Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usianya sepuluh tahun. Terlalu muda untuk menjadi martir, bahkan di sebuah tempat bernama Gaza, tempat nyawa manusia bisa melayang sesaat setelah pesawat Israel melintas. Tapi Karim, bocah lelaki itu, menyandang "kehormatan" tersebut pada Senin silam. Nyawanya dilepaskan oleh sejumlah tentara Israel yang berpatroli di dekat tempat tinggalnya. Maka seluruh warga kota tumpah-ruah ke jalan, mengiringi "prosesi pemartiran" Karim ke pemakaman. Di jalan Gaza yang lebarnya tak sampai tujuh meter, TEMPO menyaksikan pria dan wanita memadu suara tangis dan sorak amarah: "Bunuh orang-orang Israel! Bunuh Sharon! Allahu Akbar!"
Beberapa laki-laki yang menutupi tubuh dan wajahnya dengan pakaian serba putih itu mengaitkan beberapa buah bom di sekujur tubuhnya sembari mengangkat senjata dan berteriak, "Ya Hamas , ya Hamas, Birruh Biddam Nefdik ya Hamas." Seperti mengulangi pantun berirama, mereka bertempik sejadi-jadinya, "Kami hanya menginginkan pembalasan," sambil terus mengagungkan nama Hamasorganisasi yang dicap sebagai teroris oleh Israel dan Amerika Serikat.
Julukan teroris itu pula yang membuat Israel merudal dua pemimpin Hamas (Ahmad Yassin dan Abdul Aziz Rantissi) hanya dalam waktu tiga pekan pada Maret dan April tahun ini. Kematian Rantissi boleh dikatakan menjadi "episode pamungkas" kemunculan para pemimpin Hamas di depan publik. Ancaman Israel yang akan membunuh semua pemimpin dan menebas organisasi itu sampai ke akar-akarnya ternyata bukan lagi pepesan kosong.
Maka kini, "Semua pemimpin kami dan keluarganya kami sembunyikan di tempat yang aman. Nomor-nomor teleponnya kami ganti dan hubungan kami lakukan dengan sistem sel," ujar Shalah Abu al-Hijah, 39 tahun, salah satu petinggi keamanan Hamas, kepada TEMPO.
Ketika melayati jenazah Abdul Aziz yang dibunuh pada dua pekan silam, Mahmud Zahar dan Ismail Haniya, dua dari sejumlah tokoh senior Hamas yang masih tersisa di Gaza, hanya duduk sebentar, lalu menghilang. Begitu pula pemimpin Jihad Islam, Mohammed al-Hindi, dan Nafiz Azim.
Mahmud Zahar, 50 tahun, adalah dokter yang memimpin kelompok dokter di Jalur Gaza. Adapun Ismail Haniya, 40 tahun, adalah pembantu terdekat almarhum Syekh Ahmad Yassin. Keduanya kini menjadi anggota tertinggi dalam hierarki organisasi Hamas di Gaza setelah rudal Israel menewaskan Rantissi. Tak mengherankan bila banyak kalangan menilai dua tokoh Hamas ini punya potensi besar menggantikan Rantissi.
Membatasi kehadiran di depan umum adalah salah satu kiat para pemimpin Hamas yang tersisa untuk menghindari peluru Israel. "Semua tokoh Hamas yang menjadi target pembunuhan Israel diamankan," ujar Jamal, salah satu pengawal rumah Rantissi. Mereka juga berpindah dari satu rumah yang aman ke rumah lainnya. Pemimpin Hamas tidak pernah lagi menggunakan telepon seluler yang mudah dilacak Israel. Nomor telepon rumah pun diganti. Ibaratnya, mereka tenggelam ke dalam tanah, saling menjalin kekuatan secara rahasia.
Organisasi Hamas, yang sejak awal bergerak dengan sistem sel, kini semakin ketat memberlakukan sistem pengamanan. "Sembari kami tetap merancang target-target serangan (kepada IsraelRed.)," ujar Shalah Abu al-Hijah kepada TEMPO. Demi pengamanan pula setiap anggota hanya mengenal pemimpin puncak Hamas. "Ini untuk keamanan," kata Dokter Ali Musa Muhammad, tenaga medis di klinik kesehatan As-Shifa, Gaza. Tak ada lagi pemimpin Hamas yang muncul dalam aksi demonstrasi di jalanan sebagaimana yang biasa dilakukan Syekh Yassin dan Rantissi sebelum rudal Israel membunuh mereka.
Pemimpin Hamas di Damaskus, Suriah, Khaled Mashaal, pun menginstruksikan agar organisasi itu tidak mengumumkan identitas pengganti Rantissi sebagai salah satu upaya menghindari pembunuhan oleh Israel. Sehari setelah Rantissi tewas, dikabarkan Hamas memperoleh pemimpin baru. Di Gaza beredar rumor bahwa Hamas dipimpin secara kolektif, setidaknya untuk sementara. Tapi militer Israel percaya bahwa Mahmud Zahar adalah pengganti Rantissi.
Seperti yang dilansir beberapa media Barat seperti Washington Post dan BBC, dalam struktur Hamas di Gaza, Mahmud Zahar (bekas dokter pribadi Syekh Yassin) menjabat sebagai wakil Rantissi. "Wakil (Rantissi) otomatis menjadi pemimpin baru Hamas," ujar Letnan Jenderal Moshe Yaalon, komandan militer Israel. Itulah sebabnya militer Israel menyatakan secara terbuka bahwa Zahar yang menggantikan Rantissi untuk mengundang reaksi Hamas. Tapi juru bicara Hamas, Ismail Haniya, tak terpancing. Ia tidak membantah atau membenarkan. "Israel menyebut nama (Zahar) menunjukkan Israel menyiapkan serangan baru terhadap Hamas," katanya.
Zahar dikenal sebagai salah seorang pemimpin garis keras Hamas. Ia tak hanya menentang secara konsisten pendudukan Israel atas setiap jengkal tanah Palestina, tapi juga menolak berkompromi dengan Yasser Arafat. Dia sempat menjadi target dua kali upaya pembunuhan oleh Israel. Pada 10 September 2003, pesawat tempur Israel F-16 menjatuhkan bom ke rumahnya. Zahar selamat, tapi anak sulung dan pengawalnya tewas.
Lain lagi upaya pemerintah Otoritas Palestina menyelamatkan Arafat dari upaya pembunuhan. Setelah pembunuhan Rantissi, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon menyatakan Arafat adalah target pembunuhan berikutnya. Memang pernyataan Sharon tak hanya menuai kecaman dunia internasional, tapi juga menjadi silang pendapat di Israel. Selain itu, banyak pihak yang meragukan kesungguhan Sharon melaksanakan niatnya karena hanya akan membuat wajah Israel semakin buruk di dunia internasional.
"Sharon tak akan melaksanakan ancamannya. Ucapan Sharon lebih merupakan kesempatan terakhir bagi Arafat untuk menumpas kelompok militan Palestina," ujar Wakil Perdana Menteri Ehud Olmert (lihat wawancara Nabil Abu Radena).
Ancaman pembunuhan terhadap Arafat memang bukan barang baru. Dan kendati popularitasnya kian merosot, Arafat masih dianggap sebagai pemersatu faksi-faksi gerakan Palestina. Pejabat Otoritas Palestina tak mau mengambil risiko. Maka, ketika 20 anggota Brigade Al-Aqsa tiba-tiba muncul di kediaman Arafat di Ramallah, Tepi Barat, Kamis dini hari dua pekan lalu, Arafat dan pendukungnya justru merasa tidak aman.
Kedatangan Brigade Al-Aqsa membuat pasukan Israel punya segepok alasan untuk menyerang kediaman sang Presiden. Apalagi Israel pernah mengepung markas Arafat sebulan lebih pada Maret 2002 untuk mengusir enam anggota Brigade Al-Aqsa yang bersembunyi di kediaman Arafat. Repotnya lagi, lima di antara 20 aktivis Brigade Al-Aqsa adalah orang yang paling dicari Israel karena dituduh membunuh Menteri Pariwisata Rehavam Ze'evi pada 2001.
Maka, atas nama kepentingan nasional Palestina, Arafat mengusir anggota Brigade Al-Aqsa dari kediaman resminya di Ramallah. "Kami menjadi buron untuk membela Arafat dan sekarang kami menjadi beban. Ia (Arafat) malah mencampakkan kami," ujar Ali Barghouti marah. Tak ada pilihan. Bak tamu tak diundang, Barghouti yang termasuk dalam lima buruan Israel itu dan kelompoknya terpaksa meninggalkan kediaman Arafat.
Hamas dan Arafat tak selalu sejalan. Sudah rahasia umum, di mata Hamas, Presiden Palestina ini terlalu plinplan dan tak mampu mengatasi anggota kabinetnya yang korup. Toh, semangat "bersatu" yang diwariskan almarhum Syekh Ahmad Yassin tampaknya belum pupus sama sekali. Pemimpin spiritual Hamas itu dikenal tak pernah mau mengecam Arafat secara terang-terangan.
Maka Shalah Abu al-Hijah pun berkata, "Kami berbeda, tapi visi kami (satuRed.), memperjuangkan tanah Palestina yang merdeka dan berdaulat."
Raihul Fadjri (Yogyakarta), Zuhaid el-Qudsy (Kota Gaza, Palestina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo