Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sang pendatang, setelah lima abad

Malaysia adalah tanah harapan bagi sebagian orang. tingkat pendapatan yang tinggi di malaysia menggiurkan para pendatang. ternyata, menyelundup masuk malaysia tidak sulit, asal mau keluar duit. (ln)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya Pawe adalah pendatang haram. Tahun ini ia kembali dari Tawao, Malaysia Timur, ke kampung halamannya di Parepare, Sulawesi Tenggara. Antara kedua kota itu terpisah Selat Makassar dan rentang masa tiga tahun. "Di Malaysia tidak susah cari kerja," kata bekas petani itu berpromosi. Karena itu buruh perkebunan itu berminat membawa teman sekampungnya ke negeri orang bila ia kembali ke sana. Tapi Pawe tidak tahu bagaimana cara membawa kedelapan temannya. Di Nunukan, ia punya kenalan seorang mandor perkebunan. Kepada mandor tadi, Pawe akan menyetor Rp 250.000 per kepala. Uang itu nantinya untuk membayar tambang ke Tawao 20 ringgit. Sisanya untuk mengurus paspor. Menurut selentingan yang mereka dengar, paspor buatan Ujungpandang, apalagi Parepare tidak berlaku untuk ke Malaysia. "Itulah sebabnya Kantor Imigrasi Parepare rata-rata hanya mengeluarkan 10--15 paspor dan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) per bulan," kata Wahidin, pejabat di kantor tadi kepada wartawan TEMPO Syahrir Makkurade. Tentu saja Wahidin kesal karena kabar tadi - sepanjang yang ia ketahui biasanya ditiupkan oleh sindikat yang mengatur pengiriman tenaga kerja ke Malaysia secara gelap. Tujuannya, apalagi kalau tidak untuk, menggiring para calon perantau ke jerat mereka. Buat calon perantau dari Nusa Tenggara Barat, perjalanan mereka masih lebih jauh. Kadang mereka harus berjuang melawan arus ganas Selat Alas, yang memisahkan Pulau Lombok dan Sumbawa, dengan perahu untuk mencapai kapal yang menanti di tengah laut. Kapal itu memang kapal gelap, yang akan mengangkut calon pendatang gelap ke negeri seberang. Maka, sejumlah tindakan pencegahan terpaksa dilakukan. "Kapal-kapal yang berlayar menuju Batam, tanpa penumpang dari pelabuhan, tak lagi diizinkan oleh Syahbandar," ujar Letkol Pol Wisnu Hartono, Kapolres Sumbawa, kepada Supriyanto Khafid dari TEMPO. Toh masih banyak jalan ke Roma, kata orang. Tahun 1984, Arifin Husni memutuskan merantau ke negeri orang. Bersama istri dan anak-anaknya, ia cuma berbekal surat jalan yang menyatakan hendak mencari pekerjaan di Tanjungpinang". Maka, safari mengadu nasib dimulai, dengan perjalanan darat yang melelahkan, menuju Surabaya. Lalu Jakarta, Dumai, dan menyeberang ke Tanjungpinang. Di sana sudah banyak tekong (calo) menunggu orang-orang sebangsa Arifin. Serahkan saja kepada mereka segala urusan tetek bengek. Perahu pun berangkat, dengan Arifin sekeluarga di atasnya, menempuh dua jam perjalanan ke Johor, Malaysia. Di tempat yang baru itu, tekong melepas Arifin setelah menerima 200 ringgit per kepala dari majikan baru. "Dulu, saat pertama kali datang, dalam tempo seminggu saya sudah punya KTP," ucap Niar, asal Desa Pudagit, Pulau Bawean, mengenang petualangannya tujuh tahun lalu. KTP-nya berwarna merah, dengan masa berlaku tidak terbatas. Resminya, kartu ini bisa diperoleh dengan tarif 60 ringgit. Bagi mereka yang tidak mempunyai surat-surat perjalanan, tarifnya 200--600 ringgit. Mereka yang sudah mempunyai kartu identitas, asli atau aspal, biasanya enggan menggelandang jika pekerjaan kebetulan sepi. Kebanyakan mereka pulang kekampung. Jangan heran jika mereka kembali ke tanah air memakai paspor yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi di Malaysia, Paspor Terhad. Nizar, misalnya, Jumat pekan lalu pulang dengan cara demikian. Paspor yang berlaku hanya satu bulan itu, berikut tiket, bisa diperoleh dengan harga 400 ringgit. Hanya saja, "Di (bandara) Cengkareng, kami memberi uang rokok. Di (bandara) Subang kami mengasih uang kopi," kata Nizar. Tentu saja yang dia maksudkan adalah para petugas di bandar udara ibu kota kedua negara itu. Dari mana paspor itu didapatnya? Ternyata, mudah. Pengurusannya melalui bos pendatang haram, yang berpangkalan di Kampung Melayu, Kuala Lumpur. "Perginya boleh diharamkan, asal pulangnya dihalalkan. He...he," seloroh Nizar. Menurut ketentuan, pemegang paspor itu sebenarnya diharuskan melapor kepada petugas kantor Imigrasl pelabuhan pendaratan yang menahan Paspor Terhad tadi. Tapi Nizar lebih suka hengkang langsung ke Bawean. Jika hasrat hatinya memanggil kembali ke Malaysia nanti, ia akan memakai jalur gelap lagi - hal yang kerap dia lakukan. Begitu seterusnya, bagai lingkaran setan. Inilah sebuah pengulangan jalinan proses sejarah yang melewati kurun lima abad lebih. Catatan para sejarawan memang menunjuk kenyataan adanya pendatang asal Jawa di Semenanjung Melayu, sejak dulu. Dalam legenda Hang Tuah, misalnya, disebut adanya beberapa pembesar Jawa yang mendampingi Sultan Melaka. Dari goresan Tun Sri Lanang dalam Sadjarah Melayu, 1612, terlukis adanya permukiman orang Jawa di Kesultanan Melaka. Jumlah mereka makin besar, dan di tahun 1881 tercatat 5.885 jiwa. Menurut sensus 1911, jumlah mereka sudah hampir 120.000 jiwa, yang didominasi pendatang dari suku Jawa. Sepuluh tahun kemudian, jumlah pendatang asal Indonesia itu melewati angka 280.000. Dua tahun seusai Perang Dunia II, jumlah mereka mendekati 300.000. Berapakah jumlah mereka sekarang? Menurut catatan Kedubes RI, mereka yang masuk dengan resmi (legal stay dan legal entrants) jumlahnya cuma 22.400. Namun, jika dimasukkan dengan kategori legal entrants tetapi illegal stay (karena visa mereka sudah kedaluwarsa), illegal entrants tetapi legal stay (misalnya kasus Nizar), serta illegal entrants dan illegal stay, jumlahnya tak diketahui. Untuk kategori terakhir, yang biasanya disebut pendatang haram, Kedubes RI memperkirakan jumlahnya sudah di atas 600.000. Malaysia adalah tanah harapan bagi sebagian orang. Batas-batas konstitusional, yang hadir diciptakan manusia setamat Perang, tidak bisa menghalangi mata mereka. Tingkat pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi ketimbang di tanah air adalah salah satu magnet yang menarik mereka meninggalkan kampung halaman. Banyak yang berhasil, tapi tidak sedikit yang gagal. "Secara politis, pendatang dari Indonesia sangat menguntungkan pemerintah Malaysia," ucap Dubes Himawan Sutanto di Kuala Lumpur kepada TEMPO. Dalam artian, setidak-tidaknya, para pendatang tersebut telah mengisi lapisan pekerjaan yang kosong, seperti buruh bangunan dan perkebunan. Hal itu cukup sekali pada tahun 1985, ketika Malaysia membutuhkan 25.000 buruh untuk dipekerjakan di perkebunan mereka. Kendati kebutuhan tadi sangat mendesak, "Jarang masyarakat di Malaysia yang mau menjadi buruh kasar," kata Deputi Menteri Dalam Negeri Megat Junid. Sehingga, pernah di tahun 1974, sektor perkebunan di sana mencatat kerugian 74 juta ringgit, hanya karena tidak cukup tersedia buruh untuk menggarapnya. Enam tahun kemudian, kerugian itu bisa ditekan hingga 14 juta ringgit. Dengan Indonesia, sebenarnya, juga sudah pernah dltandatangani perjanjian yang mengatur pengiriman tenaga kerja, di Medan, 1984. Di sisi lain, perjanjian tersebut diharapkan "untuk mencegah banjirnya pendatang haram," kata Junid. Sejauh ini, menurut sumber-sumber TEMPO, telah dikeluarkan 250 izin kerja (work permit) dan dokumen perjalanan. Tapi kepada mereka tidak diberikan KTP Merah, "Sebab, kalau mereka dapat tanda identitas itu, mereka akan lari ke kota," ujar sumber-sumber tadi. Bukan cuma sekali ini kedua pemerintah mengadakan perjanjian. Kabarnya, semasa pemerintahan Almarhum PM Tun Razak, pernah ada kesepakatan memasukkan sedikitnya tiga juta orang Indonesia ke Malaysia. Hingga kini, tampaknya, kesepakatan tadi belum ada yang terpenuhi. Bahkan dari Perjanjian Medan baru sempat dikirim 1.000 orang. Dan dari jumlah itu, tinggal 200 orang saja yang bertahan. "Ternyata, yang dikirim orang-orang yang tidak pernah mengenal ladang," kata Megat Junid. Ada sopir taksi, bahkan ada sarjana. Kesulitan lain, ternyata pihak pemasok Indonesia meminta bayaran 500 ringgit per kepala. Jika pengiriman resmi saja masih ada ganjalannya, bisa dimengerti kalau ratusan ribu lainnya memilih jalan pintas. James R. Lampian, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus