadi profesor mapan di bidang psikologi. Namun, dalam "Main Cinta Model Kwang Wung", jauh sebelum menjadi intelektual andalan Universitas Diponegoro, ia memilih menyuarakan persamaan hak: siang-malam, musnahlah beda kalian/ laut-darat, musnahlah beda kalian/ laki-perempuan, musnahlah beda kalian/ half korean, half chinese hawaian american maiden - satus persen wong lanang jawa yogya - indonesia, musnahlah beda kalian!

Darmanto Jatman, priayi kelahiran Jakarta, 16 Agustus 1942, juga bisa menjadi pelancong klimis. Bisa hanya menjadi intelektual sopan. Tapi, ketika meledek kesopansantunan yang bikin orang menjadi munafik, ia dalam "Bla Bla" bilang: kayak rayap orang-orang london ngerubung liang-liang subway/ pating kruntel madhumani, mombasa, guillermo, sontoloyo/ dan mereka terus nyeloteh: yes sir/ bla bla!/ no sir/ bla bla!.

Itulah yang membuatnya, saat berada di London, menulis sajak "Simpatiku untuk Lik Parto Total" dan tidak melulu terpesona oleh Big Ben. Tidak keder pada Westminster Abbey dan gedung-gedung pencakar kaca, ia mencerocos: Muliha ngger, ngger/ Nggolek srengenge kok adoh-adoh/ Direwangi adol kebo, adol gudel/ Neng desamu srengenge sumunar/ tanpa busana salju beku/ yang keras lagi menggigilkan.

***

DARMANTO Jatman kerap menyebut sajak-sajaknya sebagai experimental poetry. Saya tidak percaya pada ungkapan itu. Bahasa tak akan sanggup mewadahi semua pengalaman. Saya selalu bilang yang menyebabkan sajak-sajaknya khas bukanlah pengalaman yang akrobatik, melainkan karena Pak Dar mengembangkan pola pikir glokalisasi. Penghargaan yang tinggi pada kelokalan dan pemberian empati tak berlebihan pada keglobalanlah yang menjadikan Darmanto menulis dengan "multilingualisme". Ia menggabungkan antara lain bahasa Inggris, Arab, Jawa, Jerman, dan Tiongkok dengan sangat leluasa. Karena begitu khas cara berpikir, menuangkan, dan membacakan puisi-puisinya, saya menyebut Darmanto telah menciptakan gagrak atau corak puisi yang tak bisa ditiru penyair lain. Ia telah menciptakan gagraknya sendiri, gagrak Darmanto Jatman.

Ia tidak sepaham dengan pendapat saya. Karena tetap tak sepaham-hingga akhir hayat-setiap bertemu, bahkan ketika saya bacakan "Istri" dan "Sekarang Bahwa Aku Merasa Tua" tiga tahun lalu, ia meledek saya: "Cah edan. Cah edan."

***

DARMANTO kerap diledek tak mahir berbahasa Indonesia hanya karena cukup banyak puisinya yang mencampuradukkan aneka bahasa. Ledekan itu keliru. Hadir sebagai manusia Jawa di tengah amuk globalisasi adalah sikap cerdik. Sikap yang pada kemudian hari disebut sebagai glokalisasi. Sikap yang memungkinkan ia pada 1980-an membacakan Ki Blakasuta Bla Bla di Poetry Reading Rotterdam atau Adelaide Festival of Arts. Sikap yang layak diganjar SEA Write Award pada 2002. Sikap yang akhirnya menjadikan Jawa bisa bergaul dengan dunia.

Kini penulis Golf untuk Rakyat, Bangsat, Isteri, dan Sori Gusti itu telah wafat. Namun, dalam "Seorang Modern Menulis Puisi", ia meninggalkan suara: Terpandang dengan warna kuning/ Semua jadi kuning/ Buah-buahan tua pun menguning/ Peradaban menguning/ Dan Tuhan yang di sorga pun nampak kuning.//

Selamat jalan, Pak Dar. Insya Allah kita akan bertemu dan kelak Sampean, sambil menepuk-nepuk pipi saya, boleh bilang: "Cah edan! Cah edan." Lagi dan lagi.

Triyanto Triwikromo, Sastrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus