CITRA pendatang haram asal Indonesia makin rusak gara-gara penyanderaan Hakim Puan Mariana oleh tiga laki-laki berkebangsaan Indonesia di penjara Kuantan, dua pekan lalu. Betulkah para perantau tak berpaspor itu kian meresahkan warga setempat? Kami mengirimkan "pendatang haram" yang lain, Budi Kusumah, yang sempat mencengangkan petugas imigrasi di Bandar Udara Subang karena rambutnya yang panjang menjejak bahu, untuk melacak kebenarannya. "Ternyata, tak gampang menemui para pendatang haram itu," kata Budi dari Kuala Lumpur. "Mereka hati-hati sekali dalam menemui orang-orang tak dikenal. Karena banyak yang tertangkap polisi gara-gara ceroboh." Mencari pendatang haram di tengah warga Malaysia memang bukan perkara mudah - bak mencari jarum di tumpukan jerami. Hampir tak ada yang bisa dibedakan antara pendatang haram dan pribumi Melayu. Postur tubuh, warna kulit, rambut, sampai warna mata, semua sama. Yang lain dari mereka, barangkali, cuma logat bahasa. Bahkan Budi, ketika berjalan-jalan di daerah pedagang kaki lima Chow Kit, Kuala Lumpur, nyaris terjaring "Operasi Seberang" -- pembersihan terhadap pendatang haram. Ceritanya, Kamis petang pekan lalu, Budi, 27, yang tengah mencari info tentang perantau ilegal itu, tiba-tiba dikagetkan oleh razia kartu identitas oleh polisi di daerah kantung pendatang haram tersebut. Ia rogoh kantungnya, tapi malang paspornya ketinggalan di hotel. Budi lalu mencari akal menghindari razia itu dengan masuk ke sebuah restoran. Ternyata, ia diuber terus. Baru setelah bilang bahwa ia wartawan TEMPO (dengan menunjukkan kartu pers tentu) yang tengah melacak kasus pendatang haram, polisi tak jadi menangkapnya. Dari pedagang kaki lima Chow Kit, Budi berhasil memperoleh sejumlah nama dan tempat pemondokan para pendatang haram itu. Mereka yang mengadu nasib di Kuala Lumpur, umumnya, bekerja sebagai buruh bangunan. Rata-rata, penghasilan buruh bangunan ilegal itu memang lebih baik dibandingkan buruh bangunan di sini. Di Kuala Lumpur, seorang tukang batu, misalnya, mendapat upah M$ 17 (Rp 10.000) per hari, sedangkan di Jakarta sekitar Rp 5.000. Tapi risiko yang ditantang pendatang haram juga tak kecil - bisa diseret ke pengadilan, karena masuk Malaysia secara gelap. Dalam mengumpulkan bahan Laporan Utama tentang perantau-perantau tak berpaspor ini, Budi dibantu oleh Ekram Husein Attamimi, koresponden TEMPO di Kuala Lumpur. Pojok-pojok Kuala Lumpur bukan sesuatu yang asing bagi Ekram, 41, yang sudah mukilm di situ hampir 10 tahun, dan bahkan menikah dengan wanita pribumi sana. Laporan Budi dan Ekram dari Kuala Lumpur dituliskan dalam Laporan Utama oleh Surasono, Amran Nasution, James R. Lapian, dan Putut Tri Husodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini