Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebelum Serangan di Klong Sam Wa

Aktivis demokrasi Sirawith Seritiwat diserang orang tak dikenal dua kali. Kerap mengkritik junta militer Thailand.

20 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivis Thailand, Sirawith Seritiwat, menerima perawatan setelah mendapat serangan misterius di Bangkok, 3 Juli 2019. REUTERS/Stringer NO RESALES

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIRAWITH Seritiwat diserang orang tak dikenal dua kali. Serangan terakhir pada 28 Juni lalu di Distrik Klong Sam Wa membuat aktivis demokrasi Thailand itu tak sadarkan diri dan mengalami cedera di kepala serta retak di rongga mata.

Serangan itu tak membuatnya me--nye-rah. Pemuda yang dikenal sebagai Ja New itu juga menolak tawaran dari polisi, yang menawarkan perlindungan keamanan un-tuk ditukar dengan penghentian ak-ti-vitas politik. “Saya tidak akan menerima ke-sepakatan itu,” kata pria 27 tahun tersebut. Sejak 4 Juli lalu, Sirawith telah keluar dari rumah sakit dan menjalani masa pe--mulihan di rumahnya di Bangkok.

Pemerintah menolak tuduhan bahwa polisi meminta Sirawith berhenti ber-po-litik. “Polisi tidak pernah menghentikan siapa pun dari membangun gerakan po-litik karena mereka tidak berwenang me-la-kukannya, selama orang tersebut meng-gunakan hak politik yang diizinkan di bawah Konstitusi,” ujar Wakil Men-teri Per-tahanan Jenderal Chaichan Chang-mong-kol.

Sirawith aktivis ketiga yang menjadi sasaran serangan orang tak dikenal sejak awal Mei lalu. Pola serangan itu dianggap se-bagai upaya membungkam aktivis pengkritik junta militer, yang berkuasa setelah kudeta 2014. Pemimpin kudeta itu, Jenderal Prayut Chan-o-cha, menjadi Per-dana Menteri Thailand sekarang.

Setelah pemilihan umum legislatif 24 Maret lalu, partai baru yang didukung militer, Palang Pracharat, meraih suara ma-yoritas dan berhak membentuk pe-me-rintah. Pemerintah baru itu sudah ter-bentuk dan Prayut Chan-o-cha kembali menjadi perdana menteri. Kabinet baru, yang banyak diisi orang militer, dilantik Raja Thailand pada Rabu, 17 Juli lalu.

Serangan terhadap Sirawith itu satu dari sepuluh kasus serangan oleh orang tak dikenal dalam setahun terakhir dengan korban aktivis demokrasi. “Kekerasan oleh preman terhadap aktivis prodemokrasi telah menjadi tren baru yang berbahaya di Thailand,” ucap Brad Adams, Direktur Human Rights Watch Asia. Hingga kini belum ada yang menjadi tersangka se-rangan terhadap Sirawith.

Sirawith Seritiwat adalah aktivis ma-hasiswa prodemokrasi dari Thammasat University, Bangkok. Dia bersama sejumlah koleganya membentuk Gerakan Demokrasi Baru pada Juni 2015, yang menggunakan cara damai untuk memperjuangkan pem-bentukan demokrasi di negeri itu.

Aktivitas itulah yang membuatnya ber-urusan dengan junta militer. Menurut Front Line Defenders, lembaga pembela hak-hak asasi manusia yang bermarkas di Dublin, Republik Irlandia, Sirawith be-rencana berunjuk rasa pada 7 Desember 2015 soal dugaan skandal korupsi militer di sekitar Rajabhakti, taman yang dibangun militer Thailand.

Menjelang hari demonstrasi, seorang perwira militer menghubunginya dan me--nga-takan akan menjemput serta mem-bawanya dari kampus ke pangkalan mi-liter untuk berdiskusi. Sirawith menolak per-mintaan tersebut dan mematikan alat komunikasinya. Karena komunikasi ter-putus, perwira itu pergi ke rumah ibu Sira-with dan memintanya meyakinkan pu-t-ranya agar membatalkan rencana unjuk rasa.

Namun Sirawith dan kawan-kawan jalan terus. Pada 7 Desember, ia bersama lebih dari 20 aktivis kelompok Resistant Citizen berpawai ke Rajabhakti. Tapi demonstrasi bubar karena tentara dan polisi mencegat mereka di stasiun kereta Ban Pong, Provinsi Ratchaburi.

Pada 13 Januari 2016, Pengadilan Militer Bangkok mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap para mahasiswa dan aktivis hak asasi itu dengan tuduhan mengadakan pertemuan politik lebih dari lima orang tanpa izin.

Sepekan kemudian, delapan tentara militer menangkap Sirawith di kampus. Mereka menutup matanya, memaksanya masuk ke truk pikap, dan membawanya ke lokasi yang tidak diketahui. Para aktivis tersebut mengalami perlakuan buruk, termasuk dipukul berulang-ulang dan di-lecehkan secara verbal. Sirawith ke-mu-dian dibawa ke kantor polisi Nimit Mai, lalu dipindahkan ke kantor polisi Thonburi.

Tuduhan terhadap kelimanya adalah melanggar Perintah Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban Nomor 3 Tahun 2015, yang melarang pertemuan politik lima orang atau lebih tanpa izin junta. Pengadilan Militer Bangkok memvonis Sirawith bersalah dan menjebloskannya ke Penjara Remand, Bangkok. Belakangan, ia dibebaskan dengan jaminan 40 ribu baht.

Penangkapan itu tak menghentikan Sira-with. Pada 22 Mei 2018, 15 aktivis pro-demokrasi, termasuk Sirawith, berunjuk rasa menandai empat tahun kudeta militer. Mereka menuntut junta mundur dan pemilihan umum diadakan paling lambat November tahun itu. Massa berangkat dari Thammasat University dan berencana ke kantor Perdana Menteri. Tapi, sebelum sampai di lokasi, mereka ditangkap polisi.

Lagi-lagi Sirawith dan kawan-kawan diadili dengan tuduhan melakukan peng-hasutan, menggelar pertemuan politik lima orang atau lebih tanpa izin, dan melanggar Undang-Undang Lalu Lintas Jalan. Mereka kemudian dibebaskan dengan uang ja-minan dan syarat tidak terlibat dalam kegiatan politik ilegal lagi.

Pada 3 Juni lalu, Sirawith turut dalam protes anti-junta di Bangkok. Saat me-ning-galkan acara itu, dia diserang sekelompok lelaki yang memegang tongkat di Jalan Ratchadapisek. Sirawith mencoba me-la-rikan diri, tapi tersandung di tanah yang tidak rata di trotoar sebelum orang-orang itu mengepung dan memukulinya. “Mereka mengincar kepala dan pelipis saya. Saya bisa mati,” ucapnya. Para pe-nye-rang melarikan diri setelah ada yang melihat pengeroyokan itu.

Ternyata itu bukan serangan terakhir terhadap dia. Pada 27 Juni lalu, Sirawith me-nelepon ibunya, Patnaree Chankij. Dia mem-beri tahu, ada orang yang mem-peringatkan bahwa ia akan diserang lagi jika tidak secara terbuka menyatakan akan berhenti melawan militer. Ancaman itu menjadi ke--nyataan.

Sirawith sedang menunggu bus di dekat rumahnya di Distrik Klong Sam Wa saat empat pria datang dengan memakai helm dan memegang pentungan. Saksi mata mengatakan para penyerang memukuli Sirawith dengan menyasar kepalanya dan terus menghajarnya saat dia jatuh. Para penyerang melarikan diri setelah warga yang melihat bergegas membantu Sirawith.

Pengeroyokan terhadap Sirawith ini mem-buat teman-temannya bingung me--ngenai motif serangan. Menurut mereka, seperti dilansir Khaosod English, Sirawith sudah mengumumkan secara terbuka bah-wa dia akan cuti dari aktivisme politik dan mengambil studi pascasarjana di India selama beberapa tahun.

Setelah pulang ke rumahnya dan men-jalani masa pemulihan, Sirawith menulis di Facebook. Dalam pesan yang diketik oleh temannya itu, ia menyampaikan te-rima kasih atas dukungan kepadanya. Dia berharap tidak ada seorang pun di ne-gara ini yang diperlakukan brutal se-perti dirinya. “Bahkan jika benar-benar berutang kepada rentenir, yang tidak benar, saya tidak boleh diserang dengan cara ini,” katanya sembari berharap bisa segera kembali ke dunia politik.

Daily News pernah mengutip pernyataan seorang polisi anonim bahwa Sirawith mungkin diserang rentenir karena utang ke-luarga. Patnaree membantah gosip itu karena keluarganya tidak punya ma-salah keuangan ataupun mengambil pin-jaman, kecuali pinjaman mahasiswa dari pe-merintah untuk studi Sirawith di Tham-masat University. “Jangan membuat tuduhan semacam itu terhadap kami,” tutur Patnaree.

Patnaree telah mengajukan petisi kepada partai oposisi sebagai upaya mencari ke-adilan untuk putranya. Ia mendesak oposisi menyelidiki insiden kekerasan bermotif politik tersebut. Petisinya diterima anggota parlemen dari Pheu Thai, Cholnan Srikaew, atas nama tujuh partai oposisi.

ABDUL MANAN (BANGKOK POST, THAI PBS, KHAOSOD ENGLISH, NeEWS.COM.AU)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus