Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gang-gang sempit yang membelah permukiman padat dan kumuh, pepohonan kering, serta bongkahan batu-batu kusam yang berserak di jalanan menyambut kedatangan TEMPO, Kamis pekan silam. Beberapa rumah yang tampak belum selesai dibangun bahkan sudah ditempati warga. Tirai debu yang beterbangan di jalan membawa sobekan kertas dan plastik hingga seperti menampar-nampar wajah. Benar-benar memedihkan mata.
Beberapa meter ke depan, tampak terpampang pintu gerbang yang memajang tulisan ”Ahlan fi Mukhayyam Rafah” (Selamat Datang di Mukhayyam Rafah). Ya, inilah Mukhayyam Rafah, kamp pengungsi yang terletak di dekat perbatasan Mesir. Nama asli kamp ini sebenarnya adalah Yabena. Namun, karena letaknya di wilayah Rafah, penduduk setempat menyebutnya Mukhayyam Rafah, sekitar setengah hari perjalanan dari Kota Gaza bila menggunakan bus. Untung masih ada taksi yang bersedia mengantar sehingga waktu perjalanan bisa dipersingkat.
Saat membayangkan suasana lokasi yang ditengarai sebagai tempat persembunyian kaum militan Palestina ini, mulanya TEMPO mengira akan melihat sekumpulan tenda yang teratur rapi. Agaknya, imajinasi itu berlebihan. Tempat ini memang tak lebih kumuh dari kawasan Shubra Khaima, Mesir, yang juga sempat TEMPO kunjungi beberapa waktu lalu. Namun, Mukhayyam jauh lebih padat. ”Pengungsi yang ditampung di tempat ini sekitar 90 ribu jiwa,” kata Saed Zouarub, 47 tahun, seorang pejabat di Kota Rafah. Sebuah angka yang tentu sangat tinggi untuk wilayah yang luasnya hanya seperempat Gaza.
Enam orang anak lelaki terlihat di sebuah pojok jalan. Mereka mengelilingi dua orang temannya yang sedang asyik bermain catur, duduk di atas selembar koran bekas. Di sebuah belokan jalan setapak yang menanjak dan sempit, seorang laki-laki setengah tua duduk berhadapan dengan seorang temannya yang berpakaian jalabia.
Mereka bermain kartu. Kadang-kadang tawa mereka lepas bertalu-talu, seolah-olah tidak tinggal di kawasan perang yang bisa membara secara tiba-tiba. Agak mengherankan, memang. Juga nyaris tak tampak ada beban terpancar dari wajah mereka. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, penduduk kamp ini masih mengandalkan uluran tangan dari Jam’iyah Khairiyah, yang setiap 4-5 hari sekali datang mengunjungi untuk memberikan bantuan bahan makanan.
Salah seorang lelaki itu, Muhammad Abdul Karim, 38 tahun, bertutur tentang bagaimana suatu ketika, pada bulan Oktober dua tahun silam, pasukan pendudukan Israel (IOF) mengerahkan 50 tank untuk menyerang dan memorak-porandakan permukiman ini. ”Sekitar 400 warga Yabena tewas akibat serbuan itu,” tuturnya—kali ini tanpa tawa. Suaranya lirih dan dengan nada yang sedikit rendah seperti menahan amarah. ”Susah sekali. Kondisi di perkampungan ini memprihatinkan. Kadang kami harus menunggu satu-dua hari hanya untuk mendapatkan air. Fasilitas-fasilitas umum begitu buruk. Bukan hanya air, bahkan listrik pun sering mati beberapa hari.”
Menurut Muhammad, tempat ini dulunya lebih banyak didominasi tenda-tenda seperti laiknya kamp pengungsi yang bertebaran di seantero Gaza. Hanya sedikit sekali yang berbentuk perumahan. Namun, secara perlahan, tenda-tenda menghilang berganti perumahan. ”Meskipun kondisi rumah-rumah di sini banyak yang tidak layak, kami bersyukur karena tak lagi menggunakan tenda untuk beristirahat. Kami bisa berteduh lebih baik,” tuturnya.
Kondisi alam yang tandus, dan kondisi sosial-ekonomi yang tak mendukung, membuat hampir setiap lelaki di kawasan itu menganggur. ”Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk mencari nafkah di sini kecuali menunggu bantuan Jam’iyah,” keluh Muhammad. Yang tambah membuatnya risau adalah tak adanya fasilitas pendidikan yang layak bagi ketiga anaknya yang masih kecil. ”Kalaupun ada, tentu kami tak mampu membiayainya. Padahal seharusnya mereka bersekolah,” ujarnya pasrah.
Buruknya kondisi di Yabena juga mengherankan Ahmad Murtadha, lelaki 36 tahun teman Muhammad Abdul Karim bermain kartu. Ahmad, yang juga tak punya pekerjaan tetap, mengaku pernah mengunjungi sebuah kamp pengungsi lain bernama Khan Younis, yang letaknya paling dekat dengan Yabena. ”Anehnya, di sana tanahnya tidak setandus ini, dan juga tidak terlalu kotor,” katanya pendek.
Ia menduga, minimnya berbagai fasilitas di Yabena itulah yang menyebabkan banyak penghuninya berusaha mencari pekerjaan di Kota Rafah, terutama pada siang hari. Mereka bekerja serabutan, apa pun dikerjakan sepanjang bisa memberi penghasilan. Sehingga, kawasan itu baru terasa ramai setelah malam tiba, ketika para lelaki pulang dari Rafah.
Bantuan rutin yang diberikan Jam’iyah Khairiyah makin lama dirasakan sebagai beban mental yang semakin berat oleh Ahmad. ”Malu rasanya terus-terusan antre menunggu jatah bahan makanan yang dibagikan,” ia mengaku dengan nada memelas. ”Kalau saya boleh meminta, kami ingin mendapatkan pekerjaan yang layak agar kami tidak terus-terusan menggantungkan hidup pada Jam’iyah.”
Di tengah ancaman mesin-mesin militer Israel, impian Ahmad memang tak mudah terealisasi. Harapannya akan lapangan kerja, pendidikan untuk anak-anak di tanah pengungsian, merupakan barang mewah, dan angan itu kini tersangkut di ranting-ranting kering yang memenuhi Yabena. Entah sampai kapan.
Akmal Nasery Basral (Jakarta), Zuhaid el-Qudsy (Gaza)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo