Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pelakuannya bukan cuma orang ...

Pendatang asal indonesia yang terlibat kejahatan di malaysia cukup banyak. tapi dibanding total kejahatan, jumlahnya kecil. lebih banyak dilakukan oleh warga malaysia dan warga negara lain. (ln)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA tentang kejelekan pendatang haram asal Indonesia di Malaysia kini lengkap sudah. Siapa tak percaya bahwa mereka memang jahat? Lewat radio, televisi, dan surat kabar, dua pekan lalu khalayak di Malaysia bisa melihat buktinya. Yaitu ketika tiga pendatang haram, yang dituduh merampok dan membunuh, dan hari itu hendak diadili, menyandera Hakim Mariana Yahya, 27. Dengan sepotong besi lancip, ketiga penyandera yang sudah dua tahun ditahan itu menuntut dibolehkan kabur dari penjara mengendarai mobil milik Bu Hakim. Akhir peristiwa itu sudah diketahui. Dalam tempo sekitar 24 jam, Mariana bisa dibebaskan dengan selamat. Dua pelaku penyanderaan - Agus Salim, 22, dan Ahmad Sulaiman, 25 - tertembak mati pasukan Unit Tindak Khas (UTK). Sedangkan rekannya, Ahmad M. Noor, terluka parah. Dari sekitar 600 ribu pendatang haram asal Indonesia yang ditaksir bermukim di Malaysia, wajar memang bila ada yang "cacat". Di pasar Chow Kit, Kuala Lumpur, yang dikenal sebagai tempat konsentrasi pendatang asal Indonesia, misalnya, banyak orang yang kerjanya hanya duduk menggerombol. Anehnya, mereka berduit dan selalu kelihatan necis. Chow Kit agaknya memang tergolong daerah rawan. "Penjahat kambuhan asal Indonesia sering bertandang ke situ," tutur seorang polisi Diraja Malaysia, yang pernah melakukan studi perbandingan di Polres Jakarta Pusat. Itu sebabnya mengapa Chow Kit-- terutama bila tindak kriminalitas di Kuala Lumpur meningkat--sering dirazia. Bila tersangka penjahat tak bisa ditemukan, petugas paling tidak masih bisa menggaruk orang-orang yang tak ber-Red IC. Kartu identitas berwarna merah ini merupakan bukti diri bahwa mereka bukan pendatang haram. Dan siapa pun yang sudah apriori terhadap pendatang asal Indonesia akan segera teringat serentetan kasus yang terjadi pada tahun 1984 lewat. Ketika itu, beberapa toko emas dijarah kawanan perampok bersenjata api. Bukan hanya yang di Kuala Lumpur, tapi juga toko emas di Negara Bagian Johor, Selangor, Kelantan, dan Negeri Sembilan. Kawanan itu terkenal nekat dan brutal. Mereka bisa muncul, bergerak, dan kemudian menghilang dengan amat cepat. Terakhir, sekitar akhir November 1984, polisi sana dibuat geram. Yaitu sewaktu toko emas Yew Lee di kawasan Pudu, Kuala Lumpur, didatangi empat perampok. Tiga bersenlata api, satunya menggenggam pisau terhunus. Dalam sekejap, emas perhiasan senilai hampir Rp 290 juta berpindah tangan. Kawanan rampok ini lantas membajak sebuah bis mini, dalam upayanya untuk melarikan diri. Ketika itu, tanpa tahu persis apa yang terjadi, muncul seorang pria berjaket hijau. Lelaki ini, yang kemudian diketahui bernama Mohamed Nash, 36, rupanya disangka petugas keamanan. Dia ditembak, dan tewas tak lama kemudian. Padahal, Nash bukan polisi atau detektif. Ia seorang karyawan kantor telkom, yang sehari-hari bertugas mengantarkan surat-surat telegram. (TEMPO, 8 Desember 1984). Ketika itu, orang Malaysia marah besar. Polisi bekerja keras melakukan penyidikan, dan para tersangka pun bisa ditangkap. Tiga di antara mereka -- Zakaria, Hamid dan Herman -- ternyata orang Indonesia. Dan hanya seorang, Tanjong alias Talipan, yang orang Malaysia. Mana tidak rusak nama pendatang asal sini, 'kan? Dan pendatang asal Indonesia bukan hanya dikenal sebagai perampok, pembunuh, atau hanya sekadar tukang pecah rumah (pencuri). Agustus 1986 lalu, Ramli Kechik asal Langkat, Sumatera Utara, telah menjalani eksekusi digantung sampai mati di penjara Talping sekitar 300 km utara Kuala Lumpur. Ia dipersalahkan, dan dinyatakan terbukti, telah menyelundupkan candu mentah seberat 15,6 kilogram. Bahan mentah morfin dan heroin itu kepergok berada di tangan Kechik, saat ia berada di Kuala Perlis, Juli 1982. Kechik, yang dengan tabah dan langkah mantap menuju tiang gantungan, tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang divonis mati di negeri orang karena kasus narkotik. Untuk kasus begini, Malaysia memang menerapkan hukum yang keras. Selama dasawarsa terakhir, sedikitnya sudah terpidana kasus narkotik yang dieksekusi mati di negeri itu. Dan 42 terpidana lain, yang sudah divonis mati oleh pengadilan tinggi, kini menanti giliran. Dari kasus narkotik ini, sekaligus bisa dilihat bahwa "peranan" orang Indonesia sebenarnya tidak banyak: hanya satu dari sekian puluh pelaku kejahatan yang tergolong kelas berat ini. Selebihnya atau sebagian besar adalah warga Malaysia atau warga negara lain. Dari Hong Kong saja, yang sudah divonis mati oleh pengadilan tinggi, dan menunggu giliran eksekusi, berjumlah 7 orang. Satunya, yang terlibat dalam kasus yang sama - -menyelundupkan 12 kilogram heroin -- "hanya" dijatuhi hukuman seumur hidup. Dan mungkin masih banyak yang ingat siapa itu Geoffrey Chambers dan John Barlow. Juli 1986 lalu, kedua warga Australia itu itu - sama seperti Ramli Kechik dieksekusi hukum gantung sampai mati karena juga menyelundupkan narkotik. Dan sebelum terjadi penyanderaan di penjara Kuantan, pada bulan Oktober 1986 di penjara Pudu, Kuala Lumpur, sebenarnya telah terjadi kasus serupa. Enam tahanan di situ, dipimpin bekas polisi Singapura bernama Jimmy Chua, menyandera seorang dokter dan asistennya. Enam hari--tepatnya sekitar 128 jam kedua sandera itu berada di bawah kekuasaan penyanderanya, sebelum akhirnya pasukan UTK bertindak. Dan dalam penyergapan itu, tak seorang pun penyandera yang terluka, apalagi sampai tewas terkena sambaran timah panas. Chua juga tidak. Surat-surat kabar Malaysia, meski tak secara mencolok, sering juga memuat berita tentang tindak kejahatan yang dilakukan pendatang non-Indonesia. Menurut Megat Tunid Megat Ayub, Deputi Menteri Dalam Negeri, kejahatan yang dilakukan pendatang asal Indonesia sebenarnya memang kecil saja, baik kuantitas maupun kualitas, dibanding total tindak kriminalitas di negeri itu. "Pukul rata hanya sekitar 1,2% dari angka kriminalitas secara keseluruhan, setiap tahunnya," katanya kepada Budi Kusumah dan Ekram H. Attamimi dari TEMPO pekan lalu. Megat Junid membeberkan angka-angka. Januari-Juni tahun 1986, dari 47.391 kasus kejahatan, hanya 686 yang dilakukan pendatang Indonesia. Tahun sebelumnya, 1985, angkanya 89.224 berbanding 1.167. Tahun 1984, tercatat 77.939 berbanding 1.747. Tahun 1983, angka total 73.760 dan yang melibat orang Indonesia hanya 918. Juga di tahun-tahun sebelumnya, angka keterlibatan Indonesia kecil saja: tahun 1982 hanya 375 dari 67.733, sedang tahun 1982 hanya 270 dari 70.918 kasus. Tentang jenis kejahatan, hampir semuanya bisa dilakukan orang Indonesia. Misalnya pencurian ranmor (kendaraan bermotor), pecah rumah - siang dan malam hari perkelahian, penodongan dengan senjata api atau senjata tajam, perampokan tunggal atau berkelompok, sampai pembunuhan. Dan para pelaku, tanpa bermaksud menggeneralisasikan, umumnya adalah dari suku Batak atau pendatang asal Sumbawa. Kata Megat Juned, hanyalah apabila kejahatan yang dilakukan pendatang asal Indonesia itu dibandingkan dengan yang dilakukan pendatang asal negara lain, persentase dan jumlahnya besar. Sudah tentu, karena mayoritas pendatang di sana memang berasal dari Indonesia. Tidak berarti bahwa orang Indonesia lebih jahat atau kejam. Sekadar contoh, menurut sebuah sumber, orang Muangthai pun banyak yang terlibat kasus pembunuhan dan perampokan. Dan kasus itu biasanya terjadi di daerah perbatasan Muangthai-Malaysia (yang penduduknya relatif lebih makmur). Sayangnya, angka kejahatan di perbatasan ini tak bisa diperoleh. Jadinya, wajar memang bila ada yang beranggapan - juga dari sementara pejabat Malaysia - bahwa keterlibatan pendatang haram asal Indonesia kelewat dibesarbesarkan. "Kasus ini ada yang sengaja mem-blow up," kata sebuah sumber. Tapi memang, katanya, beberapa tahun belakangan ini jumlah pendatang Indonesia yang terlibat tindak kejahatan cenderung bertambah. Setahu Zafar bin Ibrahim, 58, seorang pensiunan polisi, pada 15 tahun lampau pelaku kejahatan terbanyak adalah dari ras Cina. Makin banyaknya orang Indonesia yang terlibat, agaknya, karena mereka kini kian sulit mendapat pekerjaan. Selain tempat yang tersedia memang terbatas, juga karena ekonomi yang sedang payah. Tambahan lagi, mereka umumnya tak punya keahlian dan memang tidak siap untuk bekerja. Tamatan SMA dari kota, misalnya, mana siap mental bekerja tersuruk-suruk di perkebunan karet atau kelapa sawit di pedalaman? Ada juga sementara pendatang yang melakukan tindak kejahatan karena terpepet keadaan. Beberapa sumber mengungkapkan bahwa tak semua orang Malaysia juga bisa menjadi majikan yang baik. Pemilik perkebunan, misalnya, memang ada yang sengaja membodohi buruh-buruhnya. Di saat kelapa sawit dipanen, setiap pendatang yang mencari pekerjaan mereka tampung dengan senang hati. Perjanjiannya, upah baru akan dibayarkan tiga atau enam bulan kemudian. Yaitu setelah semua pekerjaan dibereskan. Tiba waktunya, majikan itu hanya membayar sebagian dari upah yang pernah dijanjikan. Malah ada yang keterlaluan. Mereka bukannya melunasi upah yang mestinya dibayarkan, melainkan memanggil polisi. Karena tak punya identitas Red IC, buruh yang sudah bekerja itu pun ditangkap. Kalau tidak, dia lari ke kota atau ke tempat lain. Dengan uang hanya beberapa ringgit di tangan, tak heran bila mereka akhirnya ada yang tergoda melakukan kejahatan kecil-kecilan. Yang melakukan kejahatan kelas berat seperti merampok dan membunuh -- umumnya memang yang dari sono-nya sudah jahat. Kata Jafar, tersangka yang tertangkap biasanya memang penjahat kambuhan alias residivis. "Merampok itu tidak gampang. Selain butuh keberanian, ia mesti tahu ke mana harus melempar barang jarahan," katanya. Maka, bisa dimengerti bila dalam suatu tindak kejahatan, ada pribumi (orang Malaysia) yang ikut terlibat. Contohnya adalah perampokan toko emas Yew Lee yang menewaskan karyawan telkom Mohamed Nash. Waktu itu orang terkejut karena selama itu daerah Pudu yang dikenal sebagai daerah "Sarang Naga" -karena dihuni keturunan Cina, selalu aman. Terbukti bahwa selain pendatang asal Indonesia, yang diduga otaknya adalah orang Malaysia juga, si Tanjong itu. Konon, Tanjong adalah anggota gang yang di Kuala Lumpur cukup dikenal dan ditakuti, yaitu gang Sembawang. Itu sebabnya, saat beraksi, kawanan ini begitu berani dan bergerak tanpa canggung karena lokasi "Sarang Naga" memang sudah dikenal dengan baik. Akhirnya terasa, memang, bahwa keburukan tentang pendatang asal Indonesia, ada yang secara sengaja ingin memanfaatkannya untuk tujuan tertentu. Dan hal itu, antara lain, datang dari sementara pejabat sendiri. "Pemerintah Malaysia terkadang memang tidak fair melihat permasalahan yang menyangkut pendatang asal Indonesia," kata sebuah sumber di Kuala Lumpur. Maka, benar apa yang dikatakan sumber lain bahwa kejahatan itu bukan monopoli suatu ras atau suku bangsa. Kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja, tak hanya oleh pendatang Indonesia di Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus