Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jumpa Asap, Tak Jumpa Api

Genangan minyak yang mencemari kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu begitu tampak nyata. Belum pernah ada seorang pun yang dihukum.

6 Maret 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INTERUPSI itu datang tiba-tiba. Se-buah kabar memecah kesibukan Su-marto. Berita itu membuat dahi Ke-pala Taman Nasional Laut Kepu-la-uan Seribu itu berkerut. ”Aah, da-tang lagi,” keluhnya pendek. Bukan kabar- bagus: genangan minyak mentah- me-nyerbu Kepulauan Seribu. ”Yang du-lu- saja belum terungkap pencemarnya. Se-karang sudah tercemar lagi.” Itu ter-jadi- pada akhir 2004.

Kabar tak sedap itu kembali mengham-pi-ri Sumarto dua pekan lalu. Minyak tumpah, meluber hingga masuk ke ka-wasan- yang dijaga Sumarto: zona inti Taman Nasional Kepulauan Seribu.

Biasanya dalam setahun terjadi dua ka-li- tumpahan minyak, terutama pada De-sem-ber-Januari dan April-Mei. Hal i-tu mem-buat lelaki tadi melapor ke Mente-ri- Negara Lingkungan Hidup Rahmat Wi-toe-lar. Kali ini minyak mentah itu mengotori lingkungan di 20 pulau dari 110 pu-lau di Kepulauan Seribu, yang terletak- 45 kilometer di sebelah utara Jakarta itu.

Genangan minyak dan tar-ball -(mi-nyak yang telah mengeras dan menggum-pal-) telah hinggap di pantai Pulau Perak-, Ton-dan Timur, Pelangi, Belanda, Bira Be-sar, Kuburan Cina, Putri Timur, Putri Barat, Opak Kecil, dan Kayuangin. Semua itu adalah pulau yang berada di taman nasional.

Rahmat bereaksi cepat. Hanya berse-lang- sehari, beberapa orang penyidik- pe-ga-wai negeri sipil di Kementerian Ne-ga-ra Lingkungan Hidup dilayarkan ke Kepulauan Seribu. Misinya adalah me-ngum-pulkan semua data dan sampel- mi-nyak untuk mengendus sumber pen-ce-ma-ran-.

Sesampainya di sana, penyidik mene-mu-kan sedikitnya enam ton minyak mentah. Mereka mengumpulkan contoh mi-nyak dari Pulau Perak, Belanda, dan Bi-ra Besar—ketiga pulau itu berjarak se-ki-tar 65 kilometer dari Ancol. Sebagian mi-nyak itu telah menyerap ke tanah, dan tak- tampak lagi di permukaan. ”Tapi itu ti-dak hilang. Justru dampak akumulatif-nya- yang berbahaya,” kata Sumarto.

Meski sudah diteliti, teka-teki siapa pen-cemar Kepulauan Seribu itu masih- sa-marsamar. Menurut Deputi Bidang Penataan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Hoetomo, contoh mi-nyak sudah diserahkan ke laboratorium Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) un-tuk diuji karakternya. ”Pengujian ini di-perlukan untuk mencari tahu pemilik mi-nyak tersebut,” ujarnya.

Contoh minyak itu nanti akan diban-ding-kan dengan minyak dari dua kilang yang berada di dekat lokasi, yaitu kilang Chi-na National Offshore Oil Company Southeast Sumatera BV (CNOOC) dan BP West Java Ltd.

Hairuddin, aktivis Jaringan Advokasi Tam-bang (Jatam), organisasi yang meng-awasi lingkungan hidup sekitar tambang-, menilai kinerja pemerintah jauh da-ri cemerlang dalam kasus di Kepula-u-an Seribu-. Sebab, pencemaran yang terjadi sejak 19 Februari lalu adalah yang ketujuh kalinya sejak 2003 (lihat infografik).

Langkah Rahmat menerjunkan tim penyidik ke lokasi juga bukan aksi yang pertama. Dalam pencemaran pada 28 Desember 2003, misalnya, penyidik te-lah mendapat hasil pengujian karakteristik sampel. Ketika itu sampel minyak pencemar dikategorikan identik secara sangat signifikan dengan minyak kilang CNOOC.

Penyidik, menurut Hairuddin, pada 2005 bahkan telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus itu. ”Tapi hingga sekarang kasus itu tidak pernah sampai ke pengadilan,” ujarnya. Ibaratnya ada asap, tapi tak ada apinya.

Rahmat tentu membantah tudingan pemerintah tak serius mengusut pencemaran itu. Ia memastikan tidak pernah ada intervensi dari siapa pun untuk- menjegal penyidikan pencemaran di Kepulauan Seribu. ”Kurang galak apa kami terhadap Newmont dan Freeport, apalagi cuma dengan ini (CNOOC),” -katanya kepada Tempo.

Hanya, ia mengakui, Kementerian- sa-ngat berhati-hati mengumpulkan bukti- da-lam menangani kasus pencemaran pa-da- Desember 2003. Rahmat tidak ingin ber-kas dakwaan yang diajukan kandas di pengadilan.

Sulitkah mencari bukti pencemaran? Tidak demikian menurut ahli perminya-kan- Institut Teknologi Bandung, Leksono Mucharam. ”Komposisi minyak itu mi-rip sidik jari,” katanya. ”Setiap lapangan mempunyai komposisi minyak men-tah yang berbeda dengan lapangan la-innya.” Dengan menganalisis minyak dan arus laut di lokasi kejadian, ia yakin sang- pencemar akan terungkap.

Kepala Balai Taman Nasional Sumar-to- -sepakat dengan Leksono. Lelaki ini pu-nya teori berkaitan dengan angin ba-rat (berembus dari arah barat laut) yang ki-ni- bertiup. Ia menduga minyak men-tah- i-ni bersumber dari CNOOC. Se-bagai- buk-tinya, kata Sumarto, genangan mi-nyak- hanya ditemukan di wilayah utara, ba-rat, dan selatan Kepulauan Seribu. -Se-dang-kan di wilayah timur tidak ada. Sementara kilang CNOOC berada di barat la-ut dan utara kepulauan, sedang-kan ki-lang- BP ada di utara dan timur laut (lihat- infografik).

Sayangnya semua pejabat CNOOC yang dihubungi menolak berkomentar. De-puti Operasi Badan Pelaksana Kegiat-an- Usaha Hulu Minyak dan Gas, Dodi Hi-dayat, juga enggan bicara banyak de-ngan alasan belum diketahui siapa yang ber-salah dalam kasus ini. ”Masih terus di-bahas, kemarin baru dibicarakan di ITB,” kata dia.

Mencari jejak penumpah minyak di la-ut- memang tak gampang. Pada 2004, se-mu-a jari menunjuk pada CNOOC dan BP. Tapi rupanya Lemigas, yang menguji- ”sidik jari” minyak, tak mendapatkan kesa-maan antara minyak yang tumpah dan mi-nyak dari CNOOC serta BP. Ke-simpulannya, minyak itu mungkin dari kapal tanker yang lewat. Perairan di sebelah utara gugusan Kepulauan Seribu itu memang dijadikan jalur lalu lintas kapal.

Siapa pun pencemarnya, yang membuat Sumarto pusing adalah sulitnya pembersihan di sana. CNOOC memang membantu mengupah nelayan (baca Tangan-tangan Penyapu Agar-agar Hitam). Endapan minyak di dasar laut dan pantai dikhawatirkan bakal memusnah-kan ekosistem di Kepulauan Seribu. Dampak pencemaran sudah terlihat pada menurunnya jumlah telur penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) di Pulau Peteloran Timur.

Sumarto hanya bisa menatap laut de-nga-n khawatir. Dan bau mirip solar me-ru-ap ke mana-mana menemani lamunan-nya.

Efri Ritonga, Ibnu Rusydi (Kep. Seribu) dan Ahmad Fikri (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus