DI Italia, kesebelasan Rumania memikul dua beban: lawan-lawan, tangguh dan ketidakpastian hari depan negerinya. Hal itu menyebabkan sejumlah pendukung kesebelasan ini, dan konon ada juga beberapa pemain, mencari suaka di Italia. Rabu pekan silam sekitar l0 ribu buruh tambang tiba-tiba tumpah ke jalan-jalan Bukarest, meneror dan memukuli orang-orang di jalanan yang dituduh antipemerintah. Mereka meneriakkan yel-yel mendukung Revolusi Desember dan merajalela di seluruh kota. Kantor partai-partai oposisi tak pelak lagi jadi korban penyerangan dan pembakaran. Sampai Ahad kemarin diperkirakan sekitar selusin orang tewas dan 250 yang lain luka-luka. Yang menjengkelkan pihak oposisi, aksi buruh tambang itu jelas sekali didukung oleh tentara dan polisi. Tentara dan tank yang berjaga bukan untuk mengembalikan ketertiban, tapi lebih untuk menduknng gerakan buruh tambang. Buktinya, tentara dan polisi tak bertindak apa-apa. menyaksikan penganiayaan yang dilakukan oleh buruh-buruh tambang itu. Kericuhan terakhir yang melanda bekas negeri komunis itu berawal dari hasil pemilihan umum pertengahan Mei lalu. Pemilihan umum bebas pertama yang diselenggarakan dalam 50 tahun belakangan ini menghasilkan kemenangan mutlak bagi Front Penyelamatan Nasional (FPN). Hingga ketua FPN Ion Iliescu terpilih menjadi presiden. Sementara itu, golongan oposisi menuduh telah terjadi kecurangan dalam pemilu. Mereka pun menuduh tokoh-tokoh FPN, termasuk Presiden Iliescu, masih punya afiliasi dengan Partai Komunis almarhum. Karena itu, para demonstran antikomunis turun ke jalanan dan memenuhi pusat ibu kota, terutama di kawasan Calea Universitae (Bundaran Universitas). Di sana mereka melakukan aksi duduk, malah ada yang menjalankan mogok makan. Kegiatan itu telah berlangsung selama hampir sebulan, sehingga menjengkelkan pemerintah. Akhirnya, pada 13 Juni polisi bertindak dengan membubarkan kerumunan orang di Bundaran Universitas tersebut. Hanya dalam dua jam huru-hara terjadi. Iliescu, yang keteteran memanggil para buruh tambang yang diangkuti ke dalam kota dengan ratusan bis milik pemerintah. Dengan mengatasnamakan "pelindung Revolusi Desember" mereka mengamuk dan menerjang semua pihak yang -- dianggap sebagai elemen-elemen antipemerintah. Kekacauan baru itu adalah ekor perpecahan di dalam FPN sendiri. yang sudah muncul sejak satu bulan setelah Revolusi Desember. Ketika kekuasaan diktator Ceausescu dan Partai Komunis Rumania (PKR) sudah terjungkal oleh revolusi yang dimotori FPN, muncullah gagasan agar negeri itu menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara murni, antara lain pemilu. Di dalam FPN sendiri terjadilah debat apakah organisasi yang berfungsi sebagai pemerintah sementara itu akan ikut dalam pemilu sebagai partai politik. Iliescu, yang dijagokan golongan buruh, memilih keikutsertaan FPN dalam pemilu. Atas dasar itulah, pada 23 Januari, Silviu Brucan, salah satu tokoh FPN, mengatakan massa menginginkan agar FPN turut dalam pemilu. Alasannya, "supaya tak terjadi vakum kekuasaan." Para mahasiswa dan cendekiawan menentang langkah itu. Soalnya, ketika FPN terbentuk, mereka berjanji takkan berpolitik. Front di mata mereka adalah sebuat wadah populer yang lahir lantaran revolusi dan bukan untuk revolusi. Kesenjangan antara kedua pihak semakin besar ketika FPN benar-benar terjun dalam pemilu. Sebagai pemegang kendali pemerintahan, FPN menguasai segala macam media untuk propaganda -- radio, televisi, dan surat kabar. Sementara itu, oposisi yang terdiri dari Partai Kristen Demokrat, Partai Nasional Petani, dan Partai Nasional Liberal, tak lebih hanya partai-partai empuk. Dengan pemilu yang dianggap tak seimbang itu, FPN dengan mudah bisa berkuasa sebagai partai tunggal. Keributan yang terjadi sebenarnya juga berakar keretakan di dalam masyarakat Rumania sendiri. Di satu pihak berdiri kaum buruh yang mendukung FPN. Buat mereka, semakin cepat pemilu diadakan semakin cepat pula pemerintah terbentuk sehingga kehidupan ekonomi dan sosial diharapkan cepat pulih. Di pihak lain berdiri partai-partai politi yang menuduh FPN telah mengkhianat perjuangan. Mahasiswa dan cendekiawan yang berdiri di antara kedua pihak, ragu-ragu apakah mendukung front atau membenarkan partai-partai. Sementara itu, sepak terjang FPN olet para cendekiawan dianggap mirip kelakuan PKR dulu. FPN selalu mengklaim dirinya sebagai pemerintah yang sah. Bahkan hanya sekitar dua bulan setelah revolusi, FPN melarang aksi protes dan demonstrasi di sekitar kantornya. Banyak yang menduga, kerusuhan minggu lalu hanyalah permulaan dari sesuat yang jauh lebih besar di hari-hari mendatang, orang berpikir tentang kemungkinan revolusi kedua. A. Dahana dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini