Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Derita para pendatang haram di Malaysia

Citra orang indonesia di malaysia hancur karena ulah sejumlah kecil pendatang haram. masuk malaysia tidak sulit. pendatang indonesia banyak terlibat kejahatan. kisah tentang imigran di malaysia. (ln)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN perdagangan Chow Kit, di pusat kota Kuala Lumpur, sore itu masih tetap ramai. Teriakan pedagang kaki lima terdengar di mana-mana. "Dua ringgit... dua ringgit ...." Suara itu berbaur dengan lagu Anak Singkong dari sebuah toko kaset, sedang dari toko yang lain mengalun lagu Minang. Tiba-tiba, suasana itu mendadak buyar. Banyak pedagang kaki lima yang melarikan diri. Ada razia Kamtib? "Ada siasat," jawab seorang Malaysia berwajah India kepada TEMPO. Maksudnya segera menjadi jelas. Sejumlah polisi Malaysia memang sedang merazia daerah Chow Kit, untuk menangkapi pada pendatang haram. Setiap yang dicurigai sebagai orang Indonesia diperiksa. Begitu diketahui ada yang tak punya paspor atau identity card (IC), semacam kartu penduduk berwarna merah khusus untuk kaum pendatang (imigran), langsung mereka diangkut ke kantor polisi. Penggerebekan Chow Kit dan sekitarnya Sabtu pekan lalu, misalnya, berhasil meringkus 400 pendatang haram, 350 di antaranya berasal dari Indonesia. Menurut seorang polisi, sasaran razia itu memang pendatang haram Indonesia, karena dua bulan terakhir ini dalam hampir setiap kejahatan - dari samun (penodongan), pecah rumah (pencurian malam hari), sampai perkosaan dan pembunuhan di wilavah itu - selalu melibat pendatang Indonesia. Polisi itu memang tak bisa memberikan data. Tapi melihat sasaran razia - nama sandinya. Operasi Seberang adalah Chow Kit, tak pelak lagi yang dicari adalah orang Indonesia. Pasar yang banyak dihuni pedagang kaki lima, berdekatan dengan pertokoan, itu mirip dengan Pasar Tanah Abang, Jakarta, karena di Choow Kit-lah para pedagang Indonesia berkumpul. Dua bulan lalu, polisi juga mengobrak-abrik kawasan ini dan menjaring 400 imigran gelap, sebagian besar - lagi-lagi - orang Indonesia. Berbagai kasus kriminal yang dilakukan pendatang Indonesia seakan mencapai puncaknya ketika, 9 Januari yang lalu, 3 orang tahanan asal Indonesia yang dituduh merampok dan membunuh dengan menggunakan senjata api, menyandera Hakim Nyonya Mariana Yahya yang memeriksa mereka di rumah penjara Kuantan. Pihak keamanan Malaysia, yang mengerahkan belasan penembak mahir, berhasil menyelamatkan hakim itu - hanya 24 jam setelah peristiwa. Dua pembajak tertembak mati, dan satu lagi terluka. Peristiwa dramatis ini tentu saja mendapat publikasi luas di media massa setempat, apalagi kebetulan para pembajak adalah pendatang haram dari Indonesia. Di Jakarta, Jumat yang lalu, Menlu Mochtar Kusumaatmadja merasa perlu menegaskan bahwa terbunuhnya dua orang Indonesia yang dituduh berbuat kejahatan itu tidak akan mempengaruhi hubungan baik kedua negara yang terjalin selama ini. "Pemerintah Indonesia pun akan melakukan hal yang sama bila tindak pidana itu terjadi di sini," kata Mochtar. Sebelum ini pun, pers setempat selalu menonjol-nonjolkan kejahatan yang melibat orang Indonesia. "Seakan-akan yang berbuat kejahatan itu selalu orang Indonesia. Mereka tidak pernah menulis hal yang positif dari pendatang Indonesia," kata Duta Besar Himawan Sutanto kesal. "Masa pers setempat sampai hati membuat berita: ada penjual sate dari Indonesia yang memakai daging babi. Padahal, ternyata, berita semacam itu semuanya fitnah," kata Dubes RI itu. Ketua Pemuda UMNO Kuala Lumpur, Sulaiman Muhamad, juga menilai pers setempat tak berimbang dalam pemberitaan pendatang haram itu. "Mereka menciptakan opini seolah-olah pendatang haram itu identik dengan Indonesia," kata Sulaiman yang juga anggota parlemen itu. Yang pasti, berbagai peristiwa yang diliput pers secara luas itu, terutama setelah berita pembajakan tadi, membuat citra Indonesia bagi penduduk Malaysia, termasuk yang berasal dari ras Melayu, sudah hancur-hancuran. "Pokoknya, sekarang, kalau ada maling masuk rumah tanpa diketahui oleh pemiliknya, orang langsung menuduh itu perbuatan pendatang haram Indonesia," kata Zafar bin Ibrahim, 58, pensiunan polisi di Kuala Lumpur. Tentulah tak sepenuhnya benar kalau dikatakan bahwa kondisi ini semata disebabkan hasil kerja pers Malaysia. Data di Departemen Dalam Negeri Malaysia menunjukkan, kejahatan yang dilakukan pendatang Indonesia cuma 1,2% dari seluruh kejahatan yang terjadi di negeri itu. Memang tidak terlalu tinggi. Tapi, bila dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan pendatang lain, "Pendatang Indonesia menempati rekor tertinggi," ujar Megat Junid Megat Ayub, Deputi Mendagri Malaysia. Di samping itu, menurut pejabat itu, kejahatan yang dilakukan orang Indonesia amat beragam, terserak di berbagai jenis kejahatan: dari pembunuhan sampai penodongan dan pencurian, bahkan juga kejahatan narkotik. Data kejahatan yang ada menunjukkan pula bahwa jumlah kejahatan yang dilakukan orang sini kian tahun kian meningkat (lihat Pelakunya bukan Hanya Orang Indonesia). Data itu tentu tak bisa terlepas dari banyaknya jumlah pendatang Indonesia yang masuk ke negeri itu. Karena sebagian besar mereka masuk dan tinggal di negeri serumpun ini secara haram, tak satu lembaga pun di sana yang mengetahui jumlah mereka secara persis. KBRI di Kuala Lumpur hanya punya angka pasti untuk para pendatang dan menetap secara legal - memilkil paspor dan IC - yang jumlahnya amat kecil, 22.400 orang. Padahal, secara keseluruhan, KBRI memperkirakan jumlah pendatang haram itu di atas 600.000. Besarnya pendatang gelap itu, dengan berbagai problemnya, tentu berperan memacu meningkatnya angka kriminalitas tadi. Sebagai pendatang haram, menurut Megat Junid, posisi buruh Indonesia itu amatlah lemah. Mereka jadi korban perahan para majikan perkebunan. Bila mereka mencoba protes, majikan mengancam akan mengadukan mereka kepada polisi. Menurut Megat, sebagai petunjuk ada kasus seperti itu, ada beberapa majikan yang mengadu kepada polisi bahwa di kebunnya ada pendatang haram. "Padahal, buruh ilegal itu sudah bekerja berbulan-bulan di sana," katanya. Buruh yang merasa tertekan, dan berhasil melarikan diri, "Merekalah yang menjadi sebagian cikal-bakal tindak kriminal di Malaysia," kata Megat. Bukan hanya pendatang haram yang bisa bikin soal. Pendatang legal yang masuk ke Malaysia, lewat perusahaan pengerahan TKI, juga menimbulkan masalah. Yang dibutuhkan buruh perkebunan, tapi yang datang mereka yang tak pernah mengenal ladang. "Ada sopir taksi, ada tamatan SMA, malah ada yang sarjana," kata Megat. Tentu saja, mereka tak akan betah tinggal di kebun, dan akhirnya masuk kota. "Di negeri mana pun, di dunia ini, yang namanya pendatang haram pasti tidak akan disukai," kata Haji Yusuf Rawa, pemimpin PAS, partai Islam Malaysia yang beroposisi itu. Sebab, menurut politikus yang tanah leluhurnya di Sum-Ut itu, pendatang haram biasanya menimbulkan masalah. "Apalagi masalah yang ditimbulkan pendatang Indonesia itu berupa tindak pidana," katanya. Bagi PAS sendiri, menurut Rawa, kedatangan imigran Indonesia ke negerinya tak jadi soal apabila melalui saluran yang betul, dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan penduduk setempat. "Kalau mereka bertindak negatif, tentulah citra bangsa Indonesia di sini menjadi rusak," ujarnya. Meski kedudukan PAS berada di pihak oposisi, sikap yang dikeluarkan oleh Haji Yusuf Rawa bisa disebut lunak. Ini bisa dipahami karena sebagai partai Muslim, dan sudah tentu mayoritas anggotanya Melayu --PAS tak terlalu keberatan kedatangan pendatang haram itu. Yang selama ini keras dan terbuka menentang mengalirnya pendatang Indonesia, terutama, adalah warga Malaysia keturunan Cina. Tampaknya, ada semacam kekhawatiran bahwa pemerintah Malaysia-yang didominasi warga Melayu - akan mengambil kebijaksanaan melegalisasikan imigran gelap Indonesia itu, dan memberikan status kewarganegaraan Malaysia pada mereka. Ini bisa "merusakkan" perimbangan jumlah penduduk Melayu dan Cina, yang selama ini 45%: 40%. Bertambahnya jumlah penduduk Melayu, rupanya, dianggap bakal "mengancam" eksistensi warga Cina. Tak semua warga keturunan Cina bersikap menentang, memang. Banyak juga--terutama pemilik perkebunan - yang mengakui peranan pendatang Indonesia dalam pembangunan ekonomi Malaysia. Masalah ini tidak terlalu sederhana karena menyangkut berbagai kepentingan, baik ekonomis maupun politis. Secara ekonomis ladang karet dan kelapa sawit - salah satu dari tiga kaki yang menyangga ekonomi negeri itu - bisa lumpuh kalau ditinggalkan oleh buruh Indonesia yang mayoritas merupakan buruh kasar. "Pendatang Indonesia itu tak hanya menimbulkan kesusahan, mereka banyak membantu pembangunan di Malaysia," kata Megat Junid mengakui. Megat membenarkan bahwa di negerinya cukup banyak tersedia tenaga kerja dari penduduk setempat, tapi mereka jarang mau menjadi buruh kasar dengan upah yang kecil, seperti halnya pendatang haram Indonesia. Karena itulah, sekalipun negerinya tak luput dari tubrukan kesulitan ekonomi sampai sekarang, menurut Megat, Malaysia masih tetap membutuhkan TKI, terutama untuk menjadi pembantu rumah tangga. Resesi ekonomi yang menyodok Malaysia, memang, mendorong masalah pendatang haram Indonesia lebih cepat muncul ke permukaan. Akibat kelesuan ekonomi, banyak orang Malaysia sendiri yang sulit mencari pekeraan. Akibatnya, muncul rasa tak senang pada pendatang haram yang "merebut" porsi mereka. Makin langkanya lowongan kerja juga mendorong sebagian pendatang Indonesia melakukan tindak kejahatan - yang memperoleh liputan luas dari media massa. Semua faktor ini menggumpal menjadi satu dalam bentuk rasa antipati terhadap semua pendatang Indonesia. Akibatnya pun jelas. Pengusiran pendatang haram (deportasi) akan lebih meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Dilihat data pengusiran pendatang haram itu sejak tahun 1982, jumlahnya memang terus meningkat. Terutama bagi imigran gelap Indonesia. Pada tahun itu, jumlah imigran gelap yang diusir, 5.324, terdiri dari Indonesia 2.910, Muangthai 2.067, Burma 183, Bangladesh 67, India 65, Singapura 26, dan Sri Lanka 6. Yang menarik, jumlah imigran gelap Indonesia yang diusir meningkat dalam jumlah yang lebih tajam. Hal itu terlihat jika data itu dibandingkan dengan pengusiran sepanjang tahun 1985. Jumlah yang diusir, 19.644, dengan rincian, Indonesia 12.582, Muangthai 5.771, Burma 985, Bangladesh 181, India 102, Pakistan 78, dan Singapura 35. Untuk menggusur pendatang haram itu, pemerintah mengerahkan perahu tongkang dengan kapasitas angkut 40 sampai 70 penumpang, yang berangkat dari Johor menuju Bengkalis atau Dumai di Provinsi Riau. Setiap imigran gelap diberi sangu 24 ringgit untuk bekal di perjalanan. Dalam setiap pemulangan pendatang haram itu, turut dikerahkan 3 kapal patroli angkatan laut selaku pengawal. Mereka akan mengamati tongkang itu sampai di perbatasan, dan menjaga jangan sampai tongkang itu berputar haluan dan masuk kembali ke Malaysia. Selain itu, pemerintah juga memperketat penjagaan masuknya pendatang haram. Kalau selama ini yang diberi tanggung jawab hanya polisi, imigrasi, dan angkatan laut, kini pemerintah Malaysia menugasi Task Force VII, yang anggotanya terdiri dari unsur angkatan darat, angkatan laut, polisi darat dan laut, pegawai sipil pusat dan negara bagian, serta para relawan (semacam Hansip). Task Force VII sebelumnya hanya ditugasi menggiring pendatang haram dari Vietnam masuk ke tempat penampungan khusus di Pulau Bidong. Sulaiman Muhamad, Ketua Pemuda UMNO Kuala Lumpur tadi, tak membantah pengusiran yang dilakukan pemerintah ada hubungannya dengan kesulitan ekonomi yang diderita negerinya. Menurut dia, penyebab utamanya adalah langkah politik yang diambil pemerintah (UMNO). "Pemerintah terpaksa mengambil langkah itu, karena kalau tidak akan menjadi senjata bagi pihak oposisi untuk menghantam kami," kata Sulaiman. Tapi yang dideportasikan itu, menurut dia, tak akan banyak jumlahnya, apalagi kalau dibandingkan dengan ratusan ribu pendatang Indonesia yang ada di Malaysia. Bagi Sulaiman, banyaknya pendatang Indonesia d sana amat menguntungkan karena akan menjadi kekuatan tambahan bagi UMNO, atau memperkuat ras Melayu. Memang pada pendatang yang hanya memiliki kartu IC - apalagi yang sama sekali tanpa kartu apa pun - kini belum berarti bagi UMNO. Tapi setelah menetap di sana 10 tahun, mereka sudah dimungkinkan peraturan untuk menjadi warga negara Malaysia, dan memiliki hak pilih. Yang lain, anak-anak yang dilahirkan pendatang itu di Malaysia, otomatis menjadi warga negara. Maka, dalam dua dasawarsa mendatang, begitu diharapkan Sulaiman, mereka akan jadi penyokong UMNO. Masyarakat non-Melayu, terutama Cina, melalui partai DAP dan MCA, yang melihat pendatang Indonesia merugikan mereka dalam hal perimbangan ras, jelas mendapat angin dengan meningkatnya tindak kriminalitas yang dilakukan pendatang Indonesia, apalagi setelah peristiwa rumah penjara Kuantan. Rusaknya citra Indonesia itu bisa dijadikan isu politik. Lalu adakah usaha memperbaiki citra Indonesia yang makin runyam di mata masyarakat Malaysia itu? Memang pemecahannya sulit. Menutup keran masuknya pendatang gelap ke Malaysia sukar dilakukan. Mengirim pulang semua pendatang haram itu jelas tidak mungkin. Karena mereka masuk secara ilegal, menyeleksi mereka secara ketat juga mustahil. Bila situasi ekonomi Malaysia membaik, dan lowongan kerja meningkat, tindak kriminalitas kecil-kecilan karena dorongan ekonomi mungkin menurun. Tapi bagaimana tindak kejahatan yang memang dilakukan penjahat kambuhan? Apakah mungkin mengimbau kesadaran mereka agar menjaga citra bangsa Indonesia di rantau? Usaha semacam itu sulit diperkirakan hasilnya, meski patut dicoba. Yang lebih mungkin, tampaknya, adalah mencoba mendudukkan persoalan yang sebenarnya. Misalnya dengan mencoba memberi pengertian pada masyarakat Malaysia, bahwa kejahatan sebagian kecil pendatang Indonesia adalah nila setitik yang merusakkan susu sebelanga. Bahwa tidak semua orang Indonesia adalah penjahat dan maling. Bahwa di semua masyarakat pasti selalu ada rayap. Bukankah sangat menyedihkan, bila dua bangsa yang serumpun bertatap mata dengan curiga? Amran Nasution, Laporan Budi Kusumah & Ekram Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus