Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pemandu Pelarian Saudi

Psikiater Arab Saudi yang eksil ke Jerman membantu pelarian warga negara asalnya lewat media sosial. Menyelamatkan 1.000 perempuan. Ada juga gay dan ateis.

20 Juli 2019 | 00.00 WIB

Suasana terminal keberangkatan internasional bandar udara di Riyadh, Maret 2009. REUTERS/Fahad Shadeed/File Photo
Perbesar
Suasana terminal keberangkatan internasional bandar udara di Riyadh, Maret 2009. REUTERS/Fahad Shadeed/File Photo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PERCAKAPAN riuh di antara anggota grup media sosial Telegram tersebut mendadak senyap saat Tempo bergabung di dalamnya, Senin, 15 Juli lalu. Hanya robot Telegram yang bertindak sebagai administrator grup yang menyapa ramah. “Hai, kami senang Anda bergabung di grup ini,” tulisnya dalam bahasa Arab.

Grup percakapan tertutup bernama “We are Saudis” itu memiliki anggota berjumlah lebih dari 400 orang. Tiap hari para anggotanya membahas berbagai cara memperoleh suaka di negara-negara Barat. Kebanyakan dari mereka warga negara Arab Saudi. Tapi tidak sedikit juga anggota yang berasal dari negeri tetangga, Uni Emirat Arab.

Salah satu anggota grup itu adalah Sara, 21 tahun, bukan nama sebenarnya. Perempuan kelahiran Uni Emirat Arab tersebut bergabung dalam grup itu setelah membaca tautan di akun Twitter Taleb Jawad al-Abdulmohsen, psikiater asal Saudi yang eksil ke Jerman. Grup ini belum lama dibentuk Abdulmohsen, sekitar setahun lalu.

“Saya ingin berbagi pengalaman untuk membantu orang Uni Emirat Arab dan warga negara lain dalam mencari suaka di Prancis,” ujar Sara menceritakan motivasinya bergabung dalam grup itu kepada Tempo. Sejak tiga tahun lalu, Sara menetap di sebuah kota di Prancis.

“Saya sering dianiaya sejak kecil hingga remaja hanya karena menjadi perempuan. Keluarga saya sendiri mengekang ke-be-basan pribadi saya, termasuk memaksa saya berhijab,” katanya dalam bahasa Inggris lewat jalur percakapan pribadi.

Sara juga dilarang bepergian dan menyetir mobil sendiri, bahkan mendapat ancaman dari kakak perempuannya jika berani melanggar aturan itu. Tekanan demi tekanan terus mendera sejak ia berusia 12 tahun dan akhirnya mencapai puncaknya enam tahun kemudian. “Saya tidak ingin kehilangan masa remaja. Maka saya memutuskan kabur dari rumah.”

Sara merencanakan pelariannya de-ngan matang. Saat tiba waktu kabur, dia mencuri paspornya yang disimpan ibunya serta menggunakan duit 2.800 euro tabungannya selama dua tahun untuk membeli tiket pesawat.

Cerita Sara mewakili beragam motif para pencari suaka asal negara-negara Teluk yang berinteraksi dalam ruang digital bikinan Abdulmohsen itu. Selain lantaran dianiaya, ada yang kabur karena ingin mempertahankan keyakinan dan pilihan seksualnya. “Saya gay dan ateis,” tutur seorang pria di grup tersebut yang kini menetap bersama pasangannya di Austria.

Menjadi gay dan ateis di Arab Saudi bisa dihukum mati. Pria yang berpasangan dengan orang Eropa ini sempat kehilangan 25 kilogram bobot tubuhnya karena stres lantaran memikirkan nasibnya se--telah kabur. Dia bertekad tak akan lagi menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, “Sampai Arab Saudi mengakui hak-hak kami yang mereka renggut, termasuk (mengubah stigma terhadap) orang yang mengaku ateis sebagai teroris.”

Abdulmohsen sendiri memutuskan angkat kaki dari Arab Saudi setelah me--ninggalkan Islam, agama yang dianutnya sejak lahir dan tumbuh besar di Desa Al-Qarah, Al-Hofuf, Provinsi Timur. “Saya meninggalkan Islam sejak 1997,” ujarnya kepada Tempo. Keputusannya menjadi murtad dan kemudian pengkritik Islam dalam sejumlah forum percakapan di Internet membuatnya pernah mendapat ancaman. “Saya diancam akan disembelih jika kembali ke Saudi. Sejak itulah saya mencari suaka.”

Abdulmohsen masih menyandang ke--warganegaraan Saudi, tapi pria 45 tahun itu telah menetap di Jerman sejak 2006. Sejak itu pula dia aktif berbagi pengalamannya dalam mencari suaka kepada orang-orang yang bernasib sama dengannya, khu-susnya mereka yang berasal dari Saudi. “Sebenarnya banyak aktivis Saudi di pengasingan, tapi saya orang pertama yang mempublikasikan informasi ten-tang pencarian sua-ka di dunia maya,” ucap-nya.

Abdulmohsen semula hanya menggunakan Twit-ter sebagai wadah ber-bagi informasi. Be-la-kangan, setelah kasus yang menimpa Dina Ali Las-loom pada 2017, dia memperluas jang-kauannya dengan mem-bikin grup Telegram dan situs Wearesaudis.net. Lasloom, pe--rem-puan Saudi yang mencoba kabur ke Australia, bernasib nahas karena langkahnya terganjal sewaktu singgah di Filipina. Otoritas Filipina, atas permintaan pemerintah Kuwait, memulangkan Las-loom dan sejak itu kabarnya tak terdengar lagi.

Belajar dari kasus Lasloom, Abdulmohsen mengungkapkan, dia membuka lebar ke--ran informasi pencarian suaka. “Yang paling saya khawatirkan adalah adanya aktivis abal-abal yang aslinya mata-mata Saudi yang berpura-pura menolong para pencari suaka,” ujarnya.

Saat membikin akun Twitter pada Maret 2016, Abdulmohsen semula meng-gunakannya sebagai sarana untuk meng-kritik Islam. Namun respons yang di--perolehnya dari warganet di luar dugaannya. Satu per satu perempuan Saudi menghubunginya lewat pesan pribadi dan meminta bantuan mengenai cara kabur dari negara mereka serta tahap-tahap memperoleh suaka di negara Barat.

Abdulmohsen awalnya meladeni per-mintaan itu. Tapi jumlah perempuan yang membutuhkan pertolongan terus berlipat ganda. Ia lantas membentuk grup Telegram dan forum percakapan di Internet untuk menjembatani diskusi antara dia, pencari suaka, dan mereka yang telah mendapat suaka. “Konsultasi untuk pertanyaan umum yang dulu bisa dua jam terpangkas menjadi sepuluh detik saja,” dia menuturkan.

Paspor Taleb Jawad al-Abdulmohsen, yang berkewarganegaraan Arab Saudi. REUTERS/Fahad Shadeed/File Photo

Menurut taksiran Abdul-mohsen, forum Internet telah meno-long sekitar 10 ribu pencari suaka asal Saudi. Dia sendiri berhubungan langsung dengan sedikitnya 1.000 orang Saudi. Sebanyak 300 di antaranya telah mendaftarkan per-mintaan suaka. Sekitar 90 persen dari jumlah itu adalah perempuan, yang kebanyakan berusia 18-30 tahun.

“Perempuan paling rentan dan berisiko besar saat kabur dari keluarga mereka. Banyak perempuan Saudi belum pernah melihat bandar udara seumur hidupnya. Ini bertolak belakang dengan kaum pria, yang lebih bebas bepergian.”

Abdulmohsen mencontohkan dua ber-saudara Maha al-Subaie dan Wafa al-Subaie, yang kabur dari rumah mereka di Ranyah, Arab Saudi, 1 April lalu. Mereka angkat kaki setelah ayahnya menggunakan aplikasi Absher untuk mengontrol boleh-tidaknya mereka bepergian ke suatu tempat. Setelah menumpang pesawat untuk pertama kali, mereka sampai di Turki, lalu menuju Georgia. “Mereka menghubungi saya setiba di Georgia dan bertanya soal mengurus suaka,” ucapnya.

Jumlah perempuan dari Arab Saudi dan negara Teluk lain yang kabur menghindari tekanan keluarga terus bertambah. Se-bagian dari mereka sukses menyelinap pergi di sela liburan di luar negeri bersama keluarga. Area transit di bandara biasanya menjadi lokasi strategis yang cukup ampuh untuk mengeksekusi rencana pelarian yang dramatis. Sebagian lainnya berpaling ke forum online untuk berhubungan dengan orang-orang yang dapat mem-bantu mereka merancang skenario kabur.

Perserikatan Bangsa-Bangsa men--catat, warga Saudi yang meng-aju-kan permohonan suaka di negara lain pada 2005 hanya 151 orang. Jumlah itu melonjak drastis menjadi 2.000 pencari suaka pada 2017.

Abdulmohsen menerangkan, tak mudah bagi para pencari suaka asal Saudi untuk membuka diri dan menceritakan kisah mereka. “Kebanyakan pen-cari suaka dari negara saya paranoid.” Masyarakat bia-sa-nya mengetahui pelarian orang-orang itu setelah mereka memutuskan berbagi kisah di dunia maya.

MAHARDIKA SATRIA HADI (INDIEGOGO, CODASTORY, PRI)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus